![]() |
Sumber: https://www.wfp.org/countries/indonesia |
Di samping angka-angka di atas, perlu ditambahkan satu
fenomena unik yang terjadi di Indonesia. Indeks ketahanan pangan Indonesia yang
terus meningkat diwarnai dengan maraknya impor pangan dari berbagai negara.
Berdasarkan data BPS Oktober 2019, impor beras dari Vietnam meningkat dari
16.000 ton di tahun 2017 menjadi 767.000 ton, sementara impor beras dari
Thailand yang semula 109.000 ton di 2017 menjadi 795.600 ton di 2018. Dikutip
dari UN Comtrade, impor pangan di Indonesia tidak hanya berkutat di beras.
Jagung pun diimpor tanpa henti tanpa absen sejak tahun 1989 dan mencapai angka
737.000 ton di tahun 2018. Indonesia juga merupakan importir terbesar bawang
putih di dunia dengan jumlah 582.000 ton di tahun yang sama, 2018.
Di masa normal, fakta-fakta di atas hanya menyajikan
bagaimana Indonesia selama ini memenuhi kebutuhan pangannya. Terkait statemen
bahwa negara agraris selalu mengimpor pangan, maka hal ini hanya menjadi
evaluasi atau pengamatan semata tentang perlu adanya keseimbangan antara
produksi pangan dalam negeri dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, juga tingkat
konsumsi pangan rakyat. Akan tetapi, bagaimana di masa pandemi saat ini?
Pandemi Covid-19 yang terjadi di akhir 2019 dan mulai
menyebar hingga menjadi histeria internasional sekarang telah menjadi tamparan
bangun tidur atau wake up call keras yang menyadarkan berbagai pihak
akan realita berbagai kekurangan dan kesalahan dalam sistem, baik itu sistem
kesehatan, perekonomian, birokrasi, industri, hingga yang paling dasar; pangan.
Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia (World Food
Programme) yang dinaungi FAO, David Beasley mengatakan kepada Dewan
Keamanan PBB bahwa sebelum dunia menghadapi Covid-19, dunia sudah berada di
ambang batas bahaya kelaparan massal. Di antara faktor-faktor yang disebutkan
ialah perang di Suriah, Yaman, dan tempat-tempat lainnya, serangan wabah
belalang di benua Afrika, serta berbagai macam bencana alam yang terjadi sejak
awal 2020.
Kehadiran pandemi Covid-19 turut memperparah kondisi ini.
Ketahanan pangan di dunia sejak era globalisasi diwarnai dengan derasnya arus
impor dan ekspor antar negara. Beberapa negara maju seperti Singapura,
menggantungkan 90 persen pangannya dari impor. Rantai suplai pangan ini
terancam dengan hadirnya Covid-19 yang mengubah wajah industri dan keseharian
warga dunia secara radikal.
Berhentinya industri dan pekerjaan, pengisolasian penduduk,
berkurangnya arus pertukaran barang domestik dan internasional, pembatasan
akses pasar, menjadi beberapa titik fundamental perubahan tren pangan dunia.
Tergantung berapa lama waktu pandemi ini berlalu, potensi putusnya rantai
suplai pangan dunia mulai muncul dalam berbagai skala dan intensitas dengan
dampak-dampak negatifnya yang menyusul seperti ancaman kekurangan pangan dan
kelaparan.
Fenomena ini menunjukkan kepada banyak pihak tentang
krusialnya kedaulatan dan kemandirian pangan suatu negara, terutama dalam
menghadapi situasi semacam ini.
Dalam mewujudkan ketahanan pangan paripurna, penentu
dasarnya ialah lingkungan sosial budaya, struktur ekonomi, dan struktur politik
yang ideal[1].
Kemandirian pangan juga harus diberlakukan secara vertikal dan horizontal,
dengan kata lain perlu adanya keberagaman konsumsi pangan alih-alih pemenuhan
kuantitas satu komoditas pangan seperti yang selama ini terjadi dengan konsumsi
beras di Indonesia[2].
Hal ini juga tentu tanpa melupakan faktor-faktor lebih mendetil di lapangan
seperti kesejahteraan petani, kemerataan distribusi dan harga, keberlangsungan
lahan, dan lainnya.
Beberapa langkah ini juga disadari dan telah dimulai oleh
pemerintah Indonesia. Dikutip dari katadata.co.id[3],
Kepala Bidang Ketersediaan Pangan Kementerian Pertanian
Rachmi Widiriani meminta diversifikasi pangan sebagai respon dari peningkatan
konsumsi beras yang tidak diseimbangi dengan produksi beras itu sendiri.
Maka diperlukan reformasi kebijakan
juga tindakan serta sinergi nasional yang dapat mewujudkan berlangsungnya
proses kedaulatan dan kemandirian pangan negara. (Ismail Musyafa Ahmad)
[1]
Rene Verduijn, Strengthening Food Insecurity and Vulnerability Information
Management in Lesotho: FIVIMS Assessment Report: FAO, Maseru, 2005
[2] Food
Diversification-Regional Government and Private Initiative
Industrialization of Food Diversification-Toward
Indigenous Resource-Based Food Security Meeting: 2003
[3] https://katadata.co.id/berita/2019/10/21/ketahanan-pangan-rentan-masyarakat-diminta-beralih-konsumsi-jagung
0 Comments
Posting Komentar