Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an al-Karim:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Artinya: " ... Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-Nya hanyalah ulama ... " (QS. Fathir: 28)
Ayat ini sangat menarik untuk dikaji dan direnungi. Mengapa? Karena Allah sudah mengkhususkan dalam ayat tadi, bahwa hanya ulama yang takut kepada-Nya. Dalam kata lain, Allah mengaitkan ketakwaan dengan ilmu. Dari poin ini, ada dua hal penting yang bisa kita telusuri bersama.
Ilmu apa yang dimaksud dalam ayat tersebut?
Bagaimana ciri-ciri ulama yang Allah sebutkan diatas?
Imam Al Jurjani di dalam kitabnya At Ta'riifaat mendefinisikan ilmu sebagai keyakinan kuat yang sesuai dengan realita. Beliau juga menyebutkan definisi lain, yaitu adanya gambaran sesuatu di dalam akal, hanya saja beliau menjelaskan bahwa definisi pertama memiliki makna lebih dalam dari yang kedua.
Sementara Imam Muhammad bin Abi Bakr bin Abdul Qadir Ar Razi dalam kitabnya Mukhtar Ash Shihah menerangkan bahwa ilmu ialah mutlak pengetahuan.
Beberapa yang disebutkan di atas adalah etimologi dari ilmu itu sendiri. Lalu, bagaimana hakikat ilmu itu sendiri? Apakah ia bersifat umum? Ataukah ia hanya khusus ilmu agama saja seperti anggapan sebagian orang? Mari kita telusuri lebih dalam lagi.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, “Bukanlah dikatakan ilmu dengan banyaknya hadits, akan tetapi ilmu ialah besarnya rasa takut (kepada Allah Subhanahu wa ta’ala).”
Imam Masruq, salah seorang tabi'in, juga mengaitkan makna ilmu dengan takwa. Beliau berkata: “Cukuplah menjadi tanda keilmuan seorang tatkala dia merasa takut kepada Allah. Dan cukuplah menjadi tanda kebodohan seorang apabila dia merasa ujub dengan amalnya.”
Dari paparan tadi, bisa kita tarik kesimpulan bahwa tidak dikatakan ilmu kecuali dibarengi dengan rasa takut (takwa). Nukilan dari Ibnu Mas’ud dan Imam Masruq tidak menafikan definisi bahasa tadi, akan tetapi mereka melihat bahwa ilmu tanpa dibarengi dengan takwa akan sia sia, bahkan takwa merupakan tujuan daripada ilmu itu sendiri.
Setelah mengetahui definisi ilmu tadi, mari kita melihat penafsiran ulama terhadap ayat yang kita sebutkan tadi.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata: “Bahwa sesungguhnya yang benar-benar takut kepada Allah adalah orang-orang yang berilmu lagi mengetahui Allah Subhanahu wa ta’ala, Karena sesungguhnya semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang Allah Swt yang Maha Besar, Maha Kuasa, Maha Mengetahui lagi menyandang semua sifat sempurna dan memiliki nama-nama yang terbaik, maka makin bertambah sempurnalah ketakutannya kepada Allah Swt.
Imam As Sa'di dalam tafsirnya Taisiir Al Kariim Ar Rahmaan menyatakan, “Maka barangsiapa yang mengetahui Allah lebih dekat, maka ketakutannya akan semakin besar, dan ketakutan ini akan mengarahkannya kepada ketakwaan kepada Allah, berhenti dari kemaksiatan, serta mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan yang ia takuti (Allah)....”
Namun akan timbul pertanyaan lain yaitu apakah ilmu yang dimaksud hanyalah ilmu syariat semata? Atau semua ilmu yang ada? Untuk menjawab ini, ada baiknya kita kembali kepada sejarah ilmu itu sendiri.
Dalam dunia Islam, tidak ada dikotomi atau pemisahan antara ilmu dunia dan ilmu akhirat. Semua ilmu yang bertujuan untuk membantu menciptakan kebahagiaan dunia dan akhirat semuanya dinamakan ilmu. Kalau ingin menelusuri lebih dalam lagi, akan kita dapati dalam sejarah Islam bahwa ulama-ulama Islam tidak pernah memilah-milah antara ilmu dunia dan ilmu akhirat sehingga kita dapati kejayaan Islam diraih pada masa itu. Nama-nama seperti imam Az Zahrawi, Imam Al Khawarizmi, Imam Syarif Al Idrisi menjadi rujukan dalam ilmu sains.
Lalu kapan terjadinya pemisahan antara ilmu agama dan dunia tadi? Akar permasalahannya ialah dikotomi itu terjadi setidaknya bersamaan atau beriringan dengan masa Renaissance di dunia Barat. Ketika itu, gereja memiliki hak mutlak dalam segala hal termasuk dalam bidang keilmuan. Ilmu yang sejalan dengan nilai nilai gereja akan dianggap sebagai ilmu, dan yang bertentangan akan dimusnahkan. Akhirnya banyak ilmuwan yang memiliki penelitian yang tidak sejalan dengan gereja melakukan koalisi dengan pihak kerajaan untuk menumbangkan gereja yang akhirnya menimbulkan sekularisme di kemudian hari. Dan salah satu dampak dari sekularisme ini ialah dikotomi antara ilmu ketuhanan dan ilmu sains.
Sangat disayangkan, dikotomi ini menjalar ke urat nadi umat Islam sendiri sehingga kita dapati sebagian umat Islam lebih mementingkan dunia daripada akhirat. Reaksi sebaliknya timbul dari beberapa umat Islam yang lebih mementingkan ilmu agama tanpa dibarengi dengan hal hal yang bersifat duniawi.
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Prof. Dr. H. Farid Wajdi Ibrahim, M.A. saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) bertema “Integrasi Ilmu dalam Islam” di Rumoh Aceh Kupi Luwak Jeulingke pada 26 Oktoer 2016.
“Ajaran Islam tidak pernah melakukan dikotomi antar ilmu satu dengan yang lain. Karena dalam pandangan Islam, ilmu agama dan umum sama saja berasal dari Allah. Islam juga menganjurkan umatnya bersungguh-sungguh mempelajari setiap ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan Alquran merupakan sumber dan rujukan utama, ajaran-Nya memuat semua inti ilmu pengetahuan, baik yang menyangkut ilmu umum maupun ilmu agama”, Ujar Prof. Farid Wajdi.
Setelah bahasan ilmu dan sejarah singkat dikotomi tadi, bisa kita simpulkan bahwa orang yang berilmu dalam segala bidang apapun, apabila ilmunya tadi mendekatkan dirinya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala masuk kedalam kategori ulama dalam ayat tadi, sementara sebaliknya, apabila ilmunya hanya pengetahuan semata tanpa menimbulkan ketakwaan dalam diri maka tidak masuk dalam kategori ayat diatas. Wallahu a'lam.
Penulis : Muhammad Vega Satria
Sumber gambar : salamdakwah.com
0 Comments
Posting Komentar