Oleh: Falah Aziz*
Di pertengahan abad 18 sebuah statmen kontroversial
mengguncangkan jagad Eropa. “God is dead” (Tuhan telah mati) adalah
sepenggal kalimat yang terlontar dari mulut seorang filsuf Jerman bernama
Friedrich Neitczche. Maksud dari perkataannya bahwa gagasan tentang Tuhan tidak
lagi mampu berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau tujuan. Dengan
kata lain Neitczche tidak mengakui peran serta keberadaan Tuhan di dunia ini
(Nihilisme), akhirnya ia pun memilih untuk ber-Atheis. Seperti diketahui ateis
merupakan paham di mana agama tidak diberi ruang dalam kehidupan. Di dalam
paham-paham tersebut tidak ada tempat bagi al-Wahyu.[1]
Jadi Tuhan dianggap tidak memiliki peran dalam segala aspek kehidupan manusia.
Buah dari ateisme adalah sekularisme. Sekularisme merupakan
ideologi atau paham yang memisahkan antara agama dan negara. Al-Attas
menyatakan bahwa ide sekularisasi muncul dari sejarah perngalaman Barat untuk
mendamaikan ketegangan antara Filsafat dan Agama. Di mana ketika itu Gereja
bersikap otoriter dengan para filsuf. Setelah dominasi Gereja runtuh akhirnya
Barat mengalami fase kristalisasi yang biasa mereka sebut dengan “Renaisans”
yang berarti terlahir kembali. Istilah ini dimaksudkan, transisi Barat dari
zaman “The dark of age” (zaman kegelapan) menjadi “Renaisans” (kelahiran
kembali). Zaman inilah yang kemudian dianggap sebagai cikal bakal dari
peradaban Barat yang bercirikan dengan berkembang pesatnya keilmuan dan
teknologi hingga mengantarkannya menjadi Barat Modern, dan akhirnya menetapkan
sekulerisme sebagai ideologi Barat. Dari titik ini menjadi tolak ukur bagi
Barat untuk menyebarkan ideologinya yang dianggap mampu menjadi solusi dalam
menyejahterakan umat manusia di dunia, sehingga mereka menggembor-gemborkan
slogan westernisasi melalui berbagai jalur, mulai dari kolonialisme,
liberalisme, dan lain-lain.
Tentu ini menjadi tantangan bagi seorang Muslim untuk tidak
terjebak dengan paham sekuler yang didengungkan Barat. Karena secara pandangan
baik historis maupun kultural sudah berbeda dengan pandang hidup Islam atau Islamic
Worldview. Yusuf Qardhawi telah memprediksi akan kemuculan paham
sekularisme khususnya di dunia Islam. Beliau mengatakan bahwa telah terjadi
konflik antara pemikiran Islam, pemikiran sekuler, dan pemikiran atheis.
Konflik ini terjadi akibat kolonialisme yang mencengkram dunia Islam dan penjajah
bermaksud mencabut Islam ke akar-akarnya. Dengan begitulah mucul apa yang
dinamakan oleh Yusuf Qardhawi dengan (muslim jughrafi), yaitu orang yang
hidup di dunia Islam namun pemikiran mereka tidak Islami.[2]
Sebagai seorang muslim yang diberikan petunjuk berupa al-Wahyu
(Al-Qur’an dan Hadis) sudah seyogyanya menjalankan prinsip-prinsip kehidupan
dengan berlandaskan pada wahyu tersebut. Sementara Allah membekali manusia
dengan akal pikiran yang membedakannya dengan makhluk lain. Kemudian Allah
menurunkan al-Wahyu agar manusia mendapatkan petunjuk dan bisa mengambil
al-ibrah (pelajaran) dengan akal yang dimilikinya melalui Islamic
Studies, lalu kemudian mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari al-Wahyu tersebutlah harusnya manusia akan semakin yakin dengan
kebesaran Sang Khaliq bukan malah semakin jauh, sehingga menafikan peran
inti dari Tuhan. Maka Allah pun sudah memperingatkan di dalam al-Qur’an surat Faathir
ayat 3, “Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta
selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi?
Tidak ada Tuhan selain Dia; maka mengapakah kamu berpaling (dari menyembah
Allah?).”
Bulan Ramadhan di mana bulan diturunkannya Al-Qur’an
(Al-Baqarah: 185) merupakan momentum yang tepat untuk seorang muslim membaca
dan mentadabburi nilai-nilai yang terkandung di dalam ajaran Islam melalui
kajian mendalam tentang Al-Qur’an. Agar kita memiliki pemahaman yang lurus
dengan dasar pemikiran dan pandangan hidup Islam yang bersumber pada Wahyu
Ilahi, bukan dengan cara pandangan sekuler ala Barat. Sehingga kita termasuk
orang-orang yang diberikan nikmat berupa sehat jasmani, rohani, dan pikiran
yang jernih bukan orang yang dimurkai Allah (baca: sekuler) sebagaimana
dijelaskan di dalam surat Al-Fatihah ayat 7, “(yaitu) jalan orang-orang yang
telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Wallahu a’lam bi-As-Showab.
*Mahasiswa Sastra Arab di International University of
Africa, Sudan.
0 Comments
Posting Komentar