![]() |
Sumber: muslimfoundationofindia.com |
Ulama tafsir sepakat berpandangan
bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan spesial di mana Allah menurunkan Al-Qur’an
di malam lailatul Qadar yang merupakan malam kemuliaan, dan Al-Qur’an di
sini menjadi petunjuk bagi manusia untuk membedakan antara yang benar dan yang
salah. Sebagaimana dijelaskan dalam kandungan surat Al-Baqarah ayat 185.
Sebelum melaksanakan ibadah puasa di
bulan Ramadhan hendaknya kita mengetahui terlebih dahulu semenjak awal permulaan
dikerjakannya ibadah puasa ini. Seperti dijelaskan oleh Najib al-Kailani dalam
muqaddimahnya (As-Shiyam wa as-Shihhah) bahwa prinsip dasar puasa adalah
ketakwaan kepada Allah SWT, dan kita berpuasa atas dasar perintah yang
diturunkan Allah SWT. Dengan berpuasa maka kita akan mendapatkan pahala yang
luas ketika hari pembalasan. Dari situlah kita kemudian bisa meneliti lebih
dalam manfaat berpuasa dari berbagai macam perspektif baik secara duniawi
maupun ukhrawi.
Hal senada
juga disampaikan oleh seorang mufasir Indonesia Prof. Quraish Shihab, bahwa
sebelum melaksanakan Ramadhan hendaknya mengenali asasnya dengan mempelajari
terlebih dahulu mulai dari hal-hal yang diwajibkan, dilarang, dan disunnahkan
di dalam berpuasa, sehingga berdampak pada kesiapan yang matang dalam menjalani
ibadah puasa Ramadhan untuk satu bulan ke depan.
Mengenai asal-usul kata Ramadhan
sendiri banyak perbedaan pendapat di antara ulama ahli bahasa. Ada yang
mengatakan ‘Ramadhan’ berasal dari kata (ramad) yang berarti panas yang
membakar, disebut demikian karena pada saat itu kita akan merasakan rasa lapar
dan dahaga yang memuncak. Ada juga yang mengatakan bahwasanya (ramad)
atau panas ini nantinya akan membakar dosa-dosa kita yang lampau dan berganti
dengan kebaikan, disebutkan juga bahwa orang Arab zaman dahulu mengempu
pedangnya dengan panas yang membara sebagai persiapan mereka untuk berperang
ketika bulan Syawal yang merupakan salah satu bulan diperbolehkannya berperang.
Perbedaaan pemaknaan tersebut
tentunya tidak mengurangi esensi dari aspek kebaikan di bulan Ramadhan. Hal itu
selaras dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim,
dikatakan,
إِذا جَاءَ رَمَضَانُ، فُتِّحَتْ
أَبْوَابُ الجنَّةِ، وغُلِّقَت أَبْوَابُ النَّارِ، وصُفِّدتِ الشياطِينُ
Ketika Ramadhan datang maka dibukalah pintu-pintu surga, dan ditutuplah pintu-pintu neraka, dan dirantailah syetan-syetan.
Syeikh Ali Jum'ah dalam videonya 'Ahaditsu Shiyam' menjelaskan kata “إِذا جَاءَ رَمَضَانُ” bermakna bahwasanya keberkahan mengalir di
alam semesta. Sementara “فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجنَّةِ" bermakna semua umat Islam akan merasakan
keberkahan itu dalam bentuk pertolongan dari-Nya, diberikan ketenangan dan
kedamaian, serta rasa kedekatan dengan Allah SWT. Adapun dijelaskan bahwa akan ditutup pintu-pintu neraka "غُلِّقَت أَبْوَابُ النَّارِ،
وصُفِّدتِ الشياطِينُ" bahwa di bulan ini tidak akan terjadi
kejahatan dan maksiat atau dalam istilah lain disebutkan bahwa syetan-syetan
akan dibelenggu sehingga mereka tidak akan bisa mengganggu kita. Lebih jauh
beliau mengatakan bahwa wujud dari terbelenggunya syetan-syetan adalah dari
bagaimana kita menahan hawa nafsu kita untuk tidak berbuat maksiat saat
Ramadhan.
Bulan
Ramadhan memang erat kaitannya dengan bulan kebaikan, dimana segala amal
kebaikan akan dilipat gandakan oleh Allah SWT. Sehingga banyak umat muslim di
belahan dunia memanfaatkan momentum tahunan ini dengan sebaik-baiknya. Ibarat
kita sedang berniaga dengan Allah SWT bahwa setiap perbuatan akan dicatat
dengan pahala kebaikan.
Selain dinilai
sebagai amal ibadah, menurut penelitian medis, Puasa juga banyak manfaatnya
dalam menjaga kesehatan tubuh. Di sisi lain puasa juga dapat membantu
menurunkan tekanan darah, mengurangi kolestrol, mengontrol diabetes dan
mengurangi berat badan. Dalam penelitian laboratorium yang dilakukan dr. Bruemmer
mengatakan bahwa keempat unsur tersebut merupakan faktor utama penyebab dari
penyakit jantung. Dengan mengurangi keempat unsur tersebut sama halnya mengurangi
risiko penyakit jantung.[1]
Puasa pada
hakikatnya bukanlah dimaksudkan untuk mengekang seorang hamba untuk tidak makan
atau minum. Bagi orang yang beriman dan memahami makna yang tersirat di dalam
Puasa akan lebih mawas diri dalam menjalankannya. Karena dengan berpuasa akan
menjaga kesehatan, pendidikan jasmani maupun rohani, wujud ketaatan seorang
hamba kepada Rabb-nya serta menjalin kedekatan dengan Sang Pencipta. Dari aspek
inilah yang nantinya akan melahirkan sebuah peradaban Islam yang diukur dengan
tingkat kesadaran pada ranah sosial.[2]
Syeikh Maher Ad-Dimasyqy menganalogikan bahwa Puasa di bulan Ramadhan ibarat mengistirahatkan mesin. Jika sebuah mesin bekerja terus menerus tanpa henti maka mesin akan cepat rusak. Begitupun tubuh kita, jika setiap hari selamat satu tahun penuh tubuh kita tidak pernah berpuasa maka akan sangat rentan sekali terkena penyakit. Maka Puasa pada bulan Ramadhan merupakan wujud dari cara kita dalam mengistirahatkan badan kita dalam mengonsumsi makanan-makanan, sekaligus mendetoks tubuh agar tetap stabil.
Memang hal
yang metafisik seperti ibadah Puasa ini agak sulit dicerna dengan pendekatan sains
khas Barat karena merupakan ritual ibadah mahdhah (tidak nampak). Di mana
setiap bentuk yang tidak berwujud maka tidak bisa diukur kebenarannya. Paham
inilah yang disebut dengan materialisme yang menjadi dasar acuan bagi para
peneliti di Barat. Hal tersebutlah tentu menjadi tantangan bagi seorang muslim dalam
meyakinkan kebenaran kepada sesuatu yang tidak bisa diukur akal dan panca
indera. Untuk bisa sampai kepada pemahaman tersebut seorang Muslim perlu
memiliki worldview of Islam.
Worldview adalah falsafah atau prisip dalam
berkehidupan dan asas bagi pemahaman realitas. Menurut pandangan Syeikh Atif
bahwa pandangan hidup ini melibatkan
aktivitas epistemologi manusia kepada Tuhan sebab ia merupakan faktor penting
dalam aktifitas penalaran manusia baik sosial, realitas dan aktifitas ilmiah.[3]
Dengan
memiliki worldview Islam atau cara pandang Islam berarti kita memiliki
bekal yang kuat untuk menangkap maksud dari ayat-ayat yang tersirat di dalam
Al-Qur’an dan juga pesan-pesan di dalam Hadiys Nabawi serta tidak canggung dalam mengimplementasikan
di dalam kehidupan. Semangat inilah yang hendaknya dimiliki oleh seorang
Muslim, agar keimanannya tidak tergerus seiring perkembangan ilmu pengetahuan serta
tetap teguh pada prinsip din al-Islam yang rahmatan lil-‘alamin.
Oleh: Falah Aziz
0 Comments
Posting Komentar