Seiring lajunya industri umat manusia yang dimulai sejak
Revolusi Industri beberapa abad lalu, semakin banyak pula informasi dan
pertimbangan baru yang terekspos dan kemudian diperhatikan dalam praktik
industri. Konsentrasi para pelaku industri di masa lalu terpusat pada efisiensi
kerja dan dimensi praktikal mesin yang terbuktikan dengan semakin mengecilnya
ukuran mesin dan perangkat yang digunakan dan juga terbuktikan dengan beragamnya bahan yang
digunakan sebagai sumber daya mesin dari batu bara, minyak, energi kinetik,
energi angin, listrik, dan sebagainya. Pada saat itu, para pelaku dunia
industri masih memusatkan perhatian kepada hasil produksi yang sebesar-besarnya
dengan menggunakan sumber sesedikit mungkin. Untung sebesar mungkin dengan
modal sekecil mungkin, prinsip ekonomi ini dianut secara religius pada masa
itu.
Kehadiran mereka bukan tidak beralasan. Proses industri yang
terus berkembang dari dulu hingga masa kini abai akan dampak yang muncul dari
proses ini pada lingkungan sekitarnya. Limbah-limbah pabrik mengaliri sungai
hingga ke laut, mencemari banyak ekosistem yang efeknya masih akan terasa di
masa depan. Hutan-hutan dan lahan terbuka dibabati dan ditimpa dengan bangunan
pabrik, galian tambang, hingga infrastruktur penunjang industri tertentu.
Kalimat global warming pun mulai marak dilontarkan para ilmuwan, dikatakan suhu
bumi akan meningkat, begitu pula garis pantai yang terus naik disebabkan
melelehnya benua Arktik dan Antartika. Seiring global warming, istilah efek rumah
kaca pun makin dikenal masyarakat. Hal-hal seperti inilah yang menjadi pemicu
munculnya kampanye konservasi oleh gerakan-gerakan tadi.
Cepat dan lambat, narasi kampanye konservasi mulai diterima
dan dicerna masyarakat. Kesadaran mulai muncul akan pentingnya turut serta
dalam konservasi massal. Dengan sendirinya, muncul satu tren baru, green
lifestyle alias gaya hidup hijau. Jargon ini terpatri dan digunakan secara
sadar oleh para penduduk bumi hingga akhirnya menjadi perhatian baru para
pelaku industri. Mulailah bermunculan produk-produk yang melabelkan dirinya
sebagai hasil dari proses daur ulang atau juga yang meninggalkan jejak ringan
kepada lingkungan, menghasilkan sampah yang minimal, menyumbangkan
keuntungannya untuk konservasi alam.
Mari kita ambil contoh di dunia global. Salah satu produser
produk pembersih terkenal dunia, Clorox yang masyhur dengan pemutih berbahan
dasar klorin, pada tahun 2008 meluncurkan Green Works yang diklaim berefek
ringan pada lingkungan, 99 persen bahan-bahan alami, dan biodegradable. Produk
ini mampu menaikkan penjualan Clorox sebesar 12 persen dalam setahun.
Masalahnya adalah, di saat yang sama, Clorox juga tetap memproduksi dan menjadi
pemimpin utama sebagai penyumbang limbah beracun di kalangan produk pembersih.
Ia mempromosikan produk ramah lingkungan dan menyumbang limbah merusak dalam
waktu yang sama. Bahkan berikutnya, produk Green Works sendiri ketahuan
menggunakan bahan-bahan sintetik dan berbahaya. Dalam hal ini, maka green
products hanyalah jargon iklan, sebuah gimmick dalam marketing yang bertujuan
menambah pundi-pundi perusahaan.
Oleh karena itu, dalam penerapan gaya hidup hijau ini, para
konsumen perlu untuk lebih kritis lagi dan tidak terjebak dalam embel-embel dan
jargon dari produsen dan penjual. Setiap hal harus diperhatikan dan diteliti
oleh bidang peneliti yang mumpuni agar barang-barang dan jasa yang digunakan
betul-betul memiliki dampak positif bagi alam atau seminimalnya dapat
mengurangi dampak yang merusak terhadap alam.
Oleh: Ismail Musyafa Ahmad
Sumber:
https://www.thestreet.com/story/12805916/1/eco-friendly-fakes-don-t-trust-label.html
![]() |
Sumber: pixabay.com |
Akan tetapi, di awal milenia kedua, mulai terbentuk satu
entitas baru dalam tatanan masyarakat sosial politik dunia internasional.
Gerakan-gerakan yang mengumandangkan pentingnya penjagaan alam, konservasi
lingkungan hidup, serta pemastian akan keberlangsungan siklus hidup di bumi
mulai bermunculan. Mulai dari organisasi internasional sepeti PETA, Greenpeace,
dan WWF, hingga organisasi lokal seperti Walhi yang kerap direpresentasikan
oleh salah satu personil band punk di Bali, Jerinx.
Akan tetapi konsep green lifestyle ini banyak mengalami
miskonsepsi saat dijadikan sebagai jargon dalam dunia komersil.
![]() |
Sumber: mayoclinic.org |
Regulasi yang dibentuk pemerintah-pemerintah dunia pun masih
mengalami kecacatan dalam regulasi itu sendiri ataupun dalam penerapannya. EPA (Enviromental
Protection Agency) di Amerika Serikat telah mengalami kegagalan dalam mengenali
dan memberi sanksi pada pelaku industri dan produk yang melanggar regulasinya.
Clorox dan Green Works termasuk dalam daftar kegagalan ini. Di Indonesia,
meskipun sudah muncul Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup pada tahun 2009, masih mengalami inkompetensi SDM dalam
menerapkan aturan demi aturan di dalamnya.
Tercatat di Bogor pada tahun 2019, setelah Ombudsman RI mempertanyakan
tentang tindakan atas ribuan industri yang diduga tidak mengantongi izin
lingkungan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor menyatakan
ketidaktahuannya tentang izin dari industri-industri tersebut.
Oleh: Ismail Musyafa Ahmad
https://www.thestreet.com/story/12805916/1/eco-friendly-fakes-don-t-trust-label.html
0 Comments
Posting Komentar