Mahasiswa Fakultas Hukum Islam Universitas Al-Azhar Kairo
Merujuk pada hasil survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) tahun 2011 yang dikutip oleh Republika (https://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/16/04/29/o6dpyg335-di-indonesia-hanya-1-dari-1000-orang-yang-serius-membaca-buku), secara umum, indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya mencapai 0,001 persen. Artinya, secara akumulatif, hanya ada satu dari seribu orang Indonesia yang benar-benar tekun membaca. Sedangkan pada tahun 2017, berdasarkan studi yang dilakukan oleh The World Culture Score Index (https://www.worldatlas.com/articles/the-countries-that-read-the-most.html), negara Indonesia telah menduduki peringkat 16 di dunia, dengan menyandang predikat negara yang rata-rata penduduknya menghabiskan waktu enam jam seminggu untuk membaca. Lebih tinggi daripada beberapa negara maju di dunia, seperti Turki, Jerman, Amerika, Jepang, juga Korea. Peningkatan drastis tersebut tidak terlalu mengherankan, karena berdasarkan data yang disajikan oleh Online Computer Library Center, yang dikutip oleh situs resmi DPR-RI (http://dpr.go.id/berita/detail/id/24976/t/Perpusnas+Menuai+Prestasi%2C+Komisi+X+Dukung+Tambahan+Anggaran), Indonesia sudah memiliki infrastruktur yang mendukung terwujudnya hal tersebut. Indonesia memiliki perpustakaan terbanyak kedua di dunia, dengan jumlah total 164.610 perpustakaan.
![]() |
Perpustakaan Nasional RI, sumber: Kompas/Silvita Agmasari
as.com/Silvita Agmasari
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Melihat Fasilitas di Perpustakaan Nasional RI", https://travel.kompas.com/read/2018/01/07/220900327/melihat-fasilitas-di-perpustakaan-nasional-ri. Penulis : Silvita Agmasar
Kompas.com/Silvita Agmasari
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Melihat Fasilitas di Perpustakaan Nasional RI", https://travel.kompas.com/read/2018/01/07/220900327/melihat-fasilitas-di-perpustakaan-nasional-ri. Penulis : Silvita Agmasari
Kompas.com/Silvita Agmasari
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Melihat Fasilitas di Perpustakaan Nasional RI", https://travel.kompas.com/read/2018/01/07/220900327/melihat-fasilitas-di-perpustakaan-nasional-ri. Penulis : Silvita Agmasari |
Di satu sisi, sebagai bagian
dari bangsa Indonesia, saya tentu merasa bahagia ketika membaca studi The
World Culture Score Index di atas. Karena secara tidak langsung, studi di
atas sedang menunjukkan adanya peningkatan aktivitas literasi di Indonesia.
Meskipun saya juga belum berani mengatakan peningkatan kualitas, karena studi
di atas tidak menunjukkan secara spesifik bacaan apa saja yang masuk dalam cakupan
wilayah studi. Di sisi lain, sebagai santri, akhirnya saya pun turut
mempertanyakan, jika aktivitas literasi berbahasa Indonesia di Indonesia saat
ini sedang beranjak naik, bagaimana dengan kondisi literasi keislaman berbahasa
Arab?
Sebelum menjawab pertanyaan
tersebut, mari kita membincang data terlebih dahulu. Indonesia adalah negara
dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia. Menurut proyeksi Badan Pusat
Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia tahun 2017 mencapai 261 juta jiwa,
di 33 provinsi di seluruh Indonesia. Populasi terbesarnya pun muslim, lebih
dari 80 persen. Dari 80 persen tersebut, Kepala Pusat Pengembangan Penelitian
dan Pendidikan Pelatihan Kementerian Agama, H. Abdul Jamil mengatakan, populasi
santri pondok pesantren di 33 provinsi di seluruh Indonesia mencapai angka 3,65
juta, mereka tersebar di 25.000 pondok pesantren.
Secara data, perbandingan kedua negara di atas menjadi cukup berimbang. Pertama, kedua negara di atas memiliki populasi penduduk muslim yang mencapai angka ratusan juta. Namun demikian, tidak semua penduduknya paham seluk-beluk keislaman. Kedua, sebagaimana Indonesia, tidak semua penduduk yang paham seluk-beluk keislaman di negara Mesir mampu dan mau untuk menulis karya keislaman berbahasa Arab. Karena untuk menulis, dibutuhkan pengetahuan tentang kaidah tata bahasa Arab yang baik dan benar. Di titik ini, paham seluk-beluk keislaman, kemampuan dan kemauan untuk menulis adalah satu dan lain hal. Di titik ini pula, penduduk Mesir menjadi sepadan dengan penduduk Indonesia, yakni mayoritas keduanya tidak mengetahui seluk-beluk keislaman dan keduanya tidak menguasai kaidah tata bahasa semenjak lahir. Butuh usaha lebih bagi keduanya untuk menguasai kaidah tata bahasa Arab sebelum akhirnya menulis sebuah karya. Ketiga, secara kuantitatif, populasi santri yang ada di Indonesia kurang lebih berjumlah 3,65 juta orang, sedangkan santri yang diasuh oleh Al-Azhar pun kurang lebih mendekati jumlah tersebut, yaitu sejumlah 2 juta 90.000 orang.
Lain halnya dengan
Indonesia, dari kalangan santri sendiri, bahkan masih banyak yang berpendapat,
bahwa objek pembaca dari tulisan keislaman di Indonesia adalah orang Indonesia
saja, dengan demikian, mengapa kita harus repot-repot menuliskan sebuah karya
keislaman menggunakan bahasa Arab? Pandangan semacam ini tentu sah-sah saja,
karena membangun pemahaman Islam yang baik menggunakan bahasa Indonesia sendiri
juga termasuk salah satu hal yang tak terelakkan. Namun demikian, tetap saja
jumlah santri di Indonesia masih cukup besar. Andaikan separuh dari populasi
santri Indonesia lebih memilih menulis menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan
separuh sisanya menulis satu karya (saja) dalam bahasa Arab di seluruh rentang usianya,
niscaya setiap ± 60 tahun sekali, akan ada lebih dari satu setengah juta karya
keislaman berbahasa Arab di Indonesia. Akan tetapi, bukankah pada realitanya,
jumlah karya keislaman berbahasa Arab kita belum sampai pada angka tersebut?
![]() |
Ilustrasi Darul Hikmah Baghdad, sumber: Hidayatullah.com |
Fakta-fakta berkelindan
inilah yang mungkin membuat sebagian orang merasa, bahwa literasi Islam
berbahasa Arab di Indonesia, sekalipun ada, gaungnya belum terdengar di dunia
internasional. Mungkin tidak terlalu salah pula, jika pada akhirnya ada
perasaan minder di benak para santri untuk melakukan hal ini (menulis karya
keislaman dalam bahasa Arab). Karena toh, jika melihat kenyataan di atas, kejayaan
literasi Islam berbahasa Arab di Indonesia seolah masih menjadi mimpi utopis.
Dari sinilah, saya mulai menelaah
nama-nama ulama Indonesia dan berbagai karya-karyanya yang menjadi rujukan di
dunia internasional. Karena jauh di dalam lubuk hati saya, saya masih
berkeyakinan bahwa sebenarnya kita memiliki sederet nama-nama ulama Indonesia
yang bertaraf internasional, dengan karya-karya berbahasa Arabnya yang mendapatkan
banyak apresiasi. Sekaligus ingin menunjukkan, bahwa mungkin kondisi literasi
berbahasa Arab di Indonesia tidak semasif literasi berbahasa Indonesia, akan
tetapi hal tersebut bukan berarti menafikan keberadaannya. Literasi Islam
berbahasa Arab di Indonesia itu ada, berwujud dan dipertimbangkan gagasannya
oleh ulama dunia.
Di ujung telaah saya, saya
menemukan satu fakta unik. Jika ditinjau dari aspek periodisasi, keberadaan
para ulama yang memiliki karya keislaman berbahasa Arab dan menjadi rujukan
internasional tersebut, ternyata belum lama berselang dari kehidupan kita hari
ini.
Di antaranya adalah Syekh
Nawawi Al-Bantani (Banten) (w. 1897 M), ulama ensiklopedis yang telah menulis
lebih dari seratus karya dalam bahasa Arab dan mengharumkan nama ulama Indonesia.
Tidak terhitung ragam karya yang beliau telurkan. Beliau adalah ulama yang
sangat berpengaruh. Saking berpengaruhnya, beliau dijuluki sebagai Sayyid
Ulamâ Hijâz (Pemimpin Para Ulama Hijaz). Tidak berhenti sampai di situ,
bahkan setelah 121 tahun berlalu, karya beliau masih senantiasa dikaji.
Terakhir yang saya temui tahun 2017, karya tafsir beliau, Marah Labîd,
masih mendapatkan apresiasi yang berupa kritik oleh seorang filsuf Mesir, Prof.
Dr. Hasan Hanafi di dalam bukunya Min al-Naql ila al-‘Aql Vol. 4.
Selanjutnya ada Syekh
Mahfudz Al-Turmusi (Termas) (w. 1920 M). Sebagaimana Syekh Nawawi, Syekh
Mahfudz juga merupakan ulama ensiklopedis. Banyak dari karya-karya monumental
beliau yang diterbitkan oleh percetakan di Timur Tengah. Bahkan, terdapat sebuah
kitab yang mungkin jarang diketahui oleh mayoritas orang Indonesia sendiri,
yaitu Ghunyah al-Thalabah. Magnum opus ilmu qiraat karangan beliau ini
bahkan menjadi diktat perkuliahan Al-Azhar cabang Thanta, Mesir.
Lebih muda lagi, adalah
Syekh Ihsan Al-Jamfasi (Jampes) (w. 1952 M). Selain seorang sufi, beliau juga
dikenal sebagai pakar dalam banyak bidang ilmu, seperti falak (astronomi),
fikih, hadis dan beberapa bidang ilmu agama lainnya. Kepakarannya dalam bidang
tasawuf tidak perlu diragukan lagi, pasalnya setelah merampungkan anotasi atas
kitab Imam Al-Ghazali yang berjudul: Sirâj al-Thâlibîn ala Minhâj al-‘Âbidîn,
Raja Faruk yang sedang berkuasa di Mesir pada 1934 silam mengirim utusan ke
Dusun Jampes hanya untuk menyampaikan keinginannya agar Syekh Ihsan al-Jamfasi
bersedia mengajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Meskipun ditolak
secara halus oleh beliau, hal ini tidak mengurangi nilai berharga kitab
tersebut. Bahkan, hingga hari ini, kitab tersebut masih diajarkan secara rutin
di masjid Al-Azhar, Kairo. Sekali lagi, intelektualitas ulama nusantara
benar-benar diakui dalam kancah internasional.
Serasa belum cukup, hadir
setelahnya Syekh Yasin Al-Fadani (Padang) (w. 1990 M). Seorang ulama yang
kiranya tidak perlu dipertanyakan lagi kemasyhurannya. Bagaimana tidak, banyak
sekali ulama pakar dunia yang memuji-muji kealiman beliau, lintas negara,
lintas keilmuan. Hal ini dikarenakan beliau benar-benar ensiklopedis. Ketika
Syekh Nawawi Al-Bantani dijuluki dengan Sayyid Ulamâ Hijâz, tak
segan-segan, Syekh Yasin dijuluki oleh para ulama abad ini sebagai Musnid
al-Dunya (Pemberi Sanad Sedunia). Di antara ulama-ulama internasional yang
mengambil sanad dari beliau adalah Prof. Dr. Ali Gomaa (Grand Mufti Republik
Arab Mesir periode 2003-2013) dan Syekh Muhammad Ali Al-Shabuni (Penulis Tafsîr
Âyât al-Ahkâm: Rawâi’ al-Bayân).
Kemudian hadir lagi
setelahnya, Syekh Ahmad Nahrowi Abdus Salam Al-Jakartawi (Jakarta) (w.1999).
Sebagian orang mungkin belum familier dengan nama ini, tapi tidak dengan
pelajar di seantero bumi kinanah (Mesir). Terlebih bagi yang menggeluti bidang
Fikih Mazhab Syafii. Apalagi setelah disertasi beliau: al-Imâm al-Syâfi’iy
fî Madzhabayh al-Qadîm wa al-Jadîd diterbitkan untuk pertama kalinya di
Mesir. Disertasi monumental Syekh Nahrowi ini tidak hanya mengharumkan para
pelajar Indonesia di Mesir, lebih dari pada itu, karya tersebut telah diaminkan
oleh para pakar fikih dan usul fikih di sana, khususnya dari para cendekiawan
Al-Azhar. Sehingga tidak jarang, para penulis fikih mazhab Syafii abad ini pun
senantiasa merujuk pada beliau.
Belum usai, hadir lagi
seorang pakar Usul Fikih Indonesia, Syekh Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh Al-Hajayni
(Kajen) (w. 2014 M). Sebagaimana ulama-ulama sebelumnya, Syekh Sahal Mahfudh
pun juga dikenal sebagai ulama ensiklopedis. Banyak karya-karya berbahasa Arab dari
beliau dalam berbagai bidang keilmuan Islam yang bisa diakses langsung di
pesantren asuhan beliau di Pati. Meski interdisipliner, magnum opus beliau dalam
bidang usul fikih yang berjudul: Tharîqah al-Hushûl ‘ala Ghâyah
al-Wushûl-lah yang pada akhirnya lebih menampakkan beliau sebagai seorang
maestro usul fikih. Tidak berhenti sampai di situ, bahkan sebelum beliau wafat;
sebelum tahun 2014, kitab tersebut sudah menjadi salah satu referensi dalam
diktat usul fikih tematik semester empat Fakultas Hukum Islam, Universitas
Al-Azhar, Kairo, hingga hari ini.
Tahun ini baru tahun kelima
sepeninggal Syekh Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh. Beliau bukan hidup di masa yang
sangat jauh dari kita. Beliau hidup di jaman dan realitas yang sama dengan kita
semua. Sudah tidak ada alasan lagi bagi para santri untuk minder. Sudah tidak
ada alibi lagi bagi para santri untuk pesimis. Ulama Indonesia terbukti
memiliki kualitas yang diakui oleh dunia, bahkan bisa jadi lebih unggul. Dibuktikan
dengan banyaknya karya ulama Indonesia yang dijadikan sebagai rujukan di banyak
instansi keislaman dunia. Belum lagi, di luar sana, terdapat sederet nama-nama
ulama yang belum saya cantumkan. Hal ini semakin menguatkan bahwa kejayaan
literasi Islam berbahasa Arab di Indonesia sangat mungkin terjadi. Kejayaan
literasi Islam berbahasa Arab di Indonesia bukanlah mimpi utopis. Karya-karya
ulama dan santri Indonesia, sekalipun jumlahnya tidak sebanyak literasi
keislaman berbahasa Indonesia, terbukti sangat mampu untuk bersinergi dengan karya-karya
ulama internasional. Dan ya, tentu saja, dengan demikian, tidak seharusnya kita
pesimis soal literasi Arab di Indonesia.
1 Comments
Semoga nantinya bisa muncul bibit-bibit baru penerus eatafet khazanah keilmuan ulama nusantara. Khususnya dari para pelajar di Timur Tengah. Amiin
BalasHapusPosting Komentar