Wanita dengan segala keindahan yang ada pada dirinya,
kelembutan hatinya, cita-cita tinggi untuk bangsa dan generasi penerusnya,
serta semua peran hebat yang diampu oleh wanita menjadikan wanita sebagai sosok
makhluk ciptaan Allah yang begitu istimewa. Semua kebebasan berekspresi, kesetaraan
hak, kontribusi untuk kebangkitan kaum wanita yang dapat kita rasakan saat ini
tidak lepas dari pengorbanan para pahlawan wanita yang berjuang keras mewujudkan
emansipasi wanita.
Selain ibu kita Kartini yang menjadi tokoh emansipasi
wanita, tentunya banyak peran wanita tangguh lainnya yang sama-sama berjuang
untuk mewujudkan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat
seperti Pendidikan, politik, tak luput pula bidang jurnalistik.
Tiga sosok srikandi yang akan diperkenalkan merupakan nenek
moyang saya yang berasal dari tanah Minangkabau, mungkin tidak banyak yang
mengenal dan mengenang mereka, akan tetapi
kerja konkret yang mereka lakukan dan tinggalkan merupakan bukti
perjuangan yang tidak layak kita lupakan.
Pendidikan, Politik dan Jurnalistik
Tak dapat dipungkiri bahwa tiga aspek tersebut merupakan
aspek penting di negara kita. Memperbaiki kualitas pendidikan adalah upaya
terbaik untuk mencerdaskan anak bangsa. Sebagai negara demokrasi yang menuntut
seluruh rakyatnya untuk turut serta mengawasi dan berkontribusi dalam
pemerintahan merupakan wujud pentingnya politik. Dunia jurnalistik yang
berkaitan erat dengan literasi juga merupakan keahlian tak kalah penting dari aspek
lainnya, menyampaikan aspirasi dan pengetahuan tidak akan mudah sampai kepada
orang lain jika tak menguasai jurnalistik dengan baik. Roehana Koedoes, Rahmah
El Yunusiyah, dan Rasuna Said merupakan tiga srikandi asal Minang yang
menggeluti tiga aspek penting tersebut demi mewujudkan emansipasi wanita
khususnya di tanah Minangkabau.
Roehana Koedoes
Ilustrasi: Roehana Koedoes
Beliau adalah wartawan wanita pertama Indonesia yang lahir
di Kota Gadang, Kabupaten Agam, pada 20 Desember 1884 ditetapkan sebagai
pahlawan nasional oleh presiden kita Joko Widodo pada Jumat (08/11/2019).
Roehana yang meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan formal akan tetapi
tumbuh dari keluarga moderat yang gemar membaca sehingga buku merupakan hal
yang lekat pada diri Roehana, di usianya yang lima tahun Roehana mampu membaca
tulisan Latin, Arab dan Arab Melayu dan mampu menulis serta menguasai Bahasa
Belanda di usia delapan tahun. Kepedulian Roehana terhadap nasib pribumi putri
yang tidak dapat belajar di sekolah mendorongnya untuk mendirikan Sekolah
Kerajinan Amai Setia (KAS) di Kota Gadang pada 11 Februari 1911. Sekolah ini
mengajarkan ketrampilan dan keahlian untuk wanita dan merupakan tindak lanjut
dari dideklarasikannya Perkumpulan Perempuan Kerajinan Amai Setia yang dipimpin
lansung oleh Roehana.
Akan tetapi mendirikan sekolah saja tak cukup bagi Roehana,
ia ingin melebarkan sayapnya lebih jauh untuk mencerdaskan lebih banyak pribumi
putri di daerah lainnya, Roehana mengirimkan surat kepada Datuk Sutan
Maharadja, pimpinan redaksi Oetoesan Melajoe, di Padang. Roehana
menyampaikan keinginannya agar wanita diberi kesempatan yang sama seperti
lelaki untuk mendapat Pendidikan, ia juga mengusulkan agar ada ruang khusus
tulisan wanita di Oetoesan Melayu. Membaca surat dari wanita cerdas itu
membuat Datuk Sutan Maharadja tersentuh dan mengabulkan permintaan Roehana,
bukan hanya memberi ruang tulisan untuk wanita, bahkan Datuk Sutan Maharadja
menerbitkan surat kabar khusus untuk wanita yang bernama “Soenting Melajoe” dan
menjadikan Roehana sebagai pimpinan redaksi.
Menulis, mengumpulkan kontributor
surat kabar, mengajar, bahkan tetap aktif di pergerakan wanita merupakan
rutinitas Roehana setiap harinya. “Soenting Melajoe” yang terbit seminggu sekali berkembang pesat,
tak hanya tersebar di Minangkabau dan Sumatera, koran ini juga menjangkau
Malaka dan Singapura. Selain berita terjemahan dari Bahasa Belanda, koran ini
juga menyajikan sejarah, artikel kesehatan, ekonomi hingga puisi dimana semua
kontributornya adalah wanita.
Tak berpuas diri pada penerbitan Soenting Melajoe,
ketika pindah ke Medan tahun 1920 Roehana kembali memimpin redaksi Perempuan
Bergerak. Pada 1924 Roehana diangkat menjadi redaktur di surat kabar Radio di Padang.
Tulisan Roehana terfokus pada ajakan pada kaum wanita untuk lebih maju.
Mengkritik praktik pergundikan yang dilakukan oleh Belanda yang memberi
pekerjaan tak manusiawi, dan permainan mandor yang menjebak buruh wanita dalam
prostitusi. ”Aku ingin berbuat lebih banyak lagi untuk menolong kaum wanita”
ujar pahlawan nasional kita, Roehana Koedoes.
Rahmah El Yunusiyah
Ilustrasi: Rahmah El Yunusiyah
Pada 1 November 1923, Rahmah di usianya yang tergolong
muda yaitu 23 tahun, ia mendirikan Madrasah Diniyah li al-Banat atau Diniyah School Putri. Pihak dari Universitas Al-Azhar datang mengunjungi Sekolah Diniah Putri dan
terkagum melihat upaya Rahmah yang mendirikan sekolah khusus wanita, petinggi
Al-Azhar mengakui bahwa Universitas mereka masih tertinggal jauh dari sekolah
yang digagas oleh Rahmah. Dua tahun berikutnya, Rahmah diundang ke Kairo, Mesir
dan mendapatkan gelar “Syaikhah” atau “Guru Besar”. Kedatangan dan cerita
Rahmah soal Sekolah Diniyah Putri menginspirasi Al-Azhar untuk membuka Kuliyatul
Lil Banat- fakultas khusus untuk wanita yang diresmikan pada tahun 1962.
Selain pendidikan, Rahmah mulai menapaki dunia politik pada
akhir 1949 usai penyerahan kedaulatan RI dari Belanda. Ia terpilih menjadi anggota parlemen dari partai
Masyumi dalam pemilihan umum 1955 mewakili Sumatera Tengah. Akan tetapi
sepulangnya Rahmah dari Mesir, hubungan Rahmah dengan Presiden Soekarno
memburuk. Rahmah kecewa karena Soekarno terlalu dekat dengan orang-orang dari
Partai Komunis Indonesai (PKI) dan akhirnya ia mengundurkan diri dari kursi
parlemen untuk kembali mengurus sekolahnnya di Padang Panjang.
Ketika
Syafruddin Prawiranegara mengumumkan pembentukan Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) pada 1958, Rahmah turut mendukung dan ikut berjuang
bersama menuntut otonomi daerah yang lebih luas, akan tetapi pergerakan ini
dianggap pemberontakan oleh pemerintah RI dan harus ditumpas. Bersama PRRI,
Rahmah terus bergerak menghindari kejaran tantara RI sampai akhirnya tertangkap
pada Agustus 1961. Meski akhirnya Rahmah dan anggota PRRI lainnya diampuni oleh
Soekarno, keadaan fisik Rahmah sudah melemah karena kanker payudara yang
dideritanya, hingga tubuh Rahmah terkulai saat berwudhu menjelang maghrib pada
26 Februari 1969.
Perempuan tangguh dan berani itu, menghembuskan napas
terakhirnya pada usia 71 tahun, sehari sebelum wafat beliau sempat menemui
Gubernur Sumatera Barat, Harun Zain. “Pak Gubernur, napas ini sudah hampir
habis, rasanya sudah sampai di leher. Tolonglah dilihat-lihat dan diperhatikan
Sekolah Diniyah Putri” pintanya. Betapa cintanya Rahmah pada pendidikan dan
kaumnya. Karena bagi Rahmah, wanita adalah pendidik anak yang akan
mengendalikan jalur kehidupan mereka selanjutnya. Maka perlu ada upaya untuk meningkatkan
kemampuan kaum wanita, baik di bidang intelektual maupun kepribadian. Meski tak
dapat dipungkiri bahwa peran-peran domestik tak dapat dilepaskan dari wanita.
Sehingga ketrampilan rumah tangga masuk ke dalam kurikulum sekolahnya.
Rasuna Said
Srikandi selanjutnya adalah Rasuna Said atau yang biasa
dikenal dengan julukan ‘Singa Podium’. Organisator ulung yang juga merupakan
politisi, kesadarannya untuk berpolitik mulai muncul ketika mengenyam bangku
pendidikan di Sekolah Diniah Putri. Rasuna berani mengemukakan pendapat dan
menyampaikan perlunya partisipasi pelajar di bidang politik.
Ilustrasi: Rasuna Said
Rasuna dipercaya
menjadi sekretaris pada perkumpulan Sarekat Rakyat yang merupakan organisasi
penghimpun kekuatan untuk menentang penjajahan Belanda yang belakangan berubah
nama menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) yang dipimpin HOS
Cokroaminoto, Abdul Muis dan Haji Agus Salim di tingkat Nasional. Pada 1932
Rasuna diangkat sebagai pengurus Partai Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI).
Inilah tonggak-tonggak awal keterlibatan Rasuna Said sebagai pejuang
kemerdekaan Indonesia.
Reputasi Rasuna Said sebagai politisi semakin berkibar
seantero Sumatera Barat, pidato-pidato beraninya mengecam penjajah dan menuding
Belanda telah mengeksploitasi kekayaan alam dan keringat rakyat Indonesia
sebagai buruh dengan upah yang tidak manusiawi. Rasuna Said bahkan dijebloskan
ke jeruji besi di Bulu, Semarang selama
13 bulan akibat pidatonya yang menuntut kemerdekaan Indonesia secara terbuka.
“Pintu kemerdekaan telah terbuka, dan kami harap apabila anda kembali ke tempat masing-masing saudara
sekalian akan membisikkan hal ini kepada semua saudara seagama dan sebangsa.
Tujuan kita satu; membuka jalan untuk meraih hak kita, yaitu Indonesia Merdeka
yang bebas dari kekuasaan bangsa asing.”
Sadar karena perjuangan di bidang politik terhambat, Rasuna
Said menyusun strategi untuk berjuang di ranah pendidikan dan jurnalistik.
Rasuna bergabung dengan Islamic College, sebuah lembaga perguruan Islam di
Padang, ia dipercaya untuk memimpin majalah sekolah yang bernama 'Raya'. Setelah
memutuskan untuk pindah ke Medan, ia memimpin dan mengelola surat kabar
mingguan bernama “Menara Poetri” sembari membina perguruan putri.
Ketika Jepang
menduduki Indonesia pada 1942 Rasuna dan rekan-rekannya tak berpangku tangan.
Ia kembali ke Sumatera Barat untuk mengubah siasat dengan tujuan sama yaitu
kemerdekaan Indonesia dengan mendirikan Pemuda Nippon Raya yang lagi-lagi
mengakibatkannya ditangkap karena dianggap mengganggu kepentingan Jepang. Setelah
dibebaskan Rasuna dan Chatib Suleman memperjuangkan dibentuknya Barisan Pembela
Tanah Air PETA. Dharma bakti Rasuna tak selesai ketika proklamasi dibacakan.
Rasuna terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera mewakili Sumatera
Barat. Aktif bergabung juga di Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan
anggota DPR RI Serikat pada 1949. Pada 1955 Presiden Soekarno mengangkat Rasuna
Said sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Bagi Rasuna, Perempuan
Indonesia harus mulai memikirkan tentang gagasan kebangsaan, wajib ikut
serta dalam perjuangan mewujudkan dan mempertahankan kemerdekaan. Indonesia
tidak akan merdeka jika wanitanya masih terbelakang. Kaum perempuan di
Indonesia wajib berpikiran maju seperti kaum pria. Perhatian dan energi yang
total dicurahkan Rasuna tidak diimbangi dengan perhatian kesehatan fisiknya.
Rasuna Said mengidap kanker darah dan tidak tertolong pada 2 November 1965. Ia dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Rasuna Said ditetapkan sebagai Pahlawan
Nasional pada 1974.
Tiga srikandi asal Minangkabau adalah sosok inspirasi bagi
kita semua khususnya kaum perempuan. Semangat juang menuntut ilmu dan
memperjuangkan hak belajar bagi kaumnya, yang terpenting adalah, paham ilmu
agama Islam adalah penting bagi mereka serta tidak membatasi mereka untuk
berkontribusi dalam pemerintahan maupun jurnalistik. Selamat berjuang aku, kamu
dan semua kaum wanita, Indonesia butuh lahirnya kembali seorang Kartini,
Roehana Koedoes, Rahmah El Yunusiyah, dan Rasuna Said. Selamat hari Kartini
wanita Indonesia kuat dan hebat, peran pentingmu dinantikan Indonesia!
Oleh Alka Razaan
0 Comments
Posting Komentar