Badai Senjata Amerika Serikat di Timur Tengah (Bagian 1)

Oleh: Muhammad Ilyas Jundullah

Prolog

Timur Tengah adalah sebuah wilayah yang dengan kerumitan kultur sosial, budaya, dan agama yang paling kompleks di kawasan Asia. Timur Tengah mempunyai peranan penting dalam perkembangan geopolitik yang mempengaruhi kesetabilan global. Di wilayah tersebut terdapat empat negara, terjebak dalam konflik mematikan yang banyak merenggut korban jutaan jiwa dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir. Kondisi tersebut diperparah dengan banyaknya campur tangan negara-negara asing terutama Amerika Serikat dan Sekutunya baik secara politik, ekonomi, bahkan dengan dukungan militer berupa pelatihan militer dan senjata dalam jumlah besar yang menimbulkan pro dan kontra baik di forum internasional dan di dalam parlemen Amerika Serikat sendiri. Akibat dari perbuatan tersebut membuat Amerika Serikat dan Sekutunya terjebak dalam pusaran badai yang sangat pekat yang kelak lambat laun akan merevolusi seluruh dunia.

Sejarah Hubungan Amerika Serikat dan Senjatanya dengan Timur Tengah
Sejarah akan adanya hubungan yang kuat antara Timur Tengah dengan Barat, lebih khususnya lagi Amerika Serikat tidak bisa dilepaskan dengan sejarah kemerdekaan Arab Saudi karena Arab Saudi adalah pintu gerbang untuk wilayah-wilayah Timur Tengah lainnya. Dengan ikut sertanya Inggris yang di dalamnya juga terdapat Amerika Serikat dalam membantu pemberontakan Arab Saudi terhadap Turki Ottoman, secara langsung hal tersebut menjadi awal mula hubungan mesra antar kedua belah pihak. Nama Kerajaan Arab Saudi yang kita kenal sekarang ini dahulunya adalah bagian dari wilayah Turki Ottoman. Selama beberapa tahun mereka memberontak terhadap Ottoman, Inggris menghabiskan dana dan senjata yang tidak sedikit demi mendukung Ibn Saud hingga puncaknya Ibn Saud berhasil memerdekakan wilayah Arab Saudi dari Ottoman pada tahun 1932. Selang beberapa waktu dari deklarasi kemerdekan, Arab Saudi mulai membangun kekuatan diplomasinya dengan negara-negara Barat hingga sampai tahun 1938, Kerajaan Arab Saudi mulai melirik eksplorasi minyak bumi sebagai tambahan pendapatan negara mereka dengan sebab pada saat itu sumber pendapatan mereka hanya dari pajak haji. Raja Arab Saudi saat itu mulai melirik minyak sebagai sumber pendapatan mereka yang baru, kebijakan tersebut dipengaruhi oleh 3 faktor.
1. Eksplorasi mencari minyak yang dilakukan oleh perusahaan Anglo-Persian Oil Company di pegunungan Masjid Sulaiman di bagian barat laut Persia pada tahun 1908 tapi tidak berhasil ditemukan. Lalu para ahli geologi mendengar rumor bahwa ditemukan sumber minyak di daerah Qatif di bagian timur wilayah Al-Ahsa, ujung timur dari kerajaan Arab Saudi
2. Tingginya lonjakan permintaan minyak selama Perang Dunia I. Pada masa tersebut minyak menjadi penting demi menjalankan kendaraan-kendaraan perang, bahkan saat itu, salah satu penentu kemenangan adalah bagaimana suplai minyak terus berjalan di garis depan pertempuran. Hal tersebut membuat kerajaan mulai melirik minyak bumi.
 
3. Terjadinya resesi besar yang mana sesudah Perang Dunia I berakhir, perekonomian dunia menurun secara drastis dan hal tersebut mempengaruhi pemasukan Arab Saudi dengan penurunan drasti jumlah jamaah haji, yang biasannya pertahun terdapat 100.000 jamaah lalu menurun sampai 40.000 jamaah. Sumber pemasukan Arab Saudi saat itu berasal dari pajak yang dibayarkan oleh para jamaah yang ingin berhaji atau yang ingin berziarah ke dua kota suci sehingga membuat Ibn Saud semakin termotivasi mencari sumber minyak.

Selain melalui banyak perdebatan dengan para penasehat, Ibnu Saud juga bertemu dengan seorang teknisi ahli bernama Major Frank Holmes di tahun 1922. Pertemuan tersebut membicarakan perihal potensi minyak di wilayah Timur Tengah. Lalu dimulailah perjalanan Ibn Saud dalam mencari minyak dan puncaknya adalah ketika mereka menemukan ladang minyak di daerah Dammam pada tanggal 3 Maret 1938. Yang hari ini kita mengenal daerah tersebut dengan nama Dhahran. Eksplorasi tersebut diprakarsai oleh keluarga Saud dengan bantuan ahli geologi Amerika Serikat dari perusahaan Standard Oil of California (SOCAL). Hasil dari eksplorasi tersebut; mereka berhasil menemukan sumber minyak yang sangat besar dan secara berangsur, turut merevolusi seluruh aspek kehidupan Kerajaan Arab Saudi, Timur Tengah dan khususnya dunia.
Keberpihakan Timur Tengah kepada Amerika Serikat di Era Perang Dunia II
Selama periode Perang Dunia II, beberapa penguasa di Timur Tengah berpihak kepada Sekutu, di antaranya Arab Saudi, Irak, Iran, Mesir, Suriah, Lebanon, dan beberapa penguasa lokal. Selama periode Perang Dunia II, wilayah Timur Tengah menjadi salah satu wilayah yang paling vital bagi pasukan Sekutu. Daerah tersebut berfungsi sebagai pemasok minyak bagi mesin-mesin perang Sekutu dan juga sebagai pangkalan militer demi menghantam pasukan Jepang di wilayah Asia dan pasukan Jerman di wilayah Afrika Utara. Pada tahun 1944, Amerika Serikat melalui Departemen Urusan Perang (nama tersebut dirubah menjadi Departemen Pertahanan pada tahun 1949) menyodorkan sebuah proposal pembangunan pangkalan militer di daerah Dhahran. Pada tahun 1945, ditandangani perjanjian antara Amerika Serikat dengan Arab Saudi bahwa Amerika Serikat diizinkan memakai pangkalan militer tersebut demi keuntungan kedua belah pihak, Pembangunan pangkalan tersebut menjadi awal mula kedekatan Amerika Serikat dengan Arab Saudi, terlebih lagi terhadap Timur Tengah dan juga kelak di kemudian hari akan semakin banyak pangkalan militer Amerika Serikat yang dibangun di kawasan Timur Tengah.

Penguatan hubungan kedua belah negara semakin erat dengan diadakannya pertemuan antara Ibn Saud dengan F.D. Roosevelt pada tanggal 14 Februari 1945 di atas kapal U.S.S. Quincy. Di pertemuan tersebut dibahas beberapa poin, di antaranya adalah permasalahan tentang status pengungsi Yahudi di Palestina yang melarikan diri dari Eropa akibat Holocoust yang dilakukan oleh Nazi, selanjutnya adalah tentang permasalahan kemerdekaan bagi negara Syria dan Lebanon. Ibn Saud berharap agar pihak Prancis memberikan kemerdekaan bagi kedua negara tersebut. Yang terakhir, tentang hubungan Amerika Serikat dan Arab Saudi menyangkut sebuah perjanjian yaitu Arab Saudi setuju untuk mendukung Amerika Serikat melalui penjualan minyak, selanjutnya Amerika Serikat akan selalu menjadi pelindung negara Arab Saudi baik dari sisi diplomasi berupa dukungan di forum-forum internasional, dukungan ekonomi, dan dukungan militer. Dapat dikatakan efek perjanjian tersebut sangat berpengaruh terhadap wilayah-wilayah di kawasan Teluk di kemudian hari, mengingat Arab Saudi adalah titik pembuka pelebarkan pengaruh Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah.
Awal Malapetaka Senjata Amerika Serikat Sesudah Perang Dunia II
Selama periode 1945-1965, penjualan senjata Amerika Serikat ke Timur Tengah masih berada dalam batas yang wajar. Hal tersebut disebabkan pemikIran pemerintah Amerika Serikat bahwa dengan membatasi penjualan senjata di Timur Tengah, maka akan meminimalisir konflik yang terjadi. Dengan demikian pasokan minyak dari Timur Tengah ke Amerika Serikat akan terus berjalan. Kebijakan Amerika Serikat yang membatasi penjualan persenjataan terhadap Timur Tengah tidak berlangsung lama. Selang beberapa tahun, pecahlah Perang Arab-Israel pada tahun 1973. Perang tersebut melibatkan Israel yang dibantu oleh Amerika Serikat melawan gabungan tentara Arab yang terdiri dari Mesir, Suriah, Yordania, Irak, dan Lebanon. Keterlibatan Amerika Serikat terlihat sangat jelas dalam perang tersebut melalui Operasi Nickle Grass, yaitu sebuah mandat khusus dari Presiden Amerika Serikat untuk menjual dan memberi dukungan persenjataan serta intelijen secara gila-gilan bagi tentara Israel berupa pesawat tempur seperti A-4 Skyhawk, tank M48A3, dan persenjataan lainnya. Hal tersebut memicu permusuhan dengan negara-negara Arab yang juga memiliki posisi sebagai sekutu Amerika Serikat dan penerima senjata Amerika Serikat. Puncak permusuhan terhadap Amerika Serikat mencapai puncaknya ketika negara Timur Tengah memboikot Amerika Serikat dengan tidak mengirimkan minyak. Gerakan tersebut dipelopori oleh Raja Faishal. Akibat dari aksi pemboikotan tersebut, harga minyak di Amerika Serikat dan dunia melonjak drastis dan berhasil melumpuhkan ekonomi Amerika Serikat. Pemboikotan tersebut berakhir sesudah Perjanjian Camp David pada tahun 1978 yang ditandatangani oleh perwakilan dari kedua belah pihak. Dampak yang dilakukan terhadap penjualan senjata-senjata secara massal tersebut membuat Timur Tengah mulai mendekati jurang konflik yang berkepanjangan.
Meroketnya Penjualan Senjata Sesudah Perang Yom Kippur
Sesudah Perang Yom Kippur berakhir, ekspor senjata Amerika Serikat ke negara-negara Arab melonjak drastis. Hal tersebut dikarenakan ikut campurnya negara Soviet dan sekutunya dalam membantu negara-negara koalisi Arab berupa bantuan pasukan, senjata, dan intelijen. Hal tersebut menimbulkan ketakutan pada Amerika Serikat akan pengaruh Soviet yang semakin kuat di wilayah Timur Tengah. Lalu diputuskanlah strategi Arsenal of Democracy yaitu sebuah strategi untuk merayu negara-negara agar menolak Uni Soviet melalui modernisasi senjata dan pelatihan militer serta intelijen. Target utamanya saat itu adalah Timur Tengah. Selama periode 1974-1976 modernisasi, persenjataan Arab Saudi melonjak drastis. Mereka menghabiskan dana sekitar $6,000,000,000 untuk membeli senjata ke Amerika Serikat. Di tahun 1978, Arab Saudi menghabiskan $4,100,000,000 untuk persenjataan, melebihi negara-negara lainnya. Selanjutnya pada 9 Maret 1979, Presiden Carter memutuskan menjual senjata ke Yaman Utara senila $450,000,000 yang berupa pesawat jet, tank, dan senjata lainnya. Keputusan tersebut diambil tanpa persetujuan Kongres, padahal sebelumnya Amerika Serikat sudah membantu Yaman Utara dengan kucuran dana senilai $763,000 berupa pelatihan militer dan program pelatihan. Selama masa tersebut Yaman Utara menjadi pasar terbesar gudang senjata Amerika Serikat sesudah Israel dan Arab Saudi.

Sebelum Perjanjian Camp David disahkan, yakni pada tanggal 26 Maret 1979, Amerika Serikat sudah memberikan persetujuan untuk memberikan bantuan militer secara gila-gilaan kepada Mesir senilai $1,500,000,000 yang berupa tank, pesawat tempur, dan misil anti udara. Sedangkan untuk Israel senilai $3,000,000,000. Kedua negara tersebut juga dijamin bahwa bantuan tersebut bersifat jangka panjang dan terjamin dengan persetujuan Kongres. Selain memberikan bantuan terhadap negara Arab lainnya, Amerika Serikat juga memberikan bantuan kepada Iran dalam rangka melawan hegemoni Soviet, juga posisi Iran saat itu adalah penyuplai minyak untuk Amerika Serikat. Pemerintah Shah Iran membeli persenjataan Amerika Serikat pada periode 1955-1978 senilai $20,070,000,000 termasuk di dalamnya berupa bantuan keamanan. Pada tahun 1972, Presiden Nixon mengunjungi Iran dan setelah kunjungannya dia berkata akan menjual senjata konvensional apapun seperti yang Iran inginkan. Hal tersebut juga disetujui oleh Kongres. Lalu timbul pertanyaan mengapa Iran rela menghabiskan banyak uang untuk persenjataan? Pada wawancara Shah Iran dengan seorang penulis yang bernama Anthony Sampson, ia berkata bahwa kami tidak ingin tanah orang lain, kami tidak ingin kekayaan orang lain, kami hanya ingin menjadi kuat di wilayah Teluk sepuluh kali lipat, dua puluh kali lipat, bahkan lebih kuat dari Inggris.
Hubungan mesra Amerika Serikat dengan Iran tidak berlangsung lama. Pada tanggal 11 Februari 1979, rezim Shah Iran resmi berakhir. Majunya Ayatollah Khomeni menjadi pemimpin memberikan dampak yang besar bagi Amerika Serikat dikarenakan dia adalah seorang pro Soviet dan anti Amerika Serikat. Banyak persenjataan Amerika Serikat di Iran jatuh ke tangan Soviet sehingga menimbulkan perdebatan di Kongres. Efek dari kejadian tersebut memengaruhi penjualan senjata Amerika Serikat ke Mesir dan Israel yang mana Kongres menolak menjual senjata kepada ke dua negara tersebut. Efek positif dari hal tersebut ialah pengurangan potensi konflik di Timteng untuk sementara waktu. (bersambung)

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak