Oleh: Alvin Qodry Lazuardy, S.Ag
Mahasiswa Universitas Darussalam Gontor, Jurusan Aqidah Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin (tulisan ini telah dipublikasikan di laman pribadi penulis)
Pendahuluan
Worldview merupakan struktur dasar dari setiap
tindakan manusia, termasuk didalamnya aktifitas-aktifitas Ilmiyah, sains dan
teknologi. Dari output manusia yang ditampakan melalui pikiran, akal, sikap dan
perilaku dapat ditelusuri bagaimana cara pandang hidupnya. Salah satu Profesor
dari Turki mengungkapkan bahwa, Worldview adalah kumpulan keyakinan dasar
seseorang tentang sesuatu yang dilihat kemudian menafsirkan sesuatu tersebut
yang disebut Realitas. Dasar utama dalam worldview yang sangat penting adalah
keyakinan dasar dalam menafsirkan realitas dilandasi kepercayaan kepada Tuhan.
Diungkapkan oleh Thomas Wall, ia memaparkan
keyakinan seseorang tentang adanya Tuhan menjadikan manusia tidak dibatasi hal
empiris dalam memandang realitas[1]. Kemudian sama halnya dalam konteks keilmuan,
objek-objek dalam keilmuan tidak terbatas oleh empiris semata, disitu ada
unsur-unsur metafisik (non empiris). Selanjutnya dalam konteks kehidupan
sosial, etika dan tata nilai tidaklah semata-mata hasil dari konsensus bersama
yang bersifat dinamis bisa berubah kapan saja, tetapi didalamnya ada esesensi
yang tidak akan hilang dan ada nilai-nilai transendental yang tak lelang oleh
waktu. Sebaliknya jika cara pandang menafikan kepercayaan kepada Tuhan maka
segala realitas yang dilihat akan bebas nilai dan bersifat relatif.
Paradigma Ilmu merupakan framework dasar untuk
menafsirkan realitas, hakikat ilmu dan cara mendapatkannya. Kemudian Paradigma
dapat dibagi menjadi beberapa spektrum, diantaranya: pertama adalah Ontologis
(sesuatu yang dapat diketahui), kedua ialah Epistemologi (hubungan
subjek dan objek Ilmu), ketiga yaitu Aksiologis (peran nilai dalam
penelitian), keempat adalah Retorika (bahasa dalam penelitian), kelima
adalah Metodologis (bagaimana metode mencari dan menemukan kebenaran
Ilmu). Namun itu semua masih dipengaruhi oleh aspek yang paling mendasar yaitu
bagaimana Worldview masing-masing peradaban.
Worldview dan Paradigma: Definisi dan Perbedaanya
Worldview adalah terminologi yang berasal dari
bahasa Inggris, yang bersumber pada bahasa Jerman weltanschauung yang berarti “pandangan hidup” atau cara pandang terhadap dunia”,
pengertianya tentang pandangan terhadap realitas sebagai kesatuan yang
menyeluruh atau pandangan terhadap kosmos. Pandangan yang menyeluruh dan umum
terhadap dunia yang berkaitan didalamnya
seperti soal hakikat, nilai, arti dan tujuan akhir dari manusia.
Meskipun terdapat beberapa definisi yang berbeda dari
berbagai Ilmuwan tetapi istilah-istilah tersebut mengkerucut pada makna yang
sama, yang pada intinya adalah “pandangan terhadap dunia” dan sistem yang
terbangun dalam fikiran manusia untuk memandang realitas yang terjadi didunia. Didalamnya
terdapat unsur historis, futuristik, sosial dan lainnya.
Filosof Islam kontemporer Syed Naquib al-Attas
memberikan definisi Worldview adalah “ru’yatul Islam lilwujud” penjelasannya
adalah pandangan Islam tentang Realitas dan Haqiqoh yang nampak atau kebenaran
yang nampak oleh mata hati yang menjelaskan hakikat wujud, karena yang
dipancarkan Islam adalah wujud yang benar (haqiqoh). [2]
Dari pengertian worldview diatas dapat
disimpulkan bahwa worldview berlaku bagi peradaban atau agama secara umum.
Namun definisi untuk Islam mempunyai nilai tambah karena sumbernya dan
spektrumnya yang luas dan menyelusuruh.Pandangan-pandangan diatas juga telah
cukup baik menggambarkan karakter Islam sebagai suatu pandangan hidup yang
membedakannya dengan pandangan hidup lain.
Paradigma dan Perkembangannya
Perkembangan Ilmu sangat dipengarui oleh
komunitas Ilmuwan dan kemudian melahirkan budaya Ilmu dan Tradisi Keilmuan. Komunitas
Ilmuwan adalah sekumpulan Ilmuwan yang menggunakan, mengembangkan dan mengelola
suatu bentuk pendekatan Ilmu dengan serius. Dari kegiatan para Komunitas
Ilmuwan lahirlah tradisi kelilmuan
kemudian melahirkan Paradigma yang juga disebut sebagai intellectual
commitment, yaitu suatu citra dasar yang fundamental dari pokok
permasalahan dari suatu Ilmu. Paradigma seperti yang dijelaskan oleh Ritzer
yaitu menggariskan apa yang harus ditelaah, menguasai peertanyaan yang perlu
dijawab, dan kaidah-kaidah yang seharusnya diikuti dan ditasirkan sebagai
jawaban. [3]
Bangunan
sebuah teori ilmu pengetahuan sangat bergantung kepada paradigma ilmu
pengetahuan itu sendiri.Bagaimana seseorang mengembangkan suatu paradigma ilmu,
dan bagaimana mengetahui paradigma apa yang digunakan oleh sesorang ilmuwan
menurut Burrel dan Morgan[4] dapat ditelusuri dari jawaban atas empat
pertanyaan dasar yang menjadi aspek filosofis dan metodologis dalam menemukan
ilmu pengetahuan, yaitu: dimensi ontologis, dimensi epistiologis, dimensi
aksiologisdan dimensi metodologis.
Ada
beberapa aliran yang memandang dimensi dalam mengungkap hakekat ilmu dengan
sudut yang berbeda-beda, diantara aliran tersebut adalah: Positivisme. Dalam
memandang dri sudut ontologis bahwa realitas itu ada dan berjalan sesuai hukum
alam. Secara epistemologis objek studi sosiologi adalah fakta sosial seperti
bahasa, sistem hukum, sistem politik, sistem pendidikan dan lain sebagainya.
Metodologi yang digunakan adalah eksperimen empirik. Dan syarat-syarat objek ilmunya
adalah observable, repeatable, measurable, testable dan predictable. Dalam
aliran ini segala sesuatu akan dianggap ilmiah apabila dapat diukur secara
empiris dan kasat mata.
Postpositivisme
yang digawangi
oleh para filsuf seperti Auguste Comte, J. S. Mill, Emile Durkheim dan lain
sebagainya, melihat secara ontologis dengan realisme kritis (realitas ada tapi
mustahil manusia dapat melihatnya secara benar), atau kebenaran itu sebenarnya
ada dan berwujud namun kemampuan manusia tidak sampai ke tingkat untuk
mengetahuinya secara benar. Secara metodologis ekperimen sederhana yang
dilakukan tidak cukup dan harus menggunakan triangulation (macam-macam metode,
sumber data, peneliti dan teori). Dan
secara epistemologis subjek dan objek tidak dapat dipisahkan (harus interaktif
dan netral) atau harus menyatu tanpa ada sekat yang dapat menyebabkan
objektifitasnya bermasalah.
Menurut
aliran konstruktivisme jika dipandang secara ontologis realitas itu
bersifat sosial dan akan menghasilkan teori atas realitas majemuk. Realitas
adalah konstruk mental, berdasarkan pengalaman sosial tidak ada realitas yang
dapat dijelaskan secara tuntas. Tujuan aliran ini adalah menciptakan ilmu dalam
bentuk teori hipotesis dan bersifat sementara, yang akan berubah ketika ada
sebuah teori yang menggugurkannya. Dalam hubungan subjek dan objek atau secara
epistemologis adalah sebuah perpaduan antara keduanya. Metodologi penelitian
yang digunakan adalah bahwa sebuah penelitian harus dilakukan di luar
laboratorium atau di alam bebas. Serta menggunakan metode kuantitatif,
hermeneutik, dialektik untuk konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi proses
sosial.
Realitas
dapat dibagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah tekstual dan yang kedua
adalah kontekstual. Realitas itu ditentukan oleh beberapa aspek, diantaranya
adalah: aspek historis, aspek sosiologis, aspek psikologis dan aspek ontologis.
Di
dalam teori kritis, secara ontologis realitas tidak dapat dilihat secara
benar. Metodologi yang digunakan adalah dialog dan komunikasi. Secara
epistemologi subjek dan objek tidak dapat dipisahkan. Dan nilai-nilai yang
dimiliki subjek itu ikut campur dalam penelitian sehingga bersifat subjektif
secara aksiologis.
Konsepsi
teori kritis adalah kritis terhadap metode yang digunakan dalam berbagai
penelitian. Dan menurut teori ini
bahwasanya ilmu itu tidak netral atau bebas nilai (value free) tapi
bersifat value ladden atau mengandung nilai. Karena ilmu itu diciptakan
oleh masyarakat yang mempunyai ideologi sehingga ilmu itu lahir dilandasi oleh
ideologi yang dianut oleh sebuah komunitas atau masyarakat yang ada. Sehingga
dapat dimengerti bahwa pengembangan ilmu tidak melulu untuk ilmu itu sendiri.
Tetapi fungsi darinya adalah untuk mengembangkan nilai-nilai yang mereka junjung
atau anut.
Di
dalam paradigma keilmuan sekuler, landasan konsep yang dipakai hanya terbatas
menggunakan rasio semata tanpa menggunakan pertimbangan lain untuk memperkuat kebenarannya.
Objek kajiannya yaitu bersifat empiris, sehingga dalam kajiannya sama sekali
tidak ada kaitannya dengan nilai ketuhanan dan moralitas. Sehingga hal-hal yang
tidak dapat diindra dengan panca indra tidak masuk dalam kategori ilmiah. Dalam
paradigma keilmuan sekuler ini tidak terdapat integrasi antara intelektual dan
spiritual. Hal ini menambah bukti bahwa paradigma sekuler ini tidak bisa
digunakan dalam Islam.
Worldview Islam
Sebagai Paradigma
Dalam
Islam ilmu itu bersumber dari Al-Qur’an. Sehingga epistemologi berkaitan erat
dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasi sejalan dengan
wahyu, hadits, akal, pengalaman dan intuisi. Beberapa seminal konsep yang dapat
ditemukan di dalam Al-Qur’an diantaranya adalah: konsep Tuhan, konsep ilmu
konsep Tauhid, konsep etika, konsep ibadah dan masih banyak lagi konsep yang
lainnya. Dari beberapa konsep yang ada dapat kita lihat keterkaitan antara satu
konsep dengan yang lain, atau biasa disebut dengan jaringan konsep. Yang
menjadi core atau inti pusat dari konsep-konsep yang saling bertautan
tadi adalah konsep Tauhid. Sehingga dalam Islam jika konsep Tauhidnya
benar maka yang lain akan mengikutinya. Sebaliknya apabila konsep pusatnya
sudah salah, maka jaringan-jaringan yang terkaitpun dipastikan juga akan salah.
Jika
digambarkan dalam sebuah hierarki, maka dapat kita temukan urutan sebagai
berikut, yang paling atas adalah Al-Qur’an kemudian datang setelahnya tafsir,
kemudian dari penafsiran ini muncullah beberapa prinsip umum yang akan
menghasilkan sebauh konsep awal. Dari konsep awal ini nantinya muncul konsep
keilmuan, yang terakhir adalah hasil dari konsep keilmuan tadi yaitu munculnya
sebuah teori.
Itulah
urutan dari Al-Qur’an yang jika dikaji lebih dalam akan menghasilkan bermacam-macam
ilmu. Sehingga jangan menjadikan Al-Qur’an sebagai sebuah teori, karena jika
kita meletakkannya dalam kedudukan teori maka Al-Qur’an harus dikritik.
Al-Qur’an adalah sebuah wahyu suci yang turun dari Allah kepada Nabi Muhammad,
yang bisa dikembangkan menjadi banyak disiplin ilmu, tetapi tidak bisa
disejajarkan sebagai sebatas teori.
Konsep
ilmu dalam Islam harus dikaitkan dengan Tuhan, karena Tuhanlah yang mengajar
manusia. Seperti dijelaskan dalam ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad dalam surat Al-Alaq ayat satu sampai lima, yaitu perintah untuk
membaca dengan nama Tuhan. dan juga telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat
Ali Imron ayat tiga yang menjelaskan integrasi antara rasionalitas dan
spiritualitas.
Pengembangan
konsep dalam pandangan hidup Islam
Hubungan
teologi dengan epistemologi
Kepercayaan
kepada Tuhan adalah sangat penting dan mungkin berperan sebagai elemen
terpenting dalam pandangan hidup manapun. Pertama jika kita percaya bahwa Tuhan
itu wujud, maka sangat mungkin kita percaya bahwa di sana ada arti dan tujuan
hidup. Dan jika kita konsisten kita akan percaya bahwa sumber moralitas
bukanlah sekedar kesepakatan manusia tapi kehendak Tuhan dan Tuhan adalah nilai
tertinggi. Selanjutnya, ilmu dapat lebih dari apa yang diamati (empiris) dan di
sana terdapat realitas yang lebih tinggi yakni alam supranatural. Thomas F.
Wall.
Makna
ilmu
Ilmu adalah representasi makna
sesungguhnya dari realitas, bentuk, mode, kuantitas, substansi dan esensi
sesuatu oleh jiwa yang rasional lagi tenang. Jadi subjek atau al-‘Alim adalah
dia yang mengetahui dan menangkap serta memahami, sedangkan objek atau al-ma’lum
adalah esensi sesuatu yang ilmunya terukir di dalam jiwa. Al-Ghazali, al-Risalah
al-Laduniyyah
Ketika
realitas-realitas yang dapat dinalar itu terukir dalam jiwa yang rasional maka
realitas-realitas itu menjadi ilmu. Al-Ghazali, al-Mustasfa, 69.
Worldview muslim sebagai paradigma
Realitas
Manusia
Konsep-konsep:
Tuhan
Ilmu
Kehidupan
Manusia
Moralitas
Nilai
Alam
Semesta dsb
Paradigma Sekuler
Realitas
Manusia
Seperangkat
keyakinan dasar untuk mengungkapkan hakekat ilmu dan cara mendapatkannya
yang terdiri dari lima prinsip: Ontologi, Aksiologi, Epistemologi,
Retorika, Metodologi
Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari pembahasan diatas bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari komunitas ilmuwan
yang memakai, mengembangkan dan mengelola suatu bentuk pendekatan ilmu dengan
bersungguh-sungguh dengan acuan pemikiran dan komitmen yang sama (intellectual
commitment), sehingga melahirkan paradigma keilmuan. Karena paradigma adalah komitmen intelektual para ilmuwan, maka
worldview tiap-tiap ilmuwan yang menjadi asas paradigma itu memmpengaruhi,
apakah suatu paradigma akan bertahan atau akan terganti.
Dalam
ilmu pengetahuan Islam, antara realitas sebagai obyek dan alim sebagai subyek
memiliki konsep tauhidi (integral). Yaitu di mana ilmu yang diperoleh dari alam
sebagai ayat kauniyah dicerna melalui akal alim yang berlandaskan kepada nilai-nilai
ketuhanan. Sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa yang mengajarkan ilmu adalah
Tuhan. ini berarti semakin betambah pengetahuan tentang alam semesta akan
membawa pemahaman lebih kepada alam transenden. Semakin faham seorang alim akan
indahnya alam semesta, maka dia akan semakin yakin dengan ke-Maha Kuasa-an Sang
Pencipta, dan ini adalah tujuan akhir dari ilmu dalam Islam.
Jika dalam tradisi intelektual
Barat, pergeseran dan pergantian paradigma adalah hal yang biasa dan pasti
terjadi karena ia bersumber dari worldview yang sekular. Berbeda dengan Islam
pergantian paradigma tidak terjadi, yang ada hanyalah penafiran-penafsiran baru
atas realitas dikarenakan berubahnya zaman, ini karena worldview dalam tradisi
intelektual Islam bersumber dari sesuatu yang permanen, yaitu wahyu. Selain
pergantian paradigma yang merupakan sebauh keniscayaan, worldview Barat yang
sekular tidak menyentuh wilayah metafisika atau hanya meliputi hal yang
bersifat fisik. Sehingga kajian keilmuan dibarat hanya berfokus pada objek-objek
empirik. Berbeda dengan Islam, realitas dan kebenaran dalam Islamic Worldview merujuk pada
apa yang nampak (fisik) dan apa yang tidak nampak (metafisik), oleh karenya
kajian keilmuan dalam paradigma Islam sangatlah luas karena objek kajian meliputi
objek-objek empiris dan non-empiris
[1] Thomas S.
Wall, Thinking Critically About Philosophical Problems, (Wadsworth:
Thomson, 2001) hlm. 523. [2] Ibid. Lihat
juga Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam:
An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, hlm. 2. [3] George Ritzer,
Toward an Integrated Sociological Paradigma, hlm. 7. [4] Gareth Morgan
dan Gibson Burrell, Sociological Paradigms
and Organizational Analysis:
Element of the Sociology of Corporate Life, (London: Heinemann, 1979) hlm.
1.
0 Comments
Posting Komentar