![]() |
Sumber: jakartaberita.com |
Sudah hampir tiga bulan dunia dibayang-bayangi dengan
pandemi Covid-19. Dikabarkan oleh CNN Indonesia, jumlah pasien positif coronavirus
(Covid-19) di Indonesia per Senin (13/4) secara kumulatif mencapai 4.557 orang.
Dari jumlah itu, 399 orang meninggal dunia dan 380 pasien dinyatakan sembuh. Tentu ini bukanlah jumlah yang sedikit. Bahkan seperti dilaporkan oleh CNN bahwa jumlah korban kemungkinan akan terus meningkat. Dengan terus bertambahnya jumlah pasien virus corona,
pemerintah terus berupaya menghalangi penyebaran virus ini dengan menggandeng
para tokoh ulama, dan ahli medis dalam menangani pandemik ini.
Covid-19 sebenarnya bukan wabah yang pertama kali terjadi di
dunia. Bahkan dalam dua dekade terakhir ada tiga virus mematikan yang tercatat
dalam sejarah seperti, SARS (2002), MERS-CoV (2012), serta Ebola (2014). Belum genap satu dekade atau 10 tahun dunia
kembali diguncang dengan virus yang menyerang saluran pernafasan. Virus ini
mula-mula dinamakan 2019-nCov, kemudian pada perkembangannya berubah menjadi
virus corona atau COVID 2019. Bahkan dari World Health Organization (WHO) menetapkan status pandemi global pada Covid-19 setelah virus berbahaya ini menyebar ke sebagian besar wilayah dunia (Mina News).
Berkaca dari
peristiwa-peristiwa di atas Islam memiliki perspektif sendiri dalam menghadapi
masa pandemik global ini. Menurut ulama tafsir Indonesia,
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab bahwasanya corona ini bukan siksa,
tapi peringatan. Lalu beliau menegaskan bahwasanya dengan adanya peringatan supaya kita menjadi lebih baik,
lebih eling, dan lebih banyak menjalin hubungan antar sesama manusia dan
sebagainya. “Sementara peringatan itu adalah hikmah.” pungkas beliau.
Namun, di
awal merebaknya wabah di China, sempat ramai di kalangan masyarakat dan juga di
jagat medsos berkaitan dengan pendapat salah seorang dai yang mengaitkan Covid
19 ini dengan azab yang diturunkan Allah kepada pemerintah komunis China. Dalam
ceramahnya disebutkan bahwasanya virus ini merupakan tentara Allah yang
dikirimkan ke Cina sebagai balasan atas penindasan pemerintah komunis China
kepada muslim Uighur. Nyatanya sekarang virus corona telah menjadi pandemi global yang merambah hampir di seluruh wilayah di dunia. Bahkan yang tadinya
kita masih santai tatkala kejadian itu belum sampai di Indonesia, kini semua
elemen masyarakat harus bahu membahu bersama menghadapi penyebaran virus ini. Dan
ternyata tidak sesederhana ini menyimpulkan suatu bencana dengan kejadian
tertentu. Di sinilah perlunya cara pandang Islam dengan dasar-dasar yang kuat,
agar kita tidak gegabah dalam menghakimi suatu kejadian dengan mencatut ayat di
dalam Al-Qur’an maupun dari hadits sebagai pembenar. Perlu diadakan kajian
mendalam sehingga kita bisa lebih adil dalam menyampaikan hal yang sensitif,
agar tidak menambah kebingungan dan kepanikan di kalangan umat.
Disini kita
juga perlu menelisik lebih dalam tentang makna ulama yang sesuai dengan
kredibilitasnya dalam menyampaikan pelajaran kepada umatnya. Menurut KH. Ahsin Sakho Muhammad (pakar ilmu Al-Qur’an), ulama
dalam perspektif Islam adalah orang yang memahami seluk-beluk ajaran agama
Islam dengan mempelajari sumber-sumber ajaran Islam dan cara pemahamannya
menggunakan metode-metode yang disepakati para ulama, yaitu melalui Al-Qur’an,
hadits, ijma’, dan qiyas. Ijtihad para ulama dahulu adalah
melalui pemahaman terhadap Al-Qur’an, dengan hadits, qiyas, ijma’
sahabat. Dengan kapabilitas ilmu yang dimilikinya mereka mampu mengqiyaskan
satu persoalan satu dengan persoalan yang lain, antara yang asli dengan yang far’i. Jadi
pendapatnya bukan murni dari kehendak diri sendiri.
Peran ulama yang
dibutuhkan umat saat ini adalah mereka yang mau membimbing, mengayomi,
merangkul, memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan yang dihadapi umat
baik dalam persoalan kehidupan sehari-hari maupun ranah sosial. Bukannya
memperkeruh suasana dalam tatanan masyarakat, sehingga masyarakat yang harusnya
tercerahkan dan lebih tenang dalam menghadapi wabah, justru makin resah dan
panik dengan metodologi penyampaiannya.
Pandangan
para dai dalam menyampaikan muatan ceramahnya juga harus dipertimbangkan
sebelum menyampaikan kepada umat. Karena apabila tidak hati-hati dalam
menyampaikan justru akan semakin keruh suasana. Sebagai contoh, pandangan yang menyerah saja kepada “takdir Allah” (jabariyah),
sehingga tak ada tindakan antisipatif terhadap Covid-19, dapat membahayakan
orang lain. Sikap tersebut menyebabkan mereka mengabaikan aturan kesehatan
sehingga berpotensi tertular dan menularkannya kepada orang lain. Alam berjalan
sesuai dengan hukum alam atau sunnatullah yang dapat diuji melalui
proses sebab akibat. Maka kita pun harus turut serta dengan kredibilitas
pengetahuan dari para ahli medis dengan ijtihadnya melaui
himbauan-himbauan kepada masyarakat
sebagai usaha preventif dari penyebaran virus corona ini seperti
misalnya mengurangi kerumunan massa serta mencuci tangan merupakan hal yang
harus kita patuhi. Ketika kita tahu bahwasanya virus menyebar melalui interaksi
antara penderita dan orang di sekitarnya maka mencegah terjadinya kerumunan
merupakan sebuah tindakan pencegahan yang harus dilakukan (NU Online).
Maka langkah kita sekarang adalah dengan mendukung usaha yang dilakukan
pemerintah, para ahli medis, dan para ulama dalam menyuarakan upaya-upaya
pencegahan dan penanganan. Kita patuhi saran mereka demi mengurangi risiko
terpapar virus corona. Sementara para ulama jika pengetahuannya terbatas
pada bidang agama agar tidak keluar dari ranah kompetensinya, yaitu dengan
mengajak umat untuk bersatu menjadikan momentum ini sebagai ajang muhasabah
diri untuk meningkatkan keimanan dengan memperbanyak doa agar kita semua terhindar dari wabah corona ini serta berharap agar Allah swt cepat mengangkat pandemi ini dari pusaran global. Amiin
Oleh: Falah Aziz (mahasiswa S1 Sastra Arab Universitas Internasional
Afrika)
0 Comments
Posting Komentar