Mengheningkan Cita
Hari minggu, hari kita berkabung
Menyaksikan jalanan yang macet dan cerewet menjadi lengang dan letih
Orang-orang berlibur untuk mengubur sebagian ketakutan mereka
Di mall, di kolam renang, kebun binatang atau taman-taman yang ingin bernyanyi dengan getir
Tidak ada bunga yang mekar, tapi sepasang kekasih memaksa bunga-bunga tumbuh bersama dirinya di hati mereka
Sebelum hari Senin menelan mimpi kita
Kau mengajarkanku menghitung jumlah daun yang gugur atau ranting yang patah
Apakah kita bisa menghitung seluruh kesedihan kita ?
Turoh
Gunung-gunung batu yang menyembunyikan kesedihan kota
Berbaris dan berpelukan
Menjadi tangan untuk menyeka tangisan langit
Menjadi bahu untuk meneduhkan keresahan jalan
Menjadi dada Untuk menampung segala duka manusia
Kera-kera yang menyelinap di antara bebatuan, memunguti sampah dan kotoran
Kambing-kambing yang terlatih untuk tidak patah hati dan iri pada segala hal
Sapi-sapi yang memakan rumput dan kemungkinan
Unta-unta yang terbiasa memenuhi perut dengan tanaman berduri dan rasa sendiri
Aku berdiri di depan sebuah cekungan air yang luas
Dan aku tidak pernah puas
Kita, manusia.
Selalu ingin meraih segala sesuatu yang dipinjamkan kuasa untuk menjadi milik kita
Menggapai Masa Lalu
Aku bisa
Atau memang aku seperti itu sejak ditiupkan ruh dan menjadi janin yang meronta-ronta di perut ibu
Aku suka merindukan banyak hal yang tidak mungkin
Aku merindukan masa kecilku di Fakfak, merindukan saat belajar kelompok di rumah seorang teman atau perpustakaan
Atau berkeliling kota mencari kaleng minuman soda hanya untuk menghamburkan-hamburkan waktu saja
Aku merindukan masa pesantren yang polos dan jernih
Saat-saat jatuh cinta terhalang ustadz dan kitab-kitab
Aku merindukan masa SMA yang bebas
Berkelana ke manapun
Tersesat sesaat karena ingin terjerat
Menebak-nebak, "apakah aku bisa menikahi orang yang aku pacari saat ini suatu saat nanti?"
Aku, mungkin, memang suka merindukan sesuatu yang ringkih dan rapuh.
Penulis: Yahya Ayyash
0 Comments
Posting Komentar