Kompleksitas Perang Harga Arab Saudi versus Rusia di Tengah Pandemi Covid-19


Timur Tengah merupakan kawasan yang terkenal akan kaya dengan sumber minyak buminya bahkan umumnya negara-negara di kawasan Timur Tengah menjadikan minyak sebagai produksi dan pemasukan GDP utama. Namun melimpahnya sumber daya minyak juga menimbulkan permasalahan bagi negara-negara yang ada di Timur Tengah hal ini dikarenakan banyaknya pihak-pihak luar yang juga menginginkan sumber daya minyak tersebut, adanya keterlibatan dan ikut campur negara-negara superpower seperti Amerika dan Uni Soviet yang mencoba melakukan hegemoni untuk penguasaan penuh terhadap sumber minyak. Mengutip argumen Mark Quarterman (2007) bahwa kepentingan untuk menguasai energi minyak fosil inilah AS dan Barat menanamkan pengaruhnya di Timur Tengah. Jadi, apa yang kini dilakukan AS di Libya sesungguhnya dapat dieja dari perspektif politics for oil.
 
Munculnya Amerika di dalam kawasan Timur Tengah berawal dari kerja sama dalam bidang ekonomi perminyakan dilanjutkan dengan kerja sama dalam bidang militer dan politik. Namun, kerja sama yang terjalin bukan hanya sebatas murni untuk mencapai tujuan dari kerja sama tersebut tetapi juga adanya kepentingan pribadi yang dibawa oleh Amerika. Seperti pada keterlibatan Amerika di dalam Perang Teluk II dan dilanjutkan dengan Perang Teluk III di sini terlihat bahwa Amerika memiliki kepentingan terselubung untuk menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein yang dianggap dapat menjadi saingan dalam menghegemoni kekayaan minyak yang ada di kawasan Timur Tengah. Amerika membutuhkan minyak untuk memenuhi pasokan kebutuhan Amerika akan minyak. Akan tetapi, karena negara ini bukanlah penghasil minyak, sehingga imperialisme minyak di Timur Tengah menjadi alternatif bagi Amerika. Dengan modal ancaman senjata pemusnah massal dan kampanye demokrasi atas rezim Saddam Husain di Irak, Amerika dengan mudah menguasai ladang-ladang minyak yang ada di negara ini. Eksploitasi besar-besaran pun dimulai sejak Saddam lengser, hingga saat ini. Sehingga dapat disimpulkan kekayaan minyak di kawasan Timur Tengah selain mendapatkan keuntungan juga menimbulkan konflik baik dari negara-negara di kawasan Timur Tengah maupun yang bukan Timur Tengah.
 
Konflik minyak dewasa ini kembali terjadi antara Arab Saudi dan Rusia, konflik ini dikenal sebagi perang harga awal mula dari terjadinya konflik ini dikarenakan Rusia yang menolak untuk memotong jumlah produksi minyak untuk mencegah jumlah minyak yang tidak terpakai di pasar global hal ini dikarenakan menurunnya jumlah permintaan terhadap minyak yang disebabkan adanya pandemi virus Covid-19 yang menyebabkan perubahan dan krisis ekonomi global. Karena respon penolakan yang diberikan oleh Rusia, membuat Arab Saudi merasa tidak terima balas dendam pun kembali diberikan oleh Arab Saudi dengan menurunkan harga minyak bumi dan bahkan Arab Saudi berjanji kepada China yang akan memberikan potongan harga pada setiap pembelian minyak dengan adanya perang harga antara Rusia dan Arab Saudi menjadikan harga minyak bumi anjlok dan jatuh pada harga terendah setelah perang dunia kedua terjadi.
 
Perang harga yang terjadi antara Rusia dan Arab Saudi yang merupakan bentuk dari kegagalan diplomasi yang dilakukan oleh organisasi penghasil minyak (OPEC). Dalam perundingan yang dilakukan oleh OPEC dimana dalam hal ini OPEC meminta Russia memotong jumlah produksi sebesar 40% untuk mencegah membanjirnya minyak mentah tidak terpakai akibat berkurangnya jumlah permintaan yang disebabkan oleh adanya penyebaran virus corona (Covid-19). Karena penolakan yang dilakukan oleh Rusia menyebabkan putusnya hubungan baik antara Rusia dan Arab Saudi. Untuk membalas penolakan yang diberikan oleh Rusia, Arab Saudi memberlakukan kebijakan untuk menurunkan harga minyak di pasar global dan meningkatkan jumlah produksi minyak. Akibatnya harga minyak mentah jatuh ke titik terendah. Harga minyak turun hingga 30% setelah Arab Saudi mengumumkan adanya penurunan harga dan bahkan Arab Saudi memberikan potongan harga untuk komoditas minyak mentah kepada China sebesar US$ 6 atau US$7 per barel. Hal ini merupakan awal dari perang harga antara Arab Saudi dan Rusia. Arab Saudi akan mengancam dengan cara mendiskon minyak mentahnya dan meningkatkan produksi mendorong harga minyak mentah Brent, turun ke level US$ 31,02 per barel.

Adapun alasan Rusia menolak untuk melakukan pemotongan produksi yaitu adanya keinginan untuk balas dendam kepada Amerika yang telah memberikan sanksi kepada perusahaan-perusahaan energi di Rusia bulan lalu, dan membuat produksi minyak Amerika Serikat melemah. Dan sebagai bentuk upaya dalam menghentikan pipa gas Nord Stream 2 ke Jerman.

Pendekatan Arab Saudi dalam kesepakatan dengan Rusia adalah permintaan take-it-or-leave-it dalam permintaan agar Rusia mengurangi 1,5 juta barel per hari, mengambil total pemotongan menjadi 3,6 juta / hari atau sekitar 4% dari pasokan global.  Itu yang dinilai telah membuat Rusia merasa tidak dihargai.

Dengan adanya perang harga antara Rusia dan Arab Saudi yang dibarengi dengan krisis pandemi Covid-19 yang sudah menjadi krisis global saat ini juga menyebabkan kerugian dalam pasar saham dan menurunnya mata uang dibeberapa negara. Selain itu sesuai tujuan awal Rusia yang menginginkan balas dendam kepada Amerika Serikat terbukti dengan adanya perang harga ini membuat produksi minyak Amerika menjadi terhambat dan membuat beberapa produsen pengebor minyak enggan untuk untuk melakukan pengeboran minyak baru karena dibutuhkan biaya yang besar. Administrasi Informasi Energi AS menunjukkan bahwa produksi minyak mentah Amerika Serikat akan turun dari 13,2 juta barel per hari pada Mei 2020 menjadi 12,8 juta barel per hari pada Desember 2020 karena perang harga, dan kemudian akan turun menjadi 12,7 juta barel per hari pada 2021.

Menanggapi krisis minyak yang terjadi akibat adanya perang harga dan penyebaran pandemi Covid-19 yang menyebabkan turunnya permintaan pasar terhadap minyak. Dampak sangat dirasakan oleh negara-negara yang sangat ketergantungan dari pendapatan yang di dapat melalui sumber minyak yang ada di negaranya seperti Oman dan Kenya dan negara lainnya yang baru mencoba bangkit dan terlibat dalam perdagangan minyak dunia. Hal ini sangat berdampak pada sistem perekonomian dalam negeri dan pemerintahannya karena hanya bergantung kepada penghasilan yang didapat melalui penjualan, adanya potensi krisis ekonomi dalam negeri dimana jika kita lihat ke negara Venezuela yang dulunya merupakan negara yang sangat kaya karena kelimpahan minyak bumi namun saat ini menjadi negara dengan krisis pangan dan ekonomi yang cukup parah hal ini disebabkan karena Venezuela yang terlalu bergantung kepada sumber minyak tanpa menyadari bahwa minyak tersebut dapat habis dan akan tidak ada antisipasi dini jika sewaktu-waktu harga minyak dapat menurun.

Sumber gambar : gridhot.id

Oleh: Tama Silviana (mahasiswi S1 Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya)

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak