Menyoal Peradaban Islam

Sumber: qureta.com
Sejarah pernah mencatat zaman keemasan Islam. Jika kita gunakan mesin waktu untuk mengulang kembali zaman tersebut tepatnya pada masa pertengahan (750-1250 M) di mana sebuah kekuatan dan kemajuan peradaban tersebut berdiri kokoh di belahan dunia Islam. Mulai dari Asia Tengah melebar hingga Afrika Utara, bahkan Eropa. Bukan bermaksud menyisihkan masa-masa sebelumnya, di mana Islam sudah tumbuh pesat di jazirah Arab ataupun ketika masa Turki Usmani dengan corak peradaban admiral-nya. Namun disini hanya ingin menekankan tentang pemikiran Islam yang merupakam cikal bakal kelahiran peradaban Islam.

Kenangan indah itu perlu kita kembalikan lagi. Karena banyak nilai dan pelajaran berharga bisa kita ambil. Dengan mempelajari perkembangan sejarah kejayaan di masa lalu untuk kita terapkan di masa sekarang. Dari sanalah kita mampu meninjau sejauh mana perkembangan kemajuan di masa lalu beserta faktor-faktor yang menyebabkan kemajuan serta kemundurannya, lalu menjadi cerminan bagi generasi sesudahnya. Di situlah pentingnya mempelajari sejarah peradaban Islam untuk mengetahui perjalanannya dimulai dari masa perintisan kemudian kejayaan hingga runtuhnya suatu peradaban, kemudian kita bandingkan sebuah peradaban yang dijiwai Islam dengan peradaban yang lepas dari nilai Islam.

Peradaban Islam pada dasarnya sudah ada pada awal pertumbuhan Islam, yakni sejak pertengahan abad ke-7 M, dimana ketika itu masyarakat Islam dipimpin oleh Khulafa’ ar-Rasyidin. Lalu kemudian berkembang pada masa dinasti Umayah, dan mencapai puncak kejayaannya pada masa dinasti Abbasiyah, dimana pada masa pemerintahannya mengedepankan corak “kebebasan berfikir” sehingga kegiatan intelektual pada masa itu tumbuh subur.

Salah satu ciri kemajuan peradaban Islam ditampilkan dalam majunya budaya keilmuan. Wan Mohd Nor Wan Daud dalam bukunya (Budaya Ilmu) menyebutkan bahwasanya salah satu ciri dari majunya budaya ilmu adalah keterlibatan seluruh lapisan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan keilmuan. Secara tidak langsung bahwasanya budaya ilmu ini berlaku tidak hanya untuk kepentingan pribadi saja, melainkan juga mengakar dalam lapisan masyarakat sosial.
Secara bahasa, budaya atau peradaban saling memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Mengutip penjelasan Hamid Fahmy Zarkasyi yang merincikan struktural dari masyarakat yang berperadaban bahwa dicirikan dengan agama. Sedangkan hakikat dari orang yang beragama adalah berhutang (dain), sementara Sang Pemberi hutang atau penghutang yaitu Allah swt disebut sebagai (ad-dayyan). Sementara manusia adalah yang berhutang disebut (ad-daain). Sementara Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan hukum yang mengatur hutang piutang. Islam kemudian berkembang menjadi peradaban (tamaddun) dimana di dalamnya ada penguasa, hukum, dan penduduknya. Maka, sebuah wilayah yang di dalamnya diterapkan nilai-nilai keagamaan dinamakan dengan Madinah. Yatsrib merupakan nama kota di Jazirah Arab yang kemudian dirubah oleh Rasulullah menjadi Madinah. Karena di dalamnya diterapkan susunan sistem keberagamaan (Islam). 

Peradaban Islam sendiri merupakan hasil dari akumulasi peradaban-peradaban yang telah ada sebelumnya seperti peradaban Mesir kuno, peradaban India, peradaban di Cina, serta peradaban dari Yunani. Menurut Sayyid Hosein Nasr, merupakan fakta historis bahwa keterbukaan peradaban Islam dan kemampuannya mengakomodasi kearifan lokal adalah faktor utama menyebabkan pesatnya penyebaran Islam di dunia. 

Sementara perkembangan pemikiran Islam disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, Pertama, sebagai usaha untuk memahami atau mengambil istinbanth (intisari atau pengajaran) huku-hukum agama mengenai hubungan manusia dengan penciptanya dalam masalah ibadah. Juga hubungan sesama manusia dalam masalah muamalah. Masalah ini menyangkut permasalahan ekonomi, politik, sosial, undang-undang, dan lain-lain. Kedua, sebagai usaha untuk mencari jalan keluar (solusi) dari berbagai persoalan kemasyarakatan yang belum ada pada zaman Rasulullah saw dan zaman sahabat, atau untuk memperbaiki perilaku tertentu berdasarkan pada ajaran agama. Ketiga, sebagai penyelaras atau penyesuaian  prinsip-prinsip agama Islam dan ajaran-ajarannya dengan pemikiran asing (di luar Islam) yang berkembang dan mempengaruhi pola pemikiran umat Islam. Keempat, sebagai pertahanan untuk menjaga kemurnian akidah Islam dengan menolak akidah atau kepercayaan lain yang bertentangan dengan ajaran Islam, dan menjelaskan akidah Islam yang sebenarnya. Kelima, untuk menjaga prinsip-prinsip Islam agar tetap utuh sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw untuk dilaksanakan oleh umat Islam hingga akhir zaman.[1]

Di abad sekarang, nampaknya umat Islam terlalu silau melihat peradaban Barat dengan kemajuan mereka di bidang sains dan teknologi. Padahal fondasi utama kemajuan di Barat tidak bisa terpisahkan dengan penemuan-penemuan penting oleh para ilmuwan Muslim yang menggemparkan dunia melalui temuan-temuan yang merupakan hasil dari studi mendalam tentang Al-Qur’an serta hadis nabawi.

Ada banyak ilmuwan muslim yang hasil pemikirannya kini dikembangkan oleh orang Barat, di antaranya:

  • Ibnu Sina (1037 M) atau Abu Ali Sina masyarakat barat menyebutnya Avicenna dengan magnum opusnya yang dijadikan sebagai standar ilmu medis di seluruh dunia yaitu Kitab al-Shifa’ (The Book of Healing) dan The Canon of Medicine.
  • Az-Zahrawi (1013 M) yaitu Abu al-Qasim Khalaf ibn al-Abbas al-Zahrawi yang merupakan Bapak ilmu bedah modern, dimana dia berhasil mengenalkan catgut (benang) sebagai alat untuk menutup luka. Salah satu karyanya adalah buku At-Tasrif liman Ajiza an at-Ta’lif yang menjelaskan hal-hal berkaitan dengan penyakit, dan temuan-temuannya berupa alat bedah kedokteran.
  • Al-Khawarizmi (850 M) yang memiliki nama lengkap Muhammad bin Musa al-Khawarizmi. Beliau merupakan ahli matematika Islam yang berhasil menemukan rumus aljabar. Selain itu ilmuan asal Persia ini juga menemukan algoritma dan sistem penomoran. A-Khawarizmi juga ahli di berbagai bidang seperti astrologi dan astronomi.
  • Abbas Ibnu Firnas dengan nama lengkapnya (887) Abu al-Qasim Abbas ibn Firnas ibn Wirdas Al-Turkini atau lebih sering dipanggil. Jauh sebelum Wright bersaudara menemukan pesawat sudah ada manusia pertama kali yang tercatat melakukan penerbangan pertamanya. Abbas Ibn Firnas berhasil mendesain sebuah alat yang memiliki sayap mirip seperti kostum burung, yang kemudian menjadi cikal-bakal pada perkembangan pesawat selanjutnya oleh Wright bersaudara.
  • Hasan Ibnu al-Haitham (1040 M) masyarakat barat menyebutnya Alhazen, namanya harum di dunia peroptikan bahkan disebut sebagai Bapak Optik Modern. Karyanya yang terkenal adalah Kitab al-Manazir (Book of Optics) yang menjadi rujukan dalam ilmu optik.
  • Jabir Ibn Hayyan (815 M), ilmuan muslim berasal dari Iran ini adalah ahli kimia. Karya-karyanya yang terkenal adalah  Kitab al-Kimya, Kitab al-Sab’een, Kitab al-Rahah, dan lainnya.[2]

Dan masih banyak lagi ilmuan dalam berbagai bidang yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Mereka adalah para pelopor dari majunya sains dan teknologi yang kita rasakan sekarang. Adapun pengakusisian dari Barat selaku pemegang otoritas keilmuan sains merupakan sebuah arogansi. Sementara umat Islam hendaknya tidak mudah terperdaya dengan tawaran dan janji manis sains Barat yang sudah tersekulerkan. Sementara para ilmuwan muslim selalu mengaitkan suatu keilmuan dengan sang pemilik ilmu yaitu Allah swt. 

Maka, perlunya Islamisasi sains sebagaimana yang ditawarkan oleh Syed Naquib Alattas yang dibutuhkan oleh umat Islam di tengah-tengah merebaknya sains sekuler dari Barat. Mengutip pendapat dari Budi Handrianto dalam bukunya (Islamisasi Sains) menjelaskan bahwasanya Islamisasi bukan hanya meberikan label Islam terhadap Ilmu, seperti mencantumkan “bismillahirrahmanirrahiim” di awal tulisan, atau mengganti istilah-istilah asing menjadi Islam-meskipun itu juga merupakan proses Islamisasi. Tapi Isamisasi sains adalah sebuah konsep di mana ilmu yang ada yaitu yang sekuler, dibersihkan terlebih dahulu dari nilai/paham yang bertentangan dengan Islam dan kemudian diisi dengan nilai-nilai Islam di dalamnya. [3]
 
Harapan besar tentunya dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dikaji dengan pendekatan-pendekatan ilmiah sesuai pandangan Islam (Islamic Worldview) dan juga kesadaran dari seluruh lapisan masyarakat yang madani ini, sejarah kejayaan peradaban Islam ini akan terulang kembali.

Oleh: Falah Aziz (Mahasiswa Sastra Arab International University of Africa)


[1] (JIA/Juni 2013/Th.XIV/Nomor 1/hal.7)
[3] Budi Handrianto, Islamisasi Sains Sebuah Upaya Mengislamkan Sains Barat Modern. Jakarta. INSISTS, hal.xix

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak