Oleh:
Wifa Lutfiani Tsani, S.H.
Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Fakultas Syariah wal Qanun, Prodi Ahwal Syakhsiyah
Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Fakultas Syariah wal Qanun, Prodi Ahwal Syakhsiyah
“Bergerak tak berontak,
duduk tak tertunduk
Merdeka bukan berarti
bebas, semua punya batas
Bersanding, bersepakat,
lalu bergegas”
Ketika maraknya pengangkatan isu tentang perempuan, ada
sekelumit rasa yang harus kita bangun untuk membentengi semua statement menohok
yang datang dari berbagai kalangan aktivis perempuan baik itu di Yogyakarta, Bandung,
Aceh, Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Perempuan yang dimaksud adalah
muslimah. Wujud benteng tersebut yaitu rasa memiliki terhadap agama yang dianut
oleh setiap pribadi (katakanlah perempuan). Munculnya gender dan feminism
menumbuhkan beberapa perkembangan yang luar biasa salah satunya perihal suara
perempuan yang kian hari makin menjadi pusat perhatian, terlebih di daerah yang
masih menganut budaya patriarki. Sebuah alarm untuk gerakan yang sedang
berjuang, bahwa perempuan menuntut keadilan bukan kekuasaan, membenci adanya
patriarki bukan berarti harus berupaya untuk melanggengkan matriarki, perempuan
dan laki-laki seharusnya bersanding bercengkrama membangun kesepakatan perihal
apa saja yang harus diabadikan dan diperjuangkan.
![]() |
Sumber: Hijup |
Suara perempuan memang penting dalam segala bidang
terutama bidang politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan. Oleh karena itu
persoalan Pemkab Bireun Aceh terkait pelarangan perempuan ngopi di malam hari sudah
sepantasnya dihilangkan. Sebagian perempuan beranggapan bahwa lahirnya gender
dan feminisme sebagai kunci diri untuk keluar dari kungkungan patriarki, keluar
yang juga dimaknai sebagai sebuah kebebasan dan kemerdekaan. Hanya saja muncul
kekeliruan dalam menafsirkan kebebasan dan kemerdekaan.
Kemerdekaan dicapai untuk memenuhi kepentingan (hak) yang
belum terpatri, kemudian dari kemerdekaan tersebut lahir yang dinamakan
kebebasan. Selanjutnya berbicara kebebasan tentu sebagian orang menganggap
bahwa bebas merupakan hidup sesuai dengan apa yang kita lakukan tanpa
memikirkan penilaian dan tanggapan dari orang lain, sementara itu jika dikupas
secara mendalam di balik kebebasan tetap terdapat batasan, hanya orang gilalah
yang hidup dalam bebas tanpa batas. Bebas berbatas yang dimaksud yaitu
bertindak bebas dengan mempertimbangkan konsekuensi, karena apapun yang kita
lakukan tentu akan menuai konsekuensi sehingga dari situ lah lahir yang
dinamakan batasan. Seperti halnya ketika berbicara kebebasan pada tataran
kelaziman yang ada disekitar salah satunya dapat diumpamakan dalam berpakaian,
di suatu daerah tidak ada aturan kewajiban untuk berpakaian akan tetapi daerah
tersebut tak satupun orang yang lepas dari pakaiannya, maka secara otomatis
tidak akan ada yang berani untuk menelanjangi dirinya sendiri.
Alih-alih pembahasan
perempuan terutama dari kalangan aktivis acapkali salah kaprah dalam
memperjuangkan kepentingan (hak), contoh kecilnya yaitu terkait nafkah, LGBT
dan poligami. Nafkah,
kata yang tidak asing namun sering melahirkan permasalahan terutama bagi
perempuan yang berkecimpung di dunia pergerakan. Dengan gelora semangat juang
yang tinggi dan gegap gempita dalam menggaungkan “hidup perempuan yang melawan”
secara otomatis akan mendukung perempuan terjun ke ranah publik seperti
berkarir atau mencari nafkah sendiri dengan tujuan untuk melepaskan belenggu
budaya patriarki yang menanam perempuan dalam ketiak laki-laki. Dalam
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974:
Pasal 32
(1)
Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2)
Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh
suami istri bersama.
Pasal 33
Suami
isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
(1)
Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2)
Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3)
Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan
gugutan kepada Pengadilan.
Jelas sekali bahwa suami
merupakan tiang keluarga yang wajib menafkahi. Sedangkan menurut Ikatan
Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Kota Yogyakarta beranggapan bahwa perempuan
sudah tidak relevan lagi jika harus berdiam diri di wilayah domestic, akan
tetapi perempuan harus mampu terjun aktif di ranah publik dengan tujuan mencari
nafkah dan wawasan yang lebih luas. Hal tersebut diperkuat dengan argumen:
“Perempuan yang menjadi wanita karir justru akan mengangkat
derajat laki-laki
(suami).” Ika Nur (Sekertaris IWAPI Kota Yogyakarta)
apabila dilihat dari sudut pandang agama perempuan (ibu)
dalam keluarga memiliki tugas sebagai madrasah pertama untuk anak-anaknya, seperti
yang termaktub dalam syair Arab:
"Al-Ummu madrasatul
ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq.”
Artinya:
Ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia
dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok
pangkalnya.
Secara tidak langsung perempuan harus memiliki
waktu lebih banyak di ranah domestik, karena anak akan lebih membutuhkan sosok
dibanding uang yang dihasilkan oleh ibu. Perkara ilmu yang diberikan untuk anak
dapat diperoleh sebelum seorang membangun bahtera rumah tangga. Namun, di satu
sisi menjadi madrasah pertama di keluarga bukan suatu hal yang terbilang mudah, perempuan harus mampu meng-upgade sistem pembelajaran dan ilmu di setiap waktu karena Ali bin Abi Thalib pun pernah berkata, “Jangan sekali-sekali ajarkan anakmu sesuai dengan zamanmu, karena anakmu
tidak hidup pada zamanmu.” lantas apabila perempuan hanya menjadi seorang ibu rumah tangga tanpa mengikuti
organisasi di luar ataupun bekerja dengan mandiri maka dari manakah wawasan baru
akan didapat? Internet? Internet dalam sebuah perdebatan luar biasa selalu dianggap sumber yang
kurang valid, kita berbicara data ataupun berita banyak sekali berita-berita
hoax yang ditemukan di sosial media (internet).
Jika berbicara keselamatan
perempuan, saat ini perempuan sudah mendapat perlindungan yang di legalitaskan
dalam undang-undang ketenagakerjaan perempuan. Lantas nafkah seperti apakah
yang menyalahi aturan Islam? Mencoba untuk berputar dan bertukar pikiran kembali
terkait keharusan perempuan untuk tetap di ranah domestik, tidak keluar rumah
tanpa seizin suami. Hal itu memang benar adanya dalam hukum Islam, akan tetapi
jika ditafsirkan secara luas tentu bertabrakan dengan faham gender dan feminism,
perempuan sangat diperlukan dalam dunia pekerjaan untuk itu mau tidak mau suami
harus memberikan izin berkarir terhadap istrinya meski disertai dengan beberapa
peringatan agar istri selalu sadar akan tugas utamanya yakni menjadi madrasah
bagi anak-anaknya, maka dari itu alangkah baiknya perempuan yang bercita-cita
menjadi wanita karir, sebelum tahap eksekusi senantiasa mempertimbangkan antara
tugas pokok dengan tugas yang bersifat pelengkap atau sampingan. Perempuan pun
diharapkan untuk tidak terlalu overtime di publik dibanding domestik.
Berpikir pula dengan logika terbalik, jika halnya ibu menyibukkan diri di
ranah publik maka kapankah waktu ibu untuk mengimplementasikan Al um
Madrasatul Ula li abnaihi? Inti dari perdebatan nafkah dalam keluarga
sebenarnya simple sekali, tugas pokok laki-laki yaitu mencari nafkah,
dan perempuan menjadi ibu sekaligus madrasah terbaik untuk anak-anaknya. Namun
bukan berarti satu diantaranya tidak dapat melakukan tugas yang bersebrangan,
justru dapat menjadikan tugas pokok laki-laki menjadi tugas penunjang atau
sampingan bagi perempuan dan tugas pokok perempuan menjadi tugas sampingan bagi
laki-laki. Selebihnya jika terjadi perdebatan yang berkelanjutan Said Aqil
Siradj berpendapat bahwa semua permasalahan bisa diselesaikan dengan Muasyaroh
bil ma’ruf bukan pertentangan dan perkelahian. Kemerdekaan perempuan dalam
nafkah yaitu memiliki hak untuk terjun mencari nafkah sekaligus mencari wawasan
yang lebih luas yang hanya dapat diperoleh di ranah publik. Namun tetap saja
kebebasan mencari nafkah dibatasi oleh waktu dan tugas perempuan sebagai ibu
rumah tangga.
Seberapa jauh pemahaman
perempuan tentang gender dan feminism tetap harus mengacu pada ketentuan agama,
jika halnya berbicara pelarangan poligami tentu banyak sekali perempuan yang sepakat
terhadap hal tersebut karena secara logika terbilang sangat rasional, pada
hakikatnya semua perempuan tidak menginginkan adanya orang lain di dalam
bahtera rumah tangganya. Sementara itu apabila mengacu pada ketentuan agama
Islam hal tersebut sudah tentu menyalahi aturan yang sudah dilanggengkan dalam
kitab suci Alquran, beda halnya dengan agama non islam yang memang dengan tegas
melarang adanya poligami. Islam memperbolehkan poligami tentunya dengan
beberapa syarat, tidak serta merta mengeluarkan aturan tanpa landasan. Alibi
perempuan terkait keadilan dan usia istri kedua, ketiga, dan seterusnya menjadi
senjata untuk menyerang para lelaki yang hendak berpoligami. Sepakat sekali
dengan pendapat yang dikemukakan Prof. Dr. Quraish Shihab bahwasannya ''Poligami
itu bukan anjuran, tetapi salah satu solusi yang diberikan kepada mereka yang
sangat membutuhkan dan memenuhi syarat-syaratnya. Poligami mirip
dengan pintu darurat dalam pesawat terbang yang hanya boleh dibuka dalam
keadaan emergency tertentu,''. Pada intinya poligami
itu diperbolehkan namun sebagai pintu darurat saja yang tentunya bukan
melegalkan poligami atas dasar nafsu birahi belaka. Terlebih Nabi Muhammad SAW
pun lebih lama membangun pernikahan secara monogami dibanding poligami, oleh
karena itu pula Aisyah sempat cemburu kepada Khadijah. Titik
kebebasan dan kemerdekaan dalam poligami, perempuan berhak menolak ketika suami
meminta izin poligami. Salah satu bunyi UU perkawinan no. 1 tahun 1974 tentang
poligami:
Pasal 5
1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang harus dipenuhi syarat
syarat sebagai berikut:
- Ada persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
- Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
- Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Maka dari itu
laki-laki tidak akan serta merta poligami, tanpa adanya izin dari istri.
Poin selanjutnya yaitu
LGBT, sempat membludak di beberapa media dan diskusi bahkan menjadi persoalan
utama di pemerintahan ketika mempermasalahkan hak-hak yang hilang akibat dari
perilaku yang terindikasi LGBT. Persoalan tersebut tentu menuai pro kontra di
masyarakat, terkadang keliru muncul pada golongan aktivis dan di satu
sisi pandangan aktivis pun mendukung pada pembenaran logika yang berbenturan
dengan hukum. Misal, diskriminasi pekerjaan terhadap waria, atau bahkan
perlakuan seksis serta ketidakadilan yang diberikan oleh sekeliling, mengacu
pada Hak Asasi Manusia (HAM) tentunya hal tersebut telah menciderai salah satu
isi dari tujuan adanya HAM. Namun apabila dilihat dari sudut pandang agama
Islam LGBT jelas tergolong pada suatu keharaman MUI pun mengeluarkan fatwa No.
57 tahun 2014 bahwasannya LGBT haram karena telah menyimpang dari apa yang
sudah termaktub dalam firman atau ayat suci Al-Quran. Ayat al-Quran yang
menjelaskan tentang LGBT yaitu:
Dan (Kami telah
mengutus) Luth (kepada kaumnya). Ingatlah takkala mereka berkata kepada mereka:
"Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (homoseksual) itu, yang
belum pernah dikerjakan oleh seseorang pun (di dunia ini sebelummu)?” (Al-A'raaf,
Ayat 80)
“Sesungguhnya
kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada
wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.”
(Al-A'raaf, Ayat 81)
“Mengapa kamu mendatangi
jenis lelaki di antara manusia dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan
oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.”(Asy Syu'araa', Ayat 165 dan 166)
Sedangkan menurut kacamata
gender dan feminisme para LGBT memiliki hak yang sama untuk kesejahteraan
hidup, LGBT bukanlah suatu keinginan yang datang dari diri sendiri melainkan
terjebak dalam diri yang tidak semestinya dimiliki. Misi dari pengajuan
perubahan KUHP ke MK adalah salah satu bentuk kepedulian atas apa yang diderita
para LGBT serta berharap agar stereotype, seksisme, dan ketidakadilan yang terstruktur sistematis dapat terhapus. Kemerdekaan
yang patut didapat yaitu kehidupan dengan pemenuhan hak serta ketenangan dalam
bermasyarakat, namun tentunya kebebasan sukar untuk didapat di Indonesia.
Indonesia dengan mayoritas umat Muslim berlandaskan pada aturan hukum Islam,
salah satunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam UU tersebut
menegaskan bahwa hubungan (ikatan perkawinan) dijalin antara laki-laki dan
perempuan, selain itu Islam pun mengacu pada Maqosidhu Syari’ah yakni
menjaga diri, keturunan, dan sebagainya.
Petikan yang diambil dari
beberapa pemikiran feminisme alangkah baiknya direlevansikan dengan hukum agama
Islam, sehingga perempuan (muslimah) mampu membentengi dan menjembatani apa
yang akan diimplementasikan dalam kehidupan.
Sumber:
Dr. Jamal Ma’mur, MA , “Rezim Gender di NU”, hlm.
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) penelitian lapangan, Januari
2019.
0 Comments
Posting Komentar