Impian untuk mewujudkan Indonesia unggul
dari negara lainnya, sudah ada sejak dulu. Berbagai pencapaian pun sudah
berhasil Indonesia raih meski belum juga menjadikan Indonesia nomor satu. Untuk
merealisasikan aspirasi tersebut, Indonesia harus memahami dengan baik apa saja
yang harus dikuasai, salah satunya ialah revolusi industri 4.0. Revolusi
industri 4.0 yang sedang dihadapi oleh pemuda Indonesia tak hanya menciptakan
banyak peluang, namun juga tantangan yang kudu ditaklukkan demi memasuki era
ini dengan baik. Jika Indonesia gagal mengelola dan mempersiapkan diri dengan
seharusnya, maka bisa saja Indonesia akan tertinggal jauh di saat negara-negara
lain bertahan dan saling berkompetisi.
Menteri perindustrian, Airlangga Hartarto
mengungkapkan tentang pembuatan rancangan Making Indonesia 4.0, dimana
diterapkannya rencana negara dalam menghadapi industri 4.0 dengan 5 sektor
utama yang dipersiapkan secara matang. Sektor-sektor itu adalah makanan dan
minuman, elektronik, tekstil, otomotif dan kimia (Desy Afrianti,
Liputan 6, 3 April 2018). Hal ini menjadikan persentase kemungkinan Indonesia
unggul di lingkup dunia kian besar. Tak ayal, implementasi dari rencana-rencana
ini pun membutuhkan SDM yang berkualitas dan mumpuni dalam bidang sains dan
teknologi. Untuk itu, apakah mahasiswa ikut berperan dan ambil bagian dalam
membantu Indonesia menjadi negara terdepan?
Mahasiswa memiliki pengaruh besar dalam
kemajuan negara. Salah satu peran mahasiswa ialah untuk regenerasi atau
peremajaan gagasan-gagasan serta tindakan langsung dari ide tersebut. Inovasi
yang ditawarkan oleh generasi muda sangat diperlukan demi diservikasi produksi
agar Indonesia mampu bersaing dengan layak di kancah internasional.
Mahasiswa yang disebut-sebut sebagai iron
stock atau calon pemimpin masa depan, sebaiknya menerapkan Tri Darma
Perguruan Tinggi Pendidikan sedari dini sebelum terjun ke masyarakat. Tri Darma
yang meliputi pengajaran, penelitian & pengembangan serta pengabdian itu
sudah cukup mencakup keseluruhan aspek yang wajib dipraktikkan oleh para
mahasiswa.
Lakon mahasiswa sebagai agent of
change pun membuat mahasiswa juga harus memiliki kemampuan yang sesuai
dengan kebutuhan era industri 4,0. Revolusi yang ditandai dengan internet
of/for things ini memaksa pemuda Indonesia untuk aktif dalam menyelami ilmu
sains dan teknologi lebih dalam lagi. Pemuda harus melek digital dan paham
bahwa nilai IPK saja tidak cukup untuk mempertahankan negara memasuki revolusi
ini.
Di sisi lain, peran mahasiswa sebagai social
control dan moral force pun tak boleh luput sebab terlalu
memfokuskan pengembangan diri terhadap perubahan jaman. Mahasiswa harus tetap
menjunjung norma-norma dan nilai-nilai murni serta mengaplikasikannya pada
kesehariannya agar masyarakat tetap tertata. Mahasiswa dituntut pula untuk
memiliki jiwa sosialisasi tinggi demi menyelaraskan golongan serta
tingkatan-tingkatan yang ada di masyarakat dengan sebaik-baiknya supaya tidak
ada ketidakadilan maupun ketidaksetaraan selama perang revolusi industri 4.0
berlangsung.
Begitu banyak pekerjaan rumah yang harus
dituntaskan oleh mahasiswa selaku agent of control tidak kemudian
menumpukan seluruh tanggungjawab dan beban di atas pundak mereka. Mahasiswa boleh
saja berkompeten dan ahli, tapi semuanya kembali pada pemerintah. Sebab, jika
pemerintah tidak memberikan wadah bagi mahasiswa untuk mengamalkan ilmu serta
kemampuan yang mereka dapatkan, maka peran mahasiswa akan nol besar.
Mari kita tilik kenyataan yang ada di
Indonesia. Banyak sekali masyarakat, bahkan pemerintah sendiri, yang memiliki
rasa senioritas tinggi dan mengedepankan pengalaman serta jam terbang daripada
keahlian. Para orangtua tidak yakin dengan keterampilan yang dimiliki anaknya,
sampai anaknya membuktikan bahwa ia mampu diterima bekerja sebagai karyawan
tetap suatu perusahaan ataupun sebagai seorang pegawai negeri sipil. Pelajar
yang belum lulus kuliah, dinilai kurang kompeten mengenai pekerjaan. Patokan
kesuksesan lawas seperti semakin tinggi gelar sarjana, maka akan semakin tinggi
pula derajatnya, ternyata masih saja dipegang teguh oleh warga negara
Indonesia. Padahal, belum tentu yang sudah bergelar, akan serta merta ahli
dalam bidangnya.
Perkara ini menimbulkan banyaknya masalah.
Salah satu problematika yang terjadi sampai saat
ini yakni keengganan mahasiswa luar negeri kembali ke Indonesia untuk berbakti
pada negara. Selain karena bayaran yang dirasa lebih tinggi, ini juga
disebabkan karena mereka berpikir negara tetangga jauh lebih bisa menghargai
dan mengakui kemampuan mereka daripada negara sendiri. Lihat saja contoh nyata
di lapangan. Kurangnya apresiasi bangsa terhadap anak negeri yang merantau ke
seberang benua, bisa terpantau jelas dari keterbatasan lapangan kerja untuk menerima
mereka. Alumni-alumni luar negeri masih kesusahan mendaftarkan diri untuk
pekerjaan yang sesuai dengan ijasah mereka. Perlu ada persamaan tingkat hingga
ijasah yang harus diterjemahkan, tentu saja menjadi kendala.
Maka, harapan terbesarnya ialah agar
pemerintah menyediakan tempat bagi para mahasiswa untuk mengabdikan dirinya
pada negara tanpa harus banyak syarat ini itu yang seringkali tidak berpengaruh
banyak untuk perkembangan negara. Jadi, apakah negara akan mendelegasikan pada
mahasiswa untuk berbuat lebih dan menunjukkan jati dirinya atau tidak? Inilah
pertanyaan utamanya.
Oleh: Rayhana Syitaa'
![]() |
Airlangga Hartarto, sumber: Kemenperin |
Dinamisator Perubahan
Akomodasi Pemerintah
Oleh: Rayhana Syitaa'
1 Comments
as an agent of change that faces the 4.0 industrial revolution era, college students must have a good impact on society. not only develop an app but also solve the problem for the environment. here is a related article about "FPK Creates APIK Application to Support Academic Activities" kindly visit our site http://news.unair.ac.id/2019/10/30/fpk-ciptakan-aplikasi-apiik-guna-tunjang-kegiatan-akademik/
BalasHapusPosting Komentar