Beberapa waktu
lalu saya membaca sebuah kisah kematian paling dramatis namun mengharukan.
Al-Hallaj yang mengakhiri sisa umurnya dengan cara dipenggal lehernya, Itu pun
setelah mati di tiang gantungan. Beberapa menit menjelang kematiannya, meski
tubuhnya dililit rantai besi, Al-Hallaj masih berdiri tegak, wajah riang,
seolah akan bertemu Sang Kekasih. Ia menengadahkan wajahnya ke langit biru yang
bersih, yang seakan siap menyambut kedatangannya. Tidak hanya itu, yang lebih
dramatis adalah ia sempat menyenandungkan syi’ir;
اقتلوني يا ثقاتي
إن فى قتلى حياتى
ومماتى فى حياتى وحياتى فى مماتى
إن عندى محو ذاتى من أجل المكرمات
وبقائى فى صفاتى من قبيح السيئات
فاقتلونى واحرقونى بعظام الفانيات
Begitulah kurang lebih puisi Al-Hallaj yang
sempat diucapkannya secara lirih, sebelum pedang dari Abu Al-Harits Al-Sayyaf
menyentuh lehernya. Yang menarik diperbincangkan adalah: sosok Al-Hallaj itu
sendiri. Abu Abdullah Husain bin Mansur
Al-Hallaj merupakan tokoh yang disebut-sebut paling kontroversial di dalam
sejarah mistisme Islam. Kisah hidup dan perjalanan rohaninya telah dipotret,
direkam dan dimaknai dalam beragam buku hingga naskah drama. Pada tahun 90-an
nama Al-Hallaj menjadi tenar kembali di kalangan masyarakat awam, ketika
sanggar Salahudin UGM bersama Teater Eska UIN Sunan Kalijaga mementaskan naskah
Tragedi Al-Hallaj karya penulis Mesir, Saleh Abd Al-Sabur di panggung teater
Purna Budaya Yogyakarta. Bahkan, dengan naskah yang sama Mas’at Al-Hallaj
(Tragedi al-Hallaj) juga pernah ditampilkan di UEA pada tahun 2016, dan disutradarai
oleh Omar Saif Ghobash.
""من تصوف بلا فقه فقد تزندق و من تفقه بلا تصوف فقد تفسق
اقتلوني يا ثقاتي
إن فى قتلى حياتى
ومماتى فى حياتى وحياتى فى مماتى
إن عندى محو ذاتى من أجل المكرمات
وبقائى فى صفاتى من قبيح السيئات
فاقتلونى واحرقونى بعظام الفانيات
Bunuhlah aku, O, Kekasihku
Kematianku adalah hidupku
Kematianku ada dalam hidupku
Hidupku ada dalam kematianku.
Ketiadaanku adalah kehormatan terbesar
Hidupku seperti ini tak lagi berharga
Bunuhlah aku, bakarlah aku
Bersama tulang-tulang yang rapuh
Kematianku adalah hidupku
Kematianku ada dalam hidupku
Hidupku ada dalam kematianku.
Ketiadaanku adalah kehormatan terbesar
Hidupku seperti ini tak lagi berharga
Bunuhlah aku, bakarlah aku
Bersama tulang-tulang yang rapuh
Tetapi, jangan buru-buru dicatat terlebih dahulu, yang ingin saya perbincangkan
disini adalah genre sastra di puisi Al-Hallaj. Sastra (literatur) merupakan
ekspresi dan kreatifitas penciptaan. Dalam bahasa Indonesia sastra biasa
digunakan untuk merujuk pada
“kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang mempunyai keindahan tertentu.
Dalam pengertian ini, sastra juga dapat berupa tulisan ataupun lisan (oral).
Umumnya sastra diklarifikasikan berdasarkan
letak geografis maupun bahasa. Misalnya, sastra Nusantara, sastra Asia dan
sastra dunia. Masing-masing mempunyai corak dan karakteristiknya tersendiri.
Sebagai contoh sastra Arab dan Persia masuk dalam sastra Asia (Barat) yang
lebih condong pada sastra Islam. Sastra Islam biasanya di dominasi oleh sastra
sufistik, sastra prophetic (madaih) atau pujian kepada Nabi. Nah,
sampai disini, meskipun kita sama-sama tahu bahwa tidak semua sepakat sastra
Islam termasuk dalam ragam sastra. AA. Navis , Edy A Effendi
contohnya. Namun, disini saya lebih sepakat dengan Prof. Dr. Abdul Hadi WM. Menurut beliau
pandangan dan anggapan bahwa nisbah Islam dengan sastra dan kesangsian
bahwa sastra Islam dengan tema, corak pengucapan, dan wawasan estetik, serta
pandangan dunia tersendiri menafikan sumbangan Islam pada kebudayaan dan
peradaban umat manusia. Sebagian anggapan berkembang, karena semata kurangnya
perhatian dari umat Islam dewasa ini. Ditambahkannya; “sastra islam itu ada,
bahkan eksis!” Buktinya ditingkat internasional terbentuk Liga Sastrawan Muslim
Sedunia (Rabithah Al-Adab Al-Islamiy Al-Alamiyah).
Yang tak kalah menarik untuk diperbincangkan
lagi, adalah sastra sufistik. Meskipun sastra sufistik berbeda dengan sastra
agama. Karena jika kita menyebunya sufistik lebih cenderung pada corak keislaman.
Sastra sufistik muncul dipelopori oleh para ahli tasawuf. Awal mula sastra sufi
berkaitan erat dengan tasawuf adalah cakupan materi dalam sastra sufi pada
umumnya adalah dimensi batin atau spiritual, yang dipelopori oleh ahli tasawuf
atau yang kita kenal sufi. Lazim diketahui, asal kata sufi. Lazim
diketahui, asal kata sufi secara harfiyah sangat beragam. Al-Kalabadi
berpendapat sufiyyah dinisbatkan pada kata sofa. Sastra genre ini
muncul bagian dari ekspresi ketuhanan dan keagamaan para sastrawan kala itu.
Jika kita melihat kembali catatan sejarah, tasawuf
muncul pada abad kedua hijriyyah. Cikal bakal kelompok ini di pelopori
oleh kaum asketik yang hendak menepi dari kehidupan duniawi untuk
memuaskan dahaga kerinduan kepada Sang Maha Menciptakan. Kelompok ini muncul sebagai anti tesis dari
kehidupan yang hedonis dan materialis pada kala itu. Khusus yang terjadi pada
kota-kota yang menjadi pusat perdagangan dan politik seperti Baghdad, Damaskus,
Basra dan lain sebagainya. Robi’ah Al-Adawiyah, Hasan Al-Basri, Ma’ruf Al-Karkhi,
Dhu Al-Nun Al-Misri, Hasan Al-Muhasibi, atau yang sampai saat ini seringkali
kita dengarkan karyanya adalah, Al-Busyiri dalam syairnya Al-Burdah, Jalaluddin
Ar-Rumi dalam Matsnawi atau bahkan Abu Nawas dalam syairnya Al-I’tirof (ilaahilastulil Firdausi ahlaa). Karya
ini digolongkan pada karya sastra prophetic. Menurut mereka hakikat
kehidupan harus dengan cinta, bukan sekedar cinta biasa, tetapi cinta yang
dapat mengantar sang pecinta kepada Tuhan dan dirinya, bukankah “man ‘arafa
nafsahu faqad arafa rabbahu?"
![]() |
Sumber: aakdemieye.org |
Kembali ke tokoh yang kita perbincangan di awal, Al-Hallaj.
Ketika membaca karya-karya Al-Hallaj, pastilah anda menemui sebuah kata manunggaling
kawula gusti. Yakni sebuah konsep kesatuan eksistensi (wahdatul wujud).
Konsep yang juga yang di gagas oleh Ibnu Arobi (wafat 1148 M). Terlepas dari
perdebatan tetang sosok beliau, harus kita akui murid Alghazel tersebut tak
sedikit menyumbangkan pemikirannya untuk khazanah Islam. Mulai dari buku syair-syairnya
(Tarjumanul Asywaq), kitabnya Aridhat Al-Ahwazi (syarh
kitab Sunan Tirmidzi) hingga buku sejarahnya yang masyhur, karena
bantahannya yang keras terhadap Syi’ah. Baik, sekarang kita akan mencoba menelusuri
catatan sejarah bumi Nusantara kita sendiri. Tentunya kita sudah tak asing
dengan sosok Syekh Siti Jenar, salah satu sosok yang menjadi penganut aliran manunggaling
kawula gusti. Ajarannya disebut-sebut memantik kontroversi di kalangan Walisanga,
kaum ulama, serta tokoh-tokoh penting dalam pusaran kekuasaan di pusat
peradaban Jawa saat itu. (Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar: Makrifat dan
Makna Kehidupan, 2007:11).
Mungkin yang sejalan dengan pemikiran ini
berpendapat; untuk memahami konsep kesatuan eksistensi memanglah membutuhkan
usaha yang keras. Maka dari itu tidak sedikit yang menghukumi para sufi sebagai
kaum yang murtad atau kafir, Padahal
alangkah baiknya bila kita mengambil sikap lebih berhati-hati. Meski demikian,
manunggaling kawula gusti (wahdatul wujud) sejatinya bukan berarti
menyatukan dzat Tuhan dengan makhluk-Nya (hulul) yang dapat mengarah
pada penyekutuan Tuhan. Melainkan, semua makhluk akan kembali kepada sang
pencipta setelah kematian. Karena hanya Tuhanlah satu-satunya yang memiliki
sifat qadim dan baqa’. Meminjam istilah Buya Hamka dalam bukunya
( Hamka. 1994. Tasawuf Perkembangan & Pemurniannya. Jakarta: Pustaka
Panjimas), “Mati hanya semata-mata perpindahan dari suatu tingkat ke tingkat
yang lain. Yakni perpindahan atau menuju fana ke dalam Tuhan yang disebut wahdatul
wujud memandang kesatuan segala dalam wujud”. Tulisan ini tentunya tidak ingin menjerat
kebebasan berfikir dan berpendapat kalian, namun yang perlu disampaikan untuk
di garis bawahi adalah mengutip maqalahnya Syekh Ibrahim Al-Desouky (wafat 1296
M).
""من تصوف بلا فقه فقد تزندق و من تفقه بلا تصوف فقد تفسق
Lhoh, bukankah kita tadi ingin membahas genre
sastra?
Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh: Malla Hasyimi (Mahasiswi S1
International University of Africa)
1 Comments
Subhanallah
BalasHapusPosting Komentar