![]() |
Sumber ilustrasi: media.alkhairaat.id |
“Salawat serta
salam tetap tercurah limpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad Saw, yang telah
membawa umatnya dari zaman jahiliyah menuju zaman Islam yang terang benderang.”
Begitulah kurang lebih seorang dai sering kali menyampaikan muqaddimah
pidatonya sebagai bentuk kebanggaan atas jasa dari Baginda Rasulullah saw yang
telah mengajarkan umatnya dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam sehingga
mengentaskan mereka dari zaman kegelapan ke zaman kegemilangan yaitu dimana
Al-Qur’an dan Hadis menjadi pedoman hidup bangsa Arab ketika itu.
Mari buka
kembali catatan buku “shirah nabawiyah” di rak kita, dimana titik tolak
sebuah peradaban besar dimulai dari wahyu yang pertama kali turun yang
bertepatan dengan bulan Ramadhan. “Iqra” merupakan ayat pertama di dalam
surat Al-Alaq yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang ketika itu sedang
berkhalwat (menyendiri) dan bertafakur di dalam Gua Hira. Lalu datanglah
malaikat Jibril untuk menyampaikan 5 ayat pertama dari surat Al-Alaq tersebut.
Tentu dibalik
turunnya wahyu pertama tersebut ada pesan yang tersirat di dalamnya. “Iqra”
yang berarti bacalah merupakan kata perintah yang diderivasi dari kata “qa
ra a” yang berarti membaca. Perintah membaca inilah yang dijadikan tolak
ukur awal dari perkembangan peradaban besar umat Islam. Karena ketika itu
masyarakat Arab masih terisolasi dari peradaban, sementara di wilayah lain
dimana peradaban besar seperti Mesir, Persia, India, dan China sudah memiliki
kemajuan dalam bidang keilmuan. Kecuali dalam bidang sastra dan bahasa, masyarakat
Arab jahiliyah kala itu memiliki kecenderungan yang kuat terhadap sastra Arab.
Namun hanya terbatas pada kalangan tertentu saja. Bagi para penyair yang bisa membuat
syair-syair indah maka namanya akan digantungkan di sisi Ka’bah bahkan namanya
lebih agung dari raja. Itulah sekelumit gambaran dari masyarakat Arab jahiliyah.
Pencapaian
gemilang pun berhasil ditorehkan bangsa Arab, berangkat dari masyarakat yang “Ummiyyun”
seperti bayi yang baru lahir, tidak bisa membaca dan menulis. Kini “Iqra”
telah merubah prinsip jahiliyah yang telah mengakar kuat dalam sosio-histori
mereka menjadi sebuah peradaban baru
yang puncaknya berada di tangan umat Islam dimulai dari masa Muawiyah hingga Abbasiyah,
dimana ketika itu Barat masih dalam masa kegelapan ‘the dark of age’.
“Ternyata ‘Iqra’
bukan hanya terbatas pada makna membaca tulisan, tetapi ia memiliki 4 makna yang bisa kita tadabburi
bersama, 1) How to read, 2) How to learn, 3) How to understand,
4) Bagaiman memukasyafah atau menyikap tabir-tabir di dalam Al-Qur’an.
Jadi, ‘Iqra’ yang ada dalam Al-Qur’an sudah disempurnakan oleh ‘Iqra’
yang keempat tersebut, “ demikin kata Nasaruddin Umar.
Berkaca dari
kegemaran para ulama-ulama salaf dalam membaca, ada sisi baik yang bisa kita
teladani bersama namun tidak harus sepenuhnya, tentunya sesuai dengan porsi
yang kita miliki. Diantara para ulama salaf sebut saja misalnya ulama ahli sastra
Arab, Al-Jahiz yang merupakan penulis bidang keilmuan seperti Prosa Arab,
Sastra Arab, Biologi, Zoologi, Sejarah, Filsafat Islam Awal, Psikologi Islam,
Teologi, dan Polemik dalam Politik Agama. Gelar Al-Jahiz yang berarti si mata
melotot pun disandangnya yang mana menggambarkan kecenderungannya dalam membaca
dan menelaah kitab-kitab semenjak kecil, hingga mengantarkan namanya pada
panggung akademisi yang mana karya-karyanya banyak dijadikan rujukan oleh
ulama-ulama setelahnya. Dia meninggal di Basra pada 869 M. Penyebab kematiannya
tidak jelas, tapi kisah populer menyebutkan bahwa dia lumpuh akibat terhimpit
oleh tumpukan buku di perpustakaannya. Yang terpenting dari kisah hidupnya
adalah kegilaannya dalam menuntut ilmu dan membaca, meskipun beliau dari
keluarga yang miskin namun semangatnya dalam menuntut ilmu mengalahkan keadaan
finansialnya kala itu.
![]() |
Ilustrasi Al-Jahiz |
Hal serupa juga
dilakukan oleh para ulama terdahulu. Di mana kegemaran membaca mengantarkan
mereka untuk rela menjomblo alias membujang, seperti dituliskan di dalam kitab Al-Ulama
Al-‘Uzzab alladzina Atsarul ‘Ilma ‘alaz Zawaj yang menyebutkan ada 35 ulama
dalam bidang tafsir, qira’ah, hadis, fikih, sastra, bahasa, dan lain-lain
yang terpaksa membujang demi ilmu. Sebut saja misalnya, i) Yunus bin Habib
Al-Bashri, seornag ulama di bidang sastra Arab dan Nahwu, ii) Yunus bin Habib
al-Basri adalah sosok terpelajar ahli gramatikal Arab, iii) Abu Nasrin Bisyr
bin Al-Harits, ahli hadis dan alim fikih, dan lain-lain. Menurut Syeikh Abdul
Fattah menyebutkan alasan mereka tidak menikah yang merupakan bagian dari
fitrah manusia dan memilih membujang yang mana merupakan hal tersulit dalam
hidup, tak lain karena kerinduan mereka pada ilmu, baik dengan mencintainya,
mencarinya, mengumpulkannya, menyebarkannya, dan membukukannya. Hal itu akan
lebih bermanfaat bagi mereka dan lebih utama untuk menambah keridhaan Allah.
Dari sini kita
bisa melihat the power of ‘Iqra’ selain sebatas kata juga memiliki
esensi ruh pendidikan yang tinggi dan luhur. Karena dengannya mampu membawa
seseorang pada kemuliaan ilmu. Bisa kita bayangkan, bagaimana keadaan manusia
tanpa adanya ilmu di muka bumi ini. Pastilah mereka bagaikan binatang, “Laula
al-ilmu lakaana an-naasu ka al-Bahaaimi” demikian kata penyair Arab. Dan
juga suatu peradaban bisa terangkat jikalau dalam kultur masyarakat ada
kesadaran kolektif untuk membaca dan menuntut ilmu. Jikalau seorang filsuf
barat bernama Neitzsche karena ketidakpercayaan tentang adanya tuhan berani mengatakan
“God is dead” (Tuhan telah mati), maka seorang muslim yang mengimani Al-Qur’an
sebagai pedoman hidupnya harus lebih matang keyakinannya dengan mengamalkan rumus
“Iqra” yang akan menyelamatkannya dari belenggu kebodohan lalu
disempurnakan dengan keimanan sehingga bisa membalikkan statmen Neitzsche
menjadi, “Hari ini kita melihat Neitzsche sudah mati dan Tuhan masih kekal.”
Selamat
membaca!
Oleh: Falah
Aziz, Mahasiswa Sastra Arab IUA Sudan
0 Comments
Posting Komentar