Covid-19 atau virus Corona benar-benar sudah sangat menyengsarakan.
Setidaknya, setelah diumumkan sebagai pandemi global oleh WHO pada tanggal 11
Maret 2020, virus ini sudah menelan sebanyak 68.150 korban jiwa dari 1.252.982
kasus yang tersebar di 207 kawasan. Amerika Serikat sebagai peserta Covid-19
terbanyak dengan jumlah kasus sebanyak 321.020 dan dengan korban jiwa sebanyak
9.109 (sampai tulisan ini dibuat). Jumlah ini bahkan melebihi dari jumlah negara asal virus tersebut, China, yang berjumlah 81.669 kasus dan 3.329
kematian. Trump, selaku presiden Amerika Serikat pada Januari mengatakan jika
ancaman wabah virus tersebut rendah di AS. Tapi, pada bulan Maret, AS mendapat
lonjakan kasus yang begitu besar dan terus bertambah hingga saat ini.
Sampai sekarang, ilmuwan masih terus berusaha menemukan vaksin
untuk wabah tersebut. Mengutip dari DW Indonesia, sekelompok peneliti di China
awal Januari lalu telah mempublikasikan kode genetik virus ini agar para pakar
di dunia bisa mulai bekerja mencari vaksin. Beberapa tim peneliti di dunia
sudah menemukan kandungan yang bisa digunakan untuk vaksin manusia. Kai
Dallmeir, seorang peneliti
vaksin mengatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk mengembangkan vaksin pada
umumnya adalah sekitar 10-15 tahun. Sekarang seluruh peneliti berusaha untuk mempercepat
prosesnya agar dapat membantu mengatasi krisis darurat ini. Vaksin untuk Covid-19 diperkirakan akan siap pada
pertengahan tahun 2021.
Terlepas dari usaha para peneliti yang
sedang mengembangkan vaksin, WHO memperingatkan soal kekurangan global dan
kenaikan harga sejumlah alat medis perlindungan diri. Padahal, alat-alat
tersebut saat ini sangat dibutuhkan guna mencegah penyebaran lebih lanjut virus
Covid-19. Kekurangan tersebut
disebabkan karena meningkatnya permintaan, pembelian panik, penimbunan, dan
penyalahgunaan. Hal ini menjadikan para dokter, perawat, dan seluruh pekerja
garda terdepan tidak siap untuk merawat para pasien. Menurut katadata.co.id,
sejak virus Covid-19
menyebar, harga alat pelindung diri melonjak. Harga masker bedah meningkat enam
kali lipat, respirator N95 naik menjadi tiga kali lipat, dan jubah pelindung
berlipat ganda. Persediaan alat tersebut pun memakan waktu berbulan-bulan untuk
pengiriman.
WHO sejauh ini telah mengirimkan hampir
setengah juta set alat pelindung diri, tetapi persediaan semakin sedikit.
Berdasarkan permodelan WHO, diperkirakan 89 juta masker medis diperlukan untuk
merespons Covid-19 setiap
bulannya dan stok untuk itu pun semakin terbatas. Ini menjadi catatan bahwa,
dunia secara global masih sedikit gagap atau kurang siap menghadapi pandemi.
Jauh sebelumnya, pada tahun 2015, Bill
Gates dalam presentasinya di TED Talks, menyatakan tentang bahaya pandemi di
masa depan. Bukan meramal wabah apa yang akan menyerang, tapi menjelaskan
tentang ketidak siapannya dunia global menghadapi pandemi yang mungkin akan
terjadi di masa mendatang. “Hari ini, risiko terbesar dari kekacauan global
bukanlah seperti bom nuklir, tapi apa yang disebut dengan virus. Jika ada
sesuatu yang mampu membunuh 10 juta orang dalam beberapa dekade kedepan, itu
adalah virus yang sangat mematikan dan bukanlah sebuah perang. Bukan misil,
tapi sebuah mikroba.” ujar
Bill Gates. Jika membandingkan korban yang jatuh, antara perang dan epidemi,
memang masih lebih banyak perang. Namun, jika kita meanganlisis lebih jeli
lagi, Flu 1918 atau yang bisa disebut juga Flu Spanyol, ternyata menelan korban
lebih banyak dari pada Perang Dunia Pertama.
historia.id menyebutkan bahwa jumlah korban meninggal akibat
Flu Spanyol diperkirakan mencapai 21 juta jiwa (John Barry) hingga 50-100 juta
jiwa (Nial Johnson dan Juergen Mueller), itu berarti dalam kurun waktu Maret
1918 sampai September 1919, Flu Spanyol merenggut sekitar 2% dari populasi
dunia saat itu.
”We are not ready for the next epidemic”, ucap Bill. Menurutnya, belajar dari kasus
epidemik ebola, yang salah sebenarnya bukanlah pada sistem yang tidak berjalan
dengan benar, melainkan karena memang manusia tidak memiliki sistem atau cara
untuk menghadapi itu. Bisa dikatakan, ada beberapa hal penting yang hilang, yaitu,
dunia tidak memiliki tim epidemiologi yang siap terjun ke lapangan guna
mempelajari penyakitnya, mengkaji seberapa jauh ia tersebar, dan bagaimana ia
menyebar. Kedua, kita tidak memiliki tim medis yang siap siaga, juga tidak
memiliki cara untuk mempersiapkan tenaga ahli dalam hal tersebut. Seharusnya
ini menjadi catatan untuk kita, khususnya WHO.
Bentuk kegagapan lainnya adalah kasus
rasisme yang ikut berkembang bersamaan dengan wabah yang ada. Di London
misalnya, Jonathan Mok, seorang mahasiswa dari Singapura. Ia bercerita, kalau
dia dipukuli oleh sekelompok pria sambil berucap, “Saya tidak ingin virus Corona mu ada di negara saya.” Kepolisian London
mengatakan, pihaknya memperlakukan serangan itu sebagai ‘serangan rasial yang
menyakitkan’. ”Wajah bonyok dan berdarah akibat pukulan dari para pemuda
tersebut” ujar Mok kepada bbc.com.
Mengutip dari bbc.com juga, bahwa
di Perancis warga keturunan Tionghoa sempat marah ketika surat kabar lokal LE
Courier Piccard memajang berita utama ‘Alerte Jaune’ (bahaya kuning)
dan ‘Le Peril Jaune’ (bahaya kuning), dilengkapi foto perempuan China
memakai masker pelindung. Meski akhirnya surat kabar tersebut meminta maaf dan
menyatakan tak bermaksud untuk menggunakan stereotip buruk Asia, namun jelas,
apa yang mereka lakukan adalah perbuatan rasisme.
Tidak patuhnya seseorang terhadap aturan
yang sudah ditetapkan oleh pemerintah di tengah wabah seperti sekarang ini juga merupakan bentuk kegagapan
dalam menghadapi pandemi ini. Italia, melaporkan kasus virus Corona pertamanya pada 20 Februari lalu. Pada 8 Maret,
Perdana Mentri Giuseppe Conte menutup sebagian besar Italia yang berisi 16 juta
orang. Karantina diberlakukan saat infeksi virus Corona mendekati 6000, dan angka kematiannya telah
melampaui 230 orang. Tetapi berita tentang karantina tersebut bocor, hal ini
membuat ribuan orang berbondong-bondong melarikan diri dari bagian utara.
Mengutip tempo.co, Roberto Burioni
mengatakan kepada The Guardian, bahwa kebocoran informasi (karantina)
tersebut memicu orang-orang untuk melarikan diri ke selatan, namun sayang
sebagian dari mereka sudah terinfeksi virus Corona. Hingga saat ini, Italia tercatat sebanyak 128.948 kasus dan angka
kematiannya mencapai 15,887 jiwa.
Tapi, kadang pemerintah pun melakukan
‘kegagapan’ yang serupa. Menerapkan aturan tanpa kejelasan yang pasti.
Melakukan lockdown tanpa memberikan jaminan hidup apapun. Tidak heran
jika akhirnya orang lebih memilih untuk keluar rumah lagi guna memenuhi
kebutuhan sehari-harinya. Sering juga pemerintah tidak transparan, tidak
menunjukan keadaan yang sebenarnya terjadi. Ini berujung kepada anggapan
kebanyakan orang kalau wabah ini hanyalah sakit yang biasa-biasa saja.
Dari semua angka kasus yang ada dan terus
bertambah, kita juga perlu sadar bahwa angka pasien yang sembuh pun terus
bertambah. Oleh karenanya, kita tidak perlu panik sampai menimbun kebutuhan
pokok dan segala sesuatunya. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah mengakhiri
pandemi ini dengan diawali mengakhir kegagapan kita
Have a nice day.
Sumber gambar : health.mil (U.S. Air Force photo by Senior Airman Cody R. Miller)
Faruq Al Quds
0 Comments
Posting Komentar