Oleh: Nusaibah Azzahra
Pagi
menjelang siang yang sangat terik di hari Jum’at. Suasana asrama
yang begitu lengang dan sepi membuat sebagian mahasiswi lebih memilih
berjalan-jalan ke sudut-sudut kota Khartoum. Terkecuali Ajeng yang
memilih duduk bersantai duduk di kursi taman. Melihat pemandangan
yang ada di hadapannya. Sebatang pohon berbunga merah yang menghiasi
hijau daunnya, burung-burung yang sedang mematuki bebijian, kucing
yang hilir mudik berkejaran sambil mengeong-ngeong, pun mendengarkan
lolongan anjing dari kejauhan. Pagi itu Ia ingin menyendiri…..
“Jeng,
ga pergi ?”
Tanya Yasmin yang baru saja duduk di sebelah Ajeng sambil
memasang bros bunga di jilbabnya.
Yang ditanya tidak bersemangat untuk menjawab.
“Ga
dulu, Yas.”
Jawabnya singkat.
“Tumben.
Kenapa, Jeng ? ada masalah ?”
tanya Yasmin dengan wajah yang lebih serius.
“Gatau
kenapa, Yas. Aku pengen pulang banget.”
“Yaudah
pulang aja liburan nanti. Lagipula Ayah kamu menyuruh pulang lagi kan
untuk liburan depan?”
Yasmin mengingat cerita Ajeng ketika pulang liburan kemarin. Bahwa
Ajeng disuruh pulang lagi liburan nanti, namun dia menolaknya.
“Aku
maunya sebelum ramadhan, Yas. Entah kenapa Aku mau pulang sebelum
ramadhan. Dan ga ada alasan yang kuat untuk hal itu.”
Ajeng menarik nafas dalam. “Yaudah
sana Kamu pergi. Sudah jam berapa ini, Yas….”
Ajeng melihatkan jam ke arah Yasmin yang menunjukkan pukul 10.15.
“Yaudah
Aku berangkat dulu ya.”
Yasmin pamit dan mengambil gelas dari tangan Ajeng kemudian
menyeruput isinya.
“Yasmiiiiin.......
kebiasaan deeeeeeh.”
Ajeng melotot ke arah Yasmin. Yang dipelototi tersenyum sok manis.
“Bye,
Jeng.”
Yasmin melangkahkan kaki menjauhi Ajeng. Yang ditinggal hanya bisa
menggelengkan kepala.
***
Ajeng
masih berkutat dengan laptop di hadapannya. Ia sedang menyelesaikan
tugas untuk dikumpulkan esok hari. Beberapa buku masih tergeletak di
sekitarnya. Gelas yang berisikan susu jahe pun tinggal seperempat
dari gelas itu.
“Susu
jahe lagi ?”
Tanya Yasmin sambil memegang gelas itu. Tak perlu dicium terlalu
dekat, aroma jahenya tercium begitu hangat. Ajeng
melotot. “Ya
ampun, aku juga gamau minta kali.”
Lanjut Yasmin dan meletakkan gelas itu kembali ke tempatnya.
“Lagian
kebiasaan.”
Ajeng melanjutkan pekerjaannya.
“Akhir-akhir
ini kamu lagi seneng banget susu jahe, Jeng. Bukannya Kamu kurang
begitu suka susu putih ya?”
Tanya Yasmin yang sedang membongkar isi tempat pensil Ajeng.
“Iya
,Yas. Lagi kangen Bunda aja. Susu jahe buatannya enak. Tapi Aku ga
bisa buat seenak itu.”
Jawab Ajeng seadanya. Ia menoleh ke arah Yasmin. “Kamu
ngapain sih, Yas. Iseng banget.”
Ajeng memerhatikan Yasmin yang telah berhasil membongkar seluruh isi
tempat pensilnya.
“Hehe..”
Yasmin hanya tersenyum. “Oh
iya, Jeng. Ini titipan kamu.”
Yasmin memberikan gelang batu blue
safir kepada
Ajeng. Tadi siang ketika Yasmin hendak berangkat ke Mall, Ajeng minta
dibelikan sesuatu.
“Makasih,
Yas.”
***
Dering
telfon Ajeng berbunyi. Ini adalah bunyi ketiga kalinya pada hari itu. Tandanya Ayah
Ajeng
sudah menghubunginya 3 kali pada hari yang sama. Yasmin yang sedang
membaca buku agak terganggu dengan nada dering telfon Ajeng.
“Nada
deringnya di ganti coba, Jeng.”
Protes Yasmin kepada Ajeng. Yang ditegur hanya tersenyum minta maaf
dan melangkahkan kaki keluar kamar kemudian duduk di atas sofa
berwarna coklat muda.
“Assalammu’alaikum,
Yah.” Salam Ajeng setelah mengangkat telfonnya.
“Wa’alaikum
salam.”
Jawab seseorang dari sebrang telfon. “Gimana,
Jeng?.
Tiket untuk pulang liburan depan sudah dibeli ?”
Tanya Ayah kepada Ajeng.
“Sudah,
Yah. Oh iya, Yah. Bunda mana ?”
“Bagus
kalau begitu. Bunda lagi ngisi pengajian di Masjid, Jeng. Yaudah
kalau ada apa-apa bilang Ayah ya. Besok Ayah telfon lagi.
Assalammu’alaikum.”
“wa’alaikum
salam, Yah.”
***
Ajeng
bersiap-siap untuk berangkat ke kampus. Ia melihat ke arah jam. 10
menit lagi.
Ia memeriksa kembali barang-barang yang akan di bawa ke kampus.
Begitupun dengan Yasmin. Setelah selesai,
mereka bergegas berangkat menuju kampus. Asrama mereka dengan kampus
tidak begitu jauh. Hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk pejalan kaki
yang cepat dan 15 menit untuk pejalan kaki yang memilih agak santai.
Namun, kali ini mereka tidak bisa berjalan santai. Karena dosen
mereka yang sekarang ini sangat tepat waktu. Beruntungnya mereka tiba
di kelas beberapa langkah sebelum dosen masuk kelas. Mereka menempati
kursi yang kosong. Tiba-tiba ponsel Ajeng berbunyi tanda pesan masuk.
Yasmin reflek menyenggol siku Ajeng dengan sikunya. Ajeng langsung
memasang mode getar pada ponselnya. Dan membuka pesan itu.
Jeng,
lagi dimana?
Ternyata
tante Dinda yang mengirim pesan. Tante Dinda adalah adik
Ayahnya
Di
kampus, tan. Tante lagi di rumah ?
Ajeng langsung
mengirim pesan itu.
Tante
lagi di rumah sakit, Jeng. Nemenin Ayah kamu. Kamu banyak do’a
yaa...
Dengan
cepat Ajeng membalas pesan itu.
Loh
siapa yang sakit, tan ?
Banyak
pertanyaan yang memenuhi otaknya pada saat itu. Ia bertanya logis
pada hati. Percuma
menunggu
balasan pesan dari Tante Dinda adalah satu-satunya cara agar ia dapat
mengetahui semuanya. Ponsel Ajeng bergetar menandakan ada pesan
masuk. Ia langsung membukanya.
Kan
Bunda kamu hari ini operasi, Jeng. Baru saja masuk ruangan operasi.
Saat
itu tiba-tiba gelap tak ada cahaya. Detik seperti berhenti. Ajeng
gemetar memegang ponselnya. Tak lagi ia mendengar suara penjelasan
dosen di depannya. Ia mematung di tempat duduknya. Diam.
***
“Bunda
gimana keadaannya sekarang ? ko ga bilang Ajeng kalau sakit?”
Ajeng memulai percakapan pada suara di ponselnya.
“Assalammu’alaikum,
Ajeng.” Bunda memberi salam kepada Ajeng.
“Oh
iya. Kan Ajeng sampai lupa.
Wa’alaikum
salam,
Bun.”
“Maafin
Bunda ya sayang. Bunda mau
kamu fokus sama kuliah Kamu disana. Gimana kabar Kamu, Jeng ?”
Bunda Ajeng menjawab begitu lembut.
“Iya,
Bun. Tapi setidaknya kan Bunda cerita. Ajeng sehat ko disini.”
Jawab Ajeng protes. “Oh
iya, Bun. Nanti pas Aku pulang mau di bawain apa ?”
“Gausah
repot-repot, Jeng. Dengan adanya Kamu disini buat Bunda seneng ko.”
Ajeng
menghabiskan sore itu untuk berbicara pada Bundanya. Ia banyak
bercerita. Tentang apa saja. Kampus, teman, Yasmin ataupun sekedar
keadaan asrama pada saat itu. Sesekali Bunda tertawa karena mendengar
cerita Ajeng.
***
Satu
Minggu kemudian
Ajeng
terduduk di samping gundukan tanah merah yang masih basah. Sesekali
Ia membelai batu nisan yang berukirkan nama orang yang amat Ia
sayangi. Rasanya Ia tak percaya atas semua yang telah terjadi. Ia
mengeluarkan gelang blue
sapphire
dari sakunya.
“Harusnya
...Aku bisa menghadiahkan ini kepada Bunda” Ia
membenak sambil menatap nanar Batu Nisan dan menggenggam erat gelang
itu.
“Harusnya...
Aku pulang lebih awal, kalau saja….” pandangannya
mulai kabur tertutupi air mata yang hampir tumah di pelupuk mata.
“Jeng…..yuk
pulang….” Ajak
kakaknya sambil mengelus kepalanya dengan lembut. “langit
mendung, sepertinya sebentar lagi hujan akan turun, padahal masih
pagi.”
Mereka
bersegera pulang, langit semakin menggelap, sesekali petir bergemuruh
dari kejauhan. Sesampainya
di
rumah, ada tamu yang sosoknya tak asing bagi Ajeng.
“Ajeng...”
panggil orang tersebut dengan lembut. Matanya berbinar dan memeluk
Ajeng. Kemudian mereka duduk.
“Ini
buat kalian. Sekalian Ibu mau ketemu Ajeng. Kemarin kan belum sempet
ketemu ya.”
Bu Sri memberikan bungkusan kepada kaka Ajeng. “Yang
sabar ya, Jeng. Harus ikhlas. Tugas kamu sekarang berdo’a untuk
Bunda. Bunda sengaja ga
mau
cerita ke Kamu tentang kondisinya yang sedang kritis. Supaya kamu
fokus kuliah di sana. Bunda gamau ganggu kuliah Kamu, Jeng.
Kembalilah ke tanah rantaumu, Jeng. Lanjutkan yang telah Kamu pilih
dan selesaikan semuanya.”
Mata
ajeng berkaca-kaca, kemudian Bu Sri memeluknya. Air mata yang sejak
tadi sekuat tenaga Ia tahan akhirnya tumpah juga. Jatuh bersamaan
dengan rintikan hujan pagi itu.
2 Comments
Lanjutkan...tapi endingnya masih bertanya-tanya
BalasHapusSepertinya ini real story,.. endingnya gantung..alhamdulillah kalo ini real, brtti saya tahu sedikit bagaimana beliau sekarang
BalasHapusPosting Komentar