Sudah panjang masa yang kau lewati, maka adakah sesuatu kebaikan darimu
yang berbekas kemanfaatannya pada manusia? Adakah
karya yang kau torehkan, wahai hamba yang sudah berumur? Bukankah sebaik-baik manusia itu ialah yang bermanfaat bagi
orang lain? Masihkah kau menunggu bertambahnya
nikmat yang diberikan baru kemudian bergerak melangkah? Mungkinkah kau akan berubah sendirinya ketika nikmat itu
bertambah? Bukankah kau hidup atas kebiasaanmu
selama ini? Pembaca yang budiman, inilah renungan singkat mengawali lockdown di Khartoum Sudan, juga sebagai pembuka cerita pendek
dengan judul "Uzlah di Kala Pandemi
Corona".
Dokumen Pribadi.
Kuangkat panggilan melalui WhatsApp dari teman di Indonesia, Ustaz Fauzi saya memanggilnya.
Dia membersamai saya pada empat tempat ketika di Indonesia, yaitu; di Ma'had
Utsman Bin Affan sebagai mahasiswa, di STAIPI Jakarta (STAIPI Bandung) juga
sebagai mahasiswa, dan di MI Moeslem Character (Rumah Quran) Cipayung Jakarta Timur
sebagai muaddib (guru yang
mempraktekkan adab-adab dalam kegiatan belajar mengajar), serta di HIMA PERSIS
DKI Jakarta sebagai aktivis. Kalau dilihat
dari pendidikan dan usia, serta pengalaman kerja
Ustaz Fauzi lebih senior dari saya, beliau sudah menyelesaikan sarjana strata
satu (S-1) jurusan ekonomi dan beliau lebih duluan mengajar di MI Moeslem
Character. Beda halnya kalau dilihat dari
pengalaman berorganisasi di HIMA PERSIS, agaknya
saya lebih senior daripada beliau, sebab saya
termasuk orang yang mengkader beliau bersama teman-teman angkatannya pada akhir
tahun 2019 lalu di acara KABAH (Kaderisasi Anggota Baru Hima Persis) gabungan
di Depok. Sebelum saya berangkat ke Sudan beliau berpesan, "Kalau antum
ganti nomor WhatsApp (WA) kabarin ana
ya."
Nah, dari itu
wahai pembaca yang budiman! Sudah merupakan kewajaran
jika beliau menelepon saya ketika sudah berada di Sudan. Dalam percakapan WA
tersebut kami saling menanyakan kabar, suasana baru di Sudan, juga perihal
pendidikan, hingga perihal jodoh, dan lain-lain. Ada satu percakapan yang membuat saya
berpikir-pikir dan mengingatkan saya tentang tujuan berangkat ke Sudan,
cakapnya dalam bentuk pertanyaan, “Sudah berapa hafalan antum sekarang?” Agak
tertegun saya mendengar pertanyaan itu, lalu kujawab, “Belum ustaz, ana masih murajaah (mengulang-ulang) hafalan
kemarin.” Saya rasakan pertanyaan itu sangatlah dalam maknanya, pertanyaan
tersebut seperti halnya alarm yang
mengingatkan hamba tentang tujuan ke Sudan. Rasanya Allah Ta’ala memberikan peringatan yang halus dengan pertanyaan itu
melalui lisannya Ustaz Fauzi.
Berkaca dari pertanyaan tersebut hamba mulai berpikir
lagi tentang tujuan-tujuan hidup.
Hamba mulai merenung sejenak dan mengambil nafas
dalam-dalam sebagai bentuk mawas diri. Beberapa saat setelah itu terbayanglah
punya kesempatan di mana tidak lagi tersibukkan oleh banyak urusan, di mana
tidak lagi dicari-cari, di mana tidak lagi diresahkan oleh urusan perut, juga
terbayang punya kesempatan di mana tidak lagi diresahkan oleh biaya hidup.
Terbayanglah punya kesempatan seperti yang ditulis Dr. `Aid Al-Qarni dalam
bukunya yang berjudul ``La Tahzan``, yaitu kesempatan “mengasingkan diri dari segala kejahatan
dan kemubahan yang berlebihan, menyelami makna-makna, menangkap butiran-butiran
nilai, merenungkan tujuan-tujuan hidup, dan membangun menara ide, serta
pemikiran. (Al-Qarni, 2005: 117)”
Sebenarnya bayang-bayang tersebut sudah ada sejak dulu
ketika masih bersekolah di MAN Bintuhan (MAN 1 Kaur). Kemudian dilanjutkan belajar ke Kota
Bengkulu di Pesantren Quran Al-Fida (PQA), di sinilah bayang-bayang tersebut
hampir sepenuhnya terwujudkan, hanya saja hasilnya belum banyak yang terikat
dengan tinta. Saya lanjutkan perjalanan, merantau ke Jakarta dengan tujuan utama kuliah. Walhasil saya kuliah di dua kampus, yaitu di Mahad Utsman Bin Affan Jakarta dan STAIPI Jakarta (STAIPI Bandung). Pada sebagian waktu yang tidak berbenturan dengan jam kuliah,
maka saya bekerja bisnis sayuran di Pasar Induk Keramat Jati, Jakarta Timur dan
menjadi guru di MI Moeslem Character Cipayung, Jakarta Timur. Sungguh sulit rasanya untuk merealisasikan bayang-bayang
yang ada itu saat di Jakarta, karena memang “sibuknya bukan main”. Bayang-bayang itu masih kental adanya dalam diri ini,
hingga datanglah masa harus meninggalkan Jakarta.
Dokumen Pribadi.
Melangkah lagi kaki ini melanjutkan perjalanan,
alhamdulillah diberi rezeki kesempatam belajar ke luar negeri, yaitu negeri
arab tempatnya di Sudan atau kita kenal dengan sebutan Negeri Dua Nil, sejarah dan peradaban Islam ada di sini. Tetapi
sayang belum juga bisa merealisasikan bayang-bayang itu, hingga datang pandemi Coronavirus Disease (COVID-19) atau kita
kenal dengan sebutan virus Corona.
Kebijakan pemerintah yang mengharuskan beraktivitas di rumah masing-masing,
kampus-kampus ditutup, sekolah-sekolah diliburkan, dars-dars (kajian pematerinya
syekh) juga diliburkan. Begitu juga tempat-tempat keramaian bahkan masjid pun ditutup, kecuali tempat
kebutuhan pokok yang masih buka dan beberapa mudarasah (kajian pematerinya senior)
saja yang masih berlangsung, kegiatan
itu pun terkadang sudah via online (Zoom, WhatsApp, Youtube, dan lain-lain).
Ini masa yang cukup panjang, tapi semua itu ada
hikmahnya. Disamping Corona ini ujian
dari Allah Ta'ala untuk penduduk bumi
ini, ia juga memberikan kesempatan untuk hamba mengasingkan diri. Hemat saya,
inilah masa yang pas untuk merealisasikan bayang-bayang yang selama ini tak
kunjung terwujud. Pada awal-awal lockdown
saya membuka lembaran pdf yang ditulis oleh Dr. 'Aid Al-Qarni dengan
judul "La Tahzan",
kudapati kata uzlah (mengasingkan diri). Oooh, saya sontak tersadarkan! Ternyata wujud dari bayang-bayang
selama ini namanya uzlah, yaitu “Mengasingkan diri dari segala bentuk kejahatan
dan kemubahan yang berlebihan, ber-uzlah seperti ini membuat dada menjadi
lapang dan mengikis semua kesedihan (Al-Qarni, 2005:116)”. Sambungnya di akhir
alinea: "Siapa saja yang mencintai uzlah maka itu kemuliaan baginya. (Al-Qarni,
2005: 118)” Terima kasih Corona, kau
tak bicara tapi gerakmu sangatlah berarti. Terima kasih Corona telah menjadi wasilah yang memberi hamba kesempatan untuk uzlah. Wahai Corona tolong jagalah
gerakmu dari orang-orang yang senantiasa mengingat Penciptamu di pagi dan
sore, jaga juga gerakmu dari orang-orang yang kami cintai.
Uzlah ini telah kumulai, tempatnya di rumah
kekeluargaan Paguyuban Mahasiswa Jawa Barat dan Banten (PMJB), ada juga candaan
mereka memelesetkan PMJB dengan Paguyuban Mahasiswa Jawa Barat dan Bengkulu,
huruf B dipelesetkan artinya dari Banten ke Bengkulu, ini dikarenakan ada
beberapa orang Bengkulu menjadi anggota kekeluargaan PMJB dan juga tinggal di
Rumah PMJB (Sekretariat). Saya termasuk orang Bengkulu yang tinggal di Rumah
PMJB dan juga anggota di kekeluargaan PMJB. Hal ini dikarenakan mahasiswa/i
dari Bengkulu masih sedikit dan belum memenuhi syarat untuk membentuk
kekeluargaan sendiri secara resmi, sehinggga kami bebas memilih gabung di satu
kekeluargaan yang sudah resmi, umumnya kami bergabung di kekeluargaan FORMASSI
Sudan (Forum Mahasiswa Sumatera Selatan Berintegrasi Sudan).
Uzlah ini dimulai dengan merenungi dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang telah saya tulis pada pembuka cerita ini. Walhasil
ada beberapa hal yang harus diperbaiki,
mulai dari tujuan-tujuan hidup, amal-amal harian, kewajiban-kewajiban yang
belum dituntaskan, hingga kemubahan-kemubahan yang telah berlarut-larut. Dalam
uzlah ini kukuatkan lagi satu tahun ini dengan azam dan itikad tentang tiga
hal, yaitu pertama penguasaan
Al-Quran 30 juz bersanad serta penguasaan
matan-matan dasar ilmu tajwid, kedua penguasaan bahasa Arab serta kitab-kitab
dasarnya, dan ketiga mengaplikasikan ide-ide
serta pemikiran melalui wadah Persatuan Pelajar Indonesia Sudan (PPI Sudan).
Uzlah ini semakin terasa ketika amal-amal harian mulai
teratur, kewajiban-kewajiban sedikit
demi sedikit mulai dituntaskan, kemubahan-kemubahan yang berlebihan mulai
dikurangi bahkan ada yang ditinggalkan. Sungguh benar apa yang dikatakan Dr.
`Aid Al-Qarni, “… Uzlah ini membuat dada menjadi lapang dan mengikis semua
kesedihan. (Al-Qarni, 2005: 116)” Uzlah ini juga yang menyadarkan pentingnya
bersyukur atas nikmat dari Allah Ta'ala, juga
menyadarkan hamba tentang kebiasaan, bahwa kita menjalani hidup menurut
kebiasaan kita.
Uzlah ini mulai merenungi tentang kebiasaan-kebiasan
dan harapan mulia serta rasa syukur. Terucaplah beberapa kalimat yang indah
sebagai renungan kita, yaitu;
Berat rasanya jika engkau berharap nantinya gemar
sedekah ketika harta sudah mulai berlimpah, kalaulah sekarang kebiasaanmu
menahan harta walau sebutir kurma. Sulit rasanya jika engkau mau bangun malam menunggu
hafalanmu 30 juz, kalaulah biasanya yang sedikit ini saja belum bisa kau bawa
dalam qiamullail. Sulit rasanya kau berharap kelak dapat menulis kitab yang
berjilid-jilid jika biasanya catatan kecil saja masih belum bisa kau tuliskan.
Kusahut
dalam renungan itu, "Masihkah kau menunggu ditambahkannya nikmat, baru kemudian mau
beramal? Sadarlah wahai hamba tentang nikmat yang telah Allah berikan kepadamu.
Berusahalah memaksimalkan syukur terhadap nikmat yang ada dengan beramal sekuat
semampu sebisa mungkin. Mudah-mudahan jika
nanti Allah tambahkan kenikmatan, maka kau
sudah terbiasa mensyukurinya dan kau akan ringan menjalaninya."
Uzlah masih berlanjut, rasanya ada kemubahan yang
terlalu berlebihan hingga membuat kita lalai.
Rasanya ada panggilan bahwa “Ramadan sebentar lagi
menghampiri-mu, maka perlu kau berbenah lagi."
Kita berdoa agar bisa disampaikan pada bulan tersebut dalam keadaan siap dan
bersegera dalam beramal. Allahumma
ballignaa fii ramadhan.
Di penghujung uzlah ini kuceritakan sedikit kekhawatiran yang datang dari sebuah
diskusi. Yaa, diskusi biasa perihal pendidikan dan keadaan di Sudan, yang tidak
biasa adalah lawan diskusi tersebut merupakan perempuan (akhwat) salihah juga
cerdas yang sedikit kukenal. Sebelumnya pernah kutanyakan kepada seorang alim,
"Bolehkah kita chat dengan akhwat?," lantas jawabannya, "Boleh
saja".
Saya pun melanjutkan diskusi dengan akhwat tersebut di sela-sela
waktu luang. Lebih lanjut, nampaknya diskusi ini
sudah berada di penghujung, persoalan-persoalan sudah mulai terang dan sebagian bisa terjawab. Harapannya sangatlah bagus, yaitu mau melanjutkan pendidikan di Sudan. Semoga saja usahanya dimudahkan dan mendapatkan
taufik dari Allah Ta'ala. Sungguh, saya tidak bisa menjawab beberapa pertanyaan yang bukan
area saya, karena terbatasnya pengetahuan lebih-lebih hal perempuan. "Oooh!", sahut
saya! Ternyata dia belum punya kontak akhwat untuk diskusi perihal
pendidikan di Sudan, maka saya bantu carikan kontaknya. Dapatlah kontak ketua PPPI Sudan (Persatuan Pelajar Putri Indonesia Sudan),
lalu saya kirimkan kontak tersebut. Nah, sekarang dia sudah punya teman diskusi yang lebih tepat dan bisa leluasa untuk
menanyakan hal-hal terkait pendidikan di Sudan.
Hemat saya, sudah tidak ada lagi hal-hal yang
penting untuk ditanyakan dan ini perlu diakhiri agar tidak berlarut hingga
membuka peluang pintu-pintu keburukan.
Akhirnya kutuliskan kepadanya beberapa kalimat yang indah untuk mengakhiri
percakapan, juga sebagai renungan di awal malam
untuk menyambut kedatangan bulan mulia Ramadan. Harapan saya, agar kiranya kalau diskusi
salama ini mengandung kemubahan yang berlebihan hingga membuat lalai, maka
segeralah kembali kepada Allah. Kutulis kalimat-kalimat indah itu dengan judul "Pengkhianatan Berbungkus
Kemubahan". Ini pesan yang saya kirim via WhatsApp;
Kepada
saudariku ………………
Sebagai
renungan kita menyambut bulan yang mulia (Ramadan)
Pengkhianatan
Berbungkus Kemubahan
Teruntuk diri ini, sebagai hamba yang tak luput dari dosa dan
kekhilafan. Sudah hamba baca beberapa nas dari Al-Quran maupun Hadis, apa yang
hamba ambil dari semua itu?.. Sudahkah hati dan raga ini senada dengan nas yang
dibaca?.. Yaa Rabb berilah hamba petunjuk dan bimbinglah ke jalan yang lurus,
yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya bukan jalan
mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Semoga diskusi
dari awal saat kau menjawab salamku hingga saat ini, bukanlah suatu bentuk pengkhianatan yang berbungkus kemubahan terhadap
sabda Rasulullah Saw. dari Ibnu Abbas r.a., sesungguhnya Rasulullah Saw.
bersabda: "janganlah salah seorang
diantara kamu ber-khalwat, berdiam diri ditempat yang sepi dengan seorang
wanita kecuali disertai dengan mahramnya" (H.R. Bukhari Muslim). Kita
juga tahu bahwa diantara ciri perkara maksiat yaitu perbuatan yang kita lakukan jika dilihat banyak orang maka kita merasa
malu. Wahai hamba, adakah rasa tersebut dalam dirimu?.. Adakah kecemasanmu ketika
diskusi ini diketahui oleh orang tua?.. Adakah kekhawatiranmu jika diskusi ini
diketahui oleh teman dekat mu?.. Adakah kekhawatiranmu jika mereka membuka
pesan-pesan ini?.. Jika benar perasaan itu ada dalam dirimu, maka segeralah
kembali kepada Rabb-mu mengadulah kepada-Nya memohon ampunan dan takutlah akan
terjerumus dalam lembah kemaksiatan yang berlarut. Memang perkara ini indah dan mengasyikkan, tetapi bisa larut dan
menghanyutkan jika kita tak cepat sadar.
Kutuliskan kalimat-kalimat indah ini mengawali malam sebagai
renungan kita menyambut bulan mulia (Ramadhan). Sekali lagi hamba berharap kiranya diskusi ini bukanlah sebuah
pengkhiatan yang berbungkus kemubahan. Semoga kita dipertemukan di lain
waktu dan bisa melanjutkan diskusi ini dalam keadaan yang lebih baik dan lebih
terang, sehingga kekhawatiran itu bisa ditepis.
Syukron
wassalam
Demikianlah teramat banyak hikmah yang bisa diambil
sebab Corona ini. Corona mungkin akan berakhir dalam waktu
yang dekat ini, begitu
juga halnya lockdown.
Semoga
kita bisa mengambil manfaat dari uzlah ini dan istikamah terhadap apa yang
telah menjadi iktikad kita dalam berazam. Terima kasih Corona,
kau tak bicara tapi gerakmu sangatlah berarti. Terima kasih Corona telah menjadi wasilah yang
memberi kesempatan kepada hamba untuk uzlah.
Wahai Corona tolong
jagalah gerakmu dari orang-orang yang senantiasa mengingat Penciptamu di pagi dan sore, jagalah juga gerakmu dari
orang-orang yang kami cintai. Semoga pandemi ini segera berakhir dan
kita bisa beraktivitas lagi sebagaimana mestinya.
Uzlah di Kala Pandemi Corona.
Oleh: April Setiawan (Mahasiswa di Khartoum International Islamic For Arabic Language)
31 Comments
MaasyaAllah tabarakallah...
BalasHapusMasyaallah akhi... War biasa. Malu ane bacanya sdh seharus nya memang kita selalu mmperbaiki diri yg sdh menuju tua ini... Jazzakallahu smoga allah senantiasa mmberkahi nt aamiin yra
BalasHapusMasya Allah tabarakllah.bagus sekali ceritanya bisa menginspiras, memotivasi para generasi muda untuk memperbaiki diri menjadi hamba Allah yang lebih baik dan taat dengan adanya pandemi covid-19 ini, ceritanya bukan hanya untuk muhasabah diri tapi juga memperbaiki diri.
BalasHapusTebarkan selalu kebaikan dan jangan menyerah����
Tabarakallah ..
BalasHapusBersyukur dengan waktu, manfaatkan waktu sebaik-baiknya.
Semoga cerita ini bisa menginspirasi bagi pembacanya.
Semoga Istiqomah dalam berbuat baik dan menyebar kebaikan.
Tinggal di pertajam 1 W 5 H nya, Saran saja di awal penulisan buat gagasan pembuka.
BalasHapusKedepan jgn terlalu banyak Percakapan, tapi ambil ibroh tarik dg Qur'an, hadist, dan qoul ulama / kontemporer,
Berikan permisalan, dan perbandingan.
Biar lebih hidup.
Masyaallah,sangat menginspirasi.
BalasHapusMasya allah allah terus produktif pril
BalasHapusAlhmdllh, terus berkarya perdalam isi kaidah hikmah penulisan 👍
BalasHapusMasyaallah isinya bagus, penuh inspirasi dan bermanfaat. Di balik virus Corona yg menakutkan terdapat hikmah yg mendalam. Allah SWT memberikan kesempatan kepada kita untuk ber-Uzlah dari kesibukan dunia supaya kita lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Syukron mas Afril semoga selalu berkarya dan sukses selalu. Amin.
BalasHapusJazakallah. Terimakasih atas untaian nasihat yg ada dalam tulisan ini.
BalasHapusSederhana namun bermakna, tulisan yg mampu menyadarkan pembaca bahwa cobaan ditengah Pandemi ini adalah cara Allah untuk menguatkan kita.
Tetaplah menjadi pribadi yang rendah hati dan pandai untuk bersyukur, karena kebahagiaan dalam hidup berawal dari rasa syukur yang selalu kita panjatkan kepada-Nya.
Akhir kata, semoga antum selalu menginspirasi, istiqomah dalam menyampaikan kebajikan melalui tulisan-tulisan yang penuh makna.
Maa syaa Allah, sangat menginspirasi. Semoga kita semua menjadi hamba yang baik dan benar sesuai dgn pandangan Allah
BalasHapusMasyaAllah kawan ana satu ini,dari pertama kali ketemu pun seperti sosok kaya yang ga punya capek,nostop. Sekarang bisa membaca karya tulisnya pun bangga,mantab masyaAllah,bukan karya tulis biasa.
BalasHapusMasyaAllah luar biasa . Habis dah kata kata buat .
BalasHapusMasha Allah mantap ustad, sangat menginspirasi
BalasHapusMasyaAllah akhy semoga allah senantiasa melindungi akhy dan juga teman teman akhy yang sedang menempuh ilmu di luar indonesia, semangat terus,tetap berkaya dan pantang menyerah.
BalasHapusBarakaAllah hu fik akh.
Ini sangat mengesankan dan khoir.
Baarokallaah fiikum
BalasHapusBismillah... Bagus pril. Semakin terbiasa insya Allah semakin mantap menulisnya. Mungkin bisa menyamai ibu Asma Nadia atau lebih baik. Hehe yang penting punya target. Tapi untuk tulisan selanjutnya, bolehlah sedikit disinggung soal daya tahan tubuh/imunitas. Contohnya madu. Karena uzlah itu butuh itu apalagi zaman Pandemi seperti ini. Sukses my bro.
BalasHapusبارك الله فيك و بارك الله في علمك...
BalasHapusبارك الله فيكم
BalasHapusاللهم انفعنا بما علمتنا وعلمنا ما ينفنا وزدنا علما من عندك
Masya Allah tabarakallah, semoga Allah melindungi antum dan teman² yang sedang menuntut ilmu di jalan Allah. tetap selalu Tawadlu dan rendah hati kang April,semoga dengan begitu Allah akan mengangkat derajat antum sama dengan orang-orang penurut ilmu pada zaman imam² besar dahulu, aamiin YRA��
BalasHapusMasyaa Allah, mudah2an tulisannya bisa menginspirasi
BalasHapusUTS OM
BalasHapusTerimakasih April, semoga Allah senantiasa memudahkan jiwamu dan kita semua untuk menjadi jiwa yg kembali fitrah.
BalasHapusSy baca kembali ke paragraf awalnya, o ini ternyata cerita pendek. Akhirnya perjalanan hidupmu menemukan apa yg kau cari, makna uzlah. Hidup ini tak ubahnya adalah perjalanan untuk belajar. Belajar agar menemukan nilai-nilai, belajar menjalani hidup yg bermakna sebagaimana tujuan kita diciptakan..
Teruslah belajar, teruslah menulis
"Uzlah juga yg menyadarkan pentingnya bersyukur atas nikmat dari Allah ta'ala, juga menyadarkan hamba tentang kebiasaan, bahwa kita hidup menurut kebiasaankita". Kalimat yg seketika menyadarkan sy untuk senantiasa ber-muhasabah. Masyaallah tabarakallah.
BalasHapusAlhamdulillah ust terimakasih,. Baru tersadar, inilah kesempatan uzlah yg sebenarnya.. tapi sya masih terlena..
BalasHapusMassyaAllah smoga tlisan nya brmanfaat untk pembacanya , smoga adanya wabah covid 19 ini mnjdi cambuk bgi kita smua memperbaiki dri msing2 ,ttaplah mengamalkan hpalan al-qur'an , n jdikanlh pengalaman klian dsana ( sudan ) untk pmbelajaran yg bermanfaat .
BalasHapusDalamm
BalasHapusBismillah. Afwan mengkoreksi dan memberi saran, namun sebelumnya cerita ini begitu Masya Allah. Alhamdulillah. Tetapi, sebaiknya jangan terlalu banyam penggunaan tanda seru, memang tanda seru berfungsi sebagai penegasan, tetapi untuk kata kata yang halus tidak usah mungkin takut terkesan seperti membentak. Dan ada baiknya jika dalam penulisan ini disematkan obrolannya menggunakan tanda petik. Misalnya, " Assalamu"alaikum. Maaf boleh bertanya kak?"
BalasHapus" Wa"alaikumussalam. Tentu ukhti, apa yang bisa saya bantu? " Jawab ku kepada seorang ukhti yang mengirim pesan kepada ku.
kira kira seperti itulah. Afwan jika ada kesalahan. sekian
Masya Allah Tabarakallah ..
BalasHapusCerita nya bnyak mengandung inspirasi . Semoga kita sllu berusha memperbaiki diri. Dan selalu berfositip thingking setiap musibah yg trjdi .stiap yg trjd psti ada hikmahnya😊😊😊
Masya Allah tabarokallah ....
BalasHapusMasyaAllah Tabarakallahu...
BalasHapusPosting Komentar