Oleh :
Muhammad Izzuddin
Tetesan
hujan mulai membasahi anyaman bagian dalam rumahku. Tikar ruang
keluarga sedikit demi sedikit basah. Mengganggu tidur keluargaku di
tengah malam ini. Jika kuhitung-hitung, mungkin sudah empat jam hujan
lebat mengguyur pinggiran desa. Tempat dimana rumahku berdiri.
“Nduk,
udah toh kamu tidur” ketika mendengar suara itu, mataku masih
melihat lebatnya hujan melalui celah-celah anyaman dinding rumah.
“Sekarang
udah hampir jam setengah satu” itu suara Ibuku lagi, dan Ia
melanjutkan. “Nanti kan kamu berangkat sekolah.”
Aku
mengangguk kecil menanggapi ucapannya. Lalu Ia membelai pelan
rambutku. Kupindahkan pandanganku dari guyuran hujan itu ke Ibuku.
Kusunggingkan senyuman kepadanya.
“Tidur
ya nduk.”
Ibuku
mengatakannya dengan tersenyum. Dan sekali lagi, Aku menanggapinya
dengan anggukan pelan. Aku mulai menjauhi dinding anyaman rumahku
yang semakin dibasahi oleh hujan. Kemudian berbaring di tikar. Tepat
di samping Ibuku. Ia mendekapku. Entahlah, mungkin Ia tak ingin
tidurku terganggu oleh bunyi lebatnya hujan di luar sana. Namun tetap
saja, Aku masih mendengar gemuruh petir di sela-sela hujan itu.
Rumahku
hanya terdiri dari satu ruang keluarga yang merangkap sebagai tempat
tidur kami. Di luarnya ada sedikit tempat yang entah bagaimana Ibuku
menggunakannya sebagai dapur. Dan beberapa meter dari
dapur kami, terdapat sebuah bilik yang dialiri air. Kami menyebutnya
kamar mandi.
Malam
ini, Ibuku sengaja tidur di sisi yang lebih dekat dengan anyaman
dinding rumah. Aku tahu ibu melakukan itu agar air yang masuk ke
dalam rumah tak mengenai diriku. Di tengah kondisi inipun, dia masih
sempat menyanyikan alunan lagu sebelum tidur.
“Dinda
bobo oh Dinda bobo..”
ibuku bernyanyi dengan lirih. “Kalau
tidak bobo digigit nyamuk..”
“Bu Aku udah gede lho” kataku. “Kok dinyanyiinnya itu?”
Ibuku
hanya tertawa kecil. Aku tersenyum melihat tawanya. Dan tak lama
kemudian, Aku tertidur lelap. Dalam dekapan Ibuku. Meskipun hanya
beberapa menit.
#
Kupikir
sekitar satu pekan Ayah tak pulang ke rumah. Aku tahu dia bekerja di
luar kota. Aku juga tahu sedikit demi sedikit perekonomian Ayah dan Ibu membaik.
Malam
ini, Ayah masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Seperti biasa Ia
mengayuh sepeda pemberian bosnya. Bos Ayah yang memberikannya dengan
cuma-cuma. Ayah tak merasa keberatan ataupun tersinggung. Karena Aku
tahu, sepeda itu mempermudah Ayah untuk pergi ke tempat kerjanya.
Ayah
memarkirkan sepeda di depan pintu begitu saja, dia bergegas lari
menujuku dan ibuku yang baru saja terlelap. Kulihat wajahnya
benar-benar menunjukkan kegelisahan.
“Ada
apa pak?” tanya Ibu yang langsung terduduk melihat kedatangan Ayah
“Bapak ga apa-apa?”
“Nduk”
ucap Ayah kepadaku dengan nafas tersengal. “Sekarang Kamu pergi
naik sepeda itu keluar dari desa ya”
“Hah?
Kenapa Pak?” Ibuku yang menanggapi dengan risau.
“Udah
cepat nduk kamu pergi sekarang”
Ayahku
segera memberdirikan Aku yang masih tak tahu apapun. Dia memakaikan
jaket tipisku yang tergantung di dinding anyaman rumah. Lalu mulai
membawaku ke arah pintu.
“Pak.. Bapak..” Ibu berdiri mencoba mencegah kelakuan ayah. “Ini ada apa Pak?”
“Nanti Aku jelasin semuanya Bu” kata Ayah tanpa menghilangkan
kegelisahannya. “Yang penting Dinda pergi dulu dari sini.”
“Nggak
pak, Dinda ga boleh pergi” ibu mencoba melepaskan pegangan ayah
padaku. “Bapak kenapa sih?”
Untuk
kali ini, Ayah tak langsung menjawab. Dia menatap Ibu beberapa saat.
Tanpa ada obrolan. Dan hanya bunyi hujan yang kudengar di malam kelam
ini.
Ayah
menghela nafas panjang. Kemudian Ia mulai mengatakan apa yang sedang
terjadi. Meskipun dengan sangat singkat.
“Rumah
ini sampai sepanjang pinggiran desa mau digusur untuk perluasan jalan
antara dua kota di sana Bu” kata ayah. “Bosku yang cerita
langsung.”
“Dan
nantinya, Aku sendiri bu yang bakal gusur rumah ini” Ayahku
melanjutkan. “Aku pekerja lapangannya.”
“Kurang
dari dua jam lagi semua alat berat sama pekerja akan sampai sini”
ucapnya lagi. “Termasuk Aku.”
“Bos
ga peduli hujan ini, Dia juga ditekan atasannya buat selesain ini
tepat waktu.”
Ayahku
masih menatap Ibu seperti sebelumnya. Dan sekali lagi, hanya suara
derasnya hujan yang terdengar di telingaku.
“Kenapa
baru cerita sekarang?” tanya Ibuku.
“Proyek
perluasan jalan udah mulai dari seminggu lalu” jawab Ayahku.
“Awalnya bos kasih cuma tau ada beberapa opsi daerah yang akan
digusur, tapi baru tadi..”
“Baru
tadi..” Ayah melihat jam tangan di tangan kirinya. “Kurang dari
sejam lalu, bos baru kasih tau ini”
“Makanya Aku langsung cari kesempatan buat pulang ke rumah biar..”
“Biar
Dinda ga tau kalau Bapaknya sendiri yang gusur tempat tinggalnya” Ibuku memotong ucapan Ayah.
Aku
menengadahkan kepala agar bisa melihat wajah Ayah. Kulihat Ayah hanya
mengangguk kecil mendengar ucapan ibu.
“Terus
nanti Dinda gimana Pak?”
Tanyaku.
Entahlah, pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku. Mungkin
karena kepolosanku sebagai seorang anak yang baru saja memasuki
jejang kelas empat Sekolah Dasar. Mungkin juga karena ketakutanku
yang tiba-tiba saja muncul karena aku tahu, sebentar lagi akan
berpisah dengan Ayah dan Ibuku.
Ayah
mulai menundukkan badannya agar sejajar denganku. Lalu dengan sebuah
senyuman yang Aku cukup yakin itu sedikit dipaksakan, ia berkata
dengan lirih kepadaku.
“Nduk”
kata Ayahku. “Nanti di perbatasan desa ada teman Bapak yang akan
jagain Dinda”
“Dinda
nanti baik-baik aja kok” lanjutnya.
“Tapi
Dinda takut Pak..” kataku.
Ayah
hanya membelai rambutku pelan dengan tersenyum. Lalu mulai membawaku
keluar dari rumah ini.
“Aku
ikut sama Dinda” timpal Ibuku.
“Kamu
bantuin Aku kumpulin barang-barang Bu” ucap Ayah.
“Kalau
gitu kenapa Dinda ga pergi habis Aku beresin barang-barang?”
“Boskuu..”
“Kenapa
lagi?”
“Ah
udahlah” ucap Ayahku. “Ga ada waktu lagi”
“Ga
ada waktu lagi gimana?”
“Ga
ada waktu lagi bu!”
Entahlah,
kupikir Ayah benar-benar gelisah hingga Ia sedikit menaikkan
suaranya. Dan Aku, meskipun Aku takut. Aku tetap akan mengikuti
perkataan Ayah. Karena bagaimanapun juga, Aku yakin Ayah selalu
memikirkan rencana yang terbaik untukku dan Ibuku.
Jadi Aku mulai menaiki sepeda yang tadi dinaiki Ayah. Setelah Ibu mengecup
pipiku berkali-kali dengan sedikit tangisan, akhirnya Ayah memberiku
secarik kertas.
“Ini
alamat teman Bapak, jangan sampai ilang ya nduk.”
“Hati-hati.”
Kemudian Ayahku mengecup pipi dan rambutku untuk waktu yang lama. Kurasakan
air matanya juga menetes di wajahku. Sedikit banyak tercampur dengan
lebatnya hujan di malam kelam ini.
Jujur
saja, Aku tak tahu pasti apa yang sedang terjadi. Kini yang kulakukan
hanya mengayuh sepeda ini menjauhi desa. Lampu remang dari sepeda ini
memberikan sedikit penerangan pada jalan yang Kulalui. Entah berapa
lama Aku mengayuh, Aku hanya mengikuti apa yang dikatakan Ayahku.
Tanpa mengerti apa yang terjadi.
Bersambung.....
0 Comments
Posting Komentar