Antara Manusia dan Ego


Dilemaku, teristimewa

Aku, menua pada keadaan.
Mencaci pada bumi, merintih dalam nestapa.
Bosan pada hidup, lelah pada kondisi.
Dilema menggerogoti, sedang solusi enggan menghampiri.
Sepertinya alam murka, atau lelah pada keluhku yang tiada henti.

Waktu terus bergulir, dan dilema masih setia.
Amuk kian menjadi. Amarah bergemuruh.
Nyanyian lawas coba kuikuti, barangkali disana kutemui jawaban.
Bertanya pada rumput yang bergoyang.
Rupanya benar adanya lantunan Kang Ebiet.
Meski ribuan kali kutanya, dia tetap membisu.
Tanyaku diacuhkan.

Hingga pada ujung keputus-asaan.
Sorotku terpaku pada hamparan usang disudut ruang.
Ia menyeru sengit pada dilema yang masih menunggangi.
Kembalilah, usah kau bermanja-manja lagi !
Kembalilah, pada hamparan yang debunya kian menebal.
Kembalilah, pada hamparan teracuhkan bernama sajadah.

Tersungkur aku...
Bersama guguran dilema.

Pada debu yang menempel di kening, kini aku mengerti.
Naskah yang Tuhan bagikan tak dapat ditukar.
Permanent sejak beratus abad yang lalu.
Terpatri dalam samudra bernama Lauhul Mahfudz.

Karna suratanku,
Bekerja adalah sebuah keharusan.
Dan belajar adalah sebuah kecintaan.
Bagaimana bisa aku memisahkannya ?
Jika mereka layaknya aku dan kamu.

Pada akhirnya, dilemalah yang harus kutinggalkan.
Dan menjalani adalah sebuah keharusan.

Terimakasih dilema !
Pada sapamu yang membawaku dalam perenungan panjang.

Jangan lelah menyapaku.
Aku tau kau memang senang menggoyahkan hatiku.
Tapi bersamamu, membuatku berproses.
Memaknai uniknya skenario Sang Maha Sutradara.
Menyelami kehidupan yang penuh warna.
Karna sejatinya, menguatkanku adalah tujuanmu.

Lucu memang, tapi bukankah hidup ini begitu ?
Mengharuskan kita untuk terus berproses sampai Tuhan berkata cukup.

Aku, kamu, dan kita.
Selamat berproses, selamat ber-dilema sesekali.
Karna hidup terlalu manis pun tak asik.
Biar sesekali pahit menghampiri.
Supaya diabetes tak bersemi.
Dan kau pun mengerti pada keindahan yang tercipta dari secangkir kopi.


Ladang Tetangga

Kau akan menciut,
Jika terlalu sering berhenti pada persimpangan.
Sekedar menengok kawan atupun lawan.

Ah, dia sebentar lagi wisuda.
Aku, sekedar untuk menuju bimbingan saja terasa di angan.
Ah, dia sudah menikah.
Aku, siapa pula yang mau dengan manusia sepertiku.
Ah, betapa tampannya suami dia, betul-betul lelaki idaman.
Betapa cantik nian istri dia, betul-betul istri idaman.
Aku ? Pasanganku tak lebih sebatas keberuntungan.
Syukur-syukur dia mau padaku, haha.
Ah, betapa indah rumah dia !
Hiasan-hiasan menawan berpadu dengan dinding keemasan.
Semakin terlihat megah, bak istana.
Aku, cicilan rumah pun tak rampung-rampung.

Celetuk ciutan hati,
Disaat kamu terlalu banyak berhenti di persimpangan.
Membuang waktu percuma.

Hai kamu,
Rumput tetangga selalu tampak lebih menawan.
Ladang tetangga selalu nampak begitu subur.
Hanya pada hati-hati yang memupuk penyakit didalam hatinya.

Tak lelahkah ?
Atau itu sudah menjadi rutinitas yang seakan hobi ?
Jika itu berbayar, mungkin gajimu lah yang terbesar.
Sayang beribu sayang,
Berbayar pun tidak, hanya lelah yang didapat.

Berhentilah sesekali pada persimpangan.
Untuk mengeja keindahan karya-Nya.
Tidak untuk ber-keluh bahkan mengumpat.
Karna garis takdir tak akan tertukar, tepat pada sasarannya.

Cukup taklukkan hati.
Jangan biarkan dia menciut pada kerikil-kerikil di persimpangan.

Aku, kamu, kita...
Terlalu teristimewa untuk sekedar menjadi budak bagi hati-hati yang ciut.
Karna, hanya Sang Maha Sutradara lah yang ber-hak menerima ciutnya hati anak manusia.


Antara Manusia dan Ego

Manusia, dengan segala egonya...
Tak pernah lelah merasa, bahwa "aku" lah yang paling benar.
Tak pernah lelah merasa, bahwa "aku" lah yang menjadi korbannya.
Selalu begitu, kejadian berulang ditengah kehidupan anak manusia.

Acapkali mengucap lelah
Atas setiap keluh yang terucap,
Atau atas setiap keluh yang terdengar.
Tapi tak sedikitpun mengubah kondisi.
Tetap berulang, bahkan sesekali meraung ganas.

Kapankah mereka akan berpisah ?
Tak bisakah manusia merelakan egonya ?
Atau ego meninggalkan manusianya ?

Pada hubungan yang menjadi hama bagi sekitar,
Tak bisakah berpisah saja ?
Ataukah memang ini yang disebut sebagai takdir ?

Tapi setidaknya, melunaklah pada jiwa-jiwa yang rindu damai.
Biarkan manusia mengatur egonya,
Dan bukan ego yang mengatur manusianya.

Merindu perdamaian.
Untuk nelangsanya jiwa-jiwa anak manusia.


Oleh : Ulya Hajar Ufairah
Sumber gambar : odemlivre.org

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak