Framing Media dalam Kecelakaan Pesawat Lion Air



Berita satu, “Sehari Sebelum Kecelakaan, Dokter Ibnu Korban Pesawat Lion Air Sempat ajak Keluarga ke Toko Buku.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dokter Ibnu Hantoro (33), korban kecelakaan pesawat Lion Air JT610 sempat mengajak istrinya Helda dan dua anaknya Arisa (4) dan Fatih (1,5) berjalan-jalan ke satu took buku pada Minggu (28/10).
Bahkan, dokter yang tengah bertugas dalam Masa Pengabdian Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) di RSUD Kota Bangka Tengah ini juga sempat mengikuti tes CPNS di Jakarta pada Sabtu (27/10).
Namun, Senin (29/10), pesawat Lion Air JT610 yang ditumpangi Ibnu untuk kembali bertugas di BangkaTengah mengalami kecelakaan di Perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat.”

Berita dua, “Benarkah Risiko Kecelakaan Penerbangan Murah Lebih Besar?
tirto.id – Layanan penerbangan berbiaya murah atau (low cost carrier/LCC) punya strereotip miring bagi sebagian orang. Persoalan keterlambatan hingga risiko keselamatan terbang jadi momok. Benarkah penerbangan murah punya korelasi dengan mutu keselamatan penerbangan?
Mari kita mulai dari fakta kasus pesawat jatuh beberapa tahun terakhir di Indonesia yang melibatkan maskapai penerbangan LCC, seperti Adam Air pada 2007, AirAsia pada akhir 2014, hingga kasus terbaru yakni jatuhnya Lion Air JT610.
Ditjen Perhubungan Udara menyebutkan, pesawat dengan nomor registrasi PK-LQP dilaporkan terakhir tertangkap radar pada koordinat 05 46.15 S – 107 07.16 E. Pesawat ini berangkat pada pukul 06.10 WIB dan dijadwalkan tiba di Pangkalpinang pada 07.10 WIB. Pesawat sempat meminta return to base (kembali ke pangkalan) sebelum akhirnya hilang dari radar.
Dari siaran pers yang diterbitkan oleh Bagian Kerja Sama dan Humas Direktorat Jendral Perhubungan Udara, diketahui pesawat Lion Air memba 181 penumpang (179 dewasa, 1 anak-anak dan 2 bayi) dan 7 awak pesawat (2 pilot dan 5FA).

Dua contoh berita di atas adalah apa yang sedang ramai media beritakan akhir-akhir ini. Tentang pesawat Lion Air dengan kode penerbangan JT610 yang jatuh di Perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat senin (29/10) lalu. Meski kedua berita tersebut memberitakan berita yang sama, bila kita perhatikan lebih seksama, apa yang tertulis pada berita milik Tribunnews.com dengan  tirto.id memiliki pengemasan berita atau framing yang berbeda.

Secara teoritis, framing adalah cara pandang yang digunakan wartawan atau media dalam menyeleksi isu dan menulis berita. Framing adalah bagaimana wartawan melaporkan sebuah peristiwa berdasarkan sudut pandangnya –ada fakta yang sengaja ditonjolkan, bahkan ada fakta yang dibuang.

 Framing tidak berbohong, tapi ia mencoba membelokan fakta dengan halus melalui penyeleksian informasi, penonjolan aspek tertentu, pemilihan kata, hingga meniadakan informasi yang seharusnya disampaikan. Framing bertujuan untuk membingkai sebuah informasi sehingga tercipta kesan, citra, emosional, dan makna tertentu yang diinginkan media atau wacana yang akan ditangkap oleh khalayak.

Shanto Iyengar, dalam bukunya yang berjudul “Is Anyone Responsible? How Television Frames Political Issues” mengemukakan bahwa berbeda cara media mengemas sebuah berita maka berbeda pula khalayak memberikan respon terhadap sebuah masalah dan memberikan solusinya. Ia mengungkapkan, media mengemas sebuah berita dengan salah satu dari dua cara ; episodic framing dan thematic framing.

Adalah pengemasan berita yang melihat sebuah kasus secara mikro, tunggal, dan terpisah dari peristiwa yang bertema sama. Ini adalah pemberitaan yang bertema episodic framing. Beda halnya dengan thematic framing, adalah pemberitaan yang melihat kasus secara makro, tak berdiri sendiri, dan merupakan persoalan structural yang terhubung satu sama lain.

Ciri episodic framing adalah hilangnya konteks. Seperti apa yang tertutlis pada berita tirbunnews.com di atas, yang memandang kasus itu secara mikro dan terpisah dari tema yang seharusnya diberitakan. Pemberitaannya hanya berfokus pada individual dan cerita korban sebelum terjadi kecelakaan. Dengan narasi sedih, media menjadikan pemberitaan tersebut layaknya cerita-cerita dalam novel best seller. Istri korban, diwawancarai dan ditanya tentang bagaimana sosok korban selama ini. Juga ditaya tentang kebiasaan korban yang mengambil jam penerbangan di pagi hari. Alhasil, media menggambarkan korban sebagai sosok yang sangat bertanggung jawab.

Seperti yang dikutip dari berita tersebut, “Di mata keluarga, Ibnu merupakan sosok penyayang keluarga dan selalu bertanggung jawab atas pekerjaanya sebagai dokter spesialis. ‘kalau berangkat memang selalu pagi hari, karena jam sembilan dia sudah mulai kerja. Dia sosok yang bertanggung jawab atas pekerjaannya sebagai dokter.’ Ungkap Helda.” Dengan model seperti ini, pembaca akan memiliki empati pada si korban. Rasa iba dan kasihan adalah jualan bagi media yang menggunakan metode pemberitaan episodic framing.

Sedang apa yang tertulis pada tirto.id adalah berita yang makro dan tidak berdiri sendiri. Tirto.id memandang peristiwa ini sebagai masalah struktural yang terhubung satu sama lain. Bisa dilihat bagaimana berita yang disampaikan tentang apa hubungan atau kaitan keselamatan penumpang dengan harga tiket pesawat yang murah. Banyak orang beranggapan, besarnya risiko kecelakaan ditentukan dari harga tiket maskapai.

Padahal,setiap maskpai penerbangan sudah melakukan prosedur keselamatan sesuai standar. Apa yang membedakan dari harga tiket adalah fasilitas yang di dapat. Juga, menurut laporan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) “Data Investigasi Kecelakaan Penerbangan Tahun 2010-2016” menjelaskan bahwa fakto penyebab kecelakaan pesawat terbanyak disebabkan oleh faktor manusia (human error). Faktor manusia menempati urutan pertama dengan presentase 67.12%. kemudian faktor teknis dengan presentase 15.75%, lingkungan 12.33% dan terakhir adalah faktor fasilitas atau infrastruktur dengan presentase 4.75%. Narasi pemberitaan seperti ini, membuat khalayak berfikir tentang apa akar permasalahan dan penyelesaiannya. Karena, thematic framing memandang kasus ini bukan hanya dari sisi kecilnya saja melainkan secara garis besar atau keseluruhan.

Banyak cara membedakan antara episodic framing dengan thematic framing. Saat episodic framing berfokus pada individual, thematic framing berfokus pada isu yang ada. Saat episodic framing berfokus pada ranah pribadi (seperti masalah psikologi sesorang atau kebiasaannya bersama keluarga,tetangga dan kerabatnya), thematic framing berfokus pada permasalahan umum atau publik. Episodic framing memberikan solusi berupa pemberitaan yang lebih bagus, informasi yang memuaskan hasrat penasaran terhadap kelanjutan cerita pemberitaan. Karena episodic framing memandang khalayak atau pembaca sebagai konsumen dan berita-berita kasus mereka sebagai komoditas. Sedang thematic farming
memandang khalayak sebagai warga negara, solusi yang ditawarkannya adalah kebijakan yang lebih baik.

Framing media pada kasus kecelakaan pesawat Lion Air tempo hari lalu berbeda-beda. Masih banyak media yang menganggap kasus ini bisa diperjual belikan, untuk mengumpulkan pundi-pundi uang dari rasa iba dan kasihan dari para korban. Namun, tidak sedikit juga yang menganggap kasus ini sebagai topik serius, dengan mencari akar permasalahan sehingga bisa menemukan solusi terbaik, kebijakan terbaik agar dapat mengurangi risiko terjadinya kecelakaan-kecelakaan pesawat berikutnya.


Penulis: Faruq Al quds
Sumber Gambar: kompasiana.com

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak