Cerbung Hijrah Cinta: Tekad Sebulat Purnama


 “ Kang Aku harus bagaimana?” Untuk kesekian kalinya Rafi menumpahkan kegelisahannya kepada Kang Halim, kakak tingkat  yang sudah ia anggap seperti kakak kandungnya sendiri.

“ Kau  sudah tahu harus melakukan apa, akhiri Rafi. Segera. Bagaimana mungkin Kau mengikrarkan dirimu sebagai seorang pecinta sejati sedangkan cinta yang Kau genggam erat merupakan penghianatan terhadap Sang Maha Cinta yang menciptakan cinta itu sendiri?” Kata Kang Halim sebelum kemudian menyesap secangkir kopi yang dipesannya.

Kedai kopi itu sedang sepi, hanya tiga meja yang berisikan pengunjung. Tadi sore Rafi menelpon Kang Halim untuk bertemu di kedai kopi langganan mereka. Ia sedang mengalami dilema yang amat menyesakkan dada. Dilema yang sangat rumit baginya, seumpama gumpalan benang kusut, Ia tak tak tahu bagaimana cara menguraikannya. 

Ia butuh bercerita, mengeluarkan segala beban yang ada agar ada sedikit rongga di dadanya untuk menghirup ketenangan. Meskipun tak lama kemudian rongga itu akan sesak kembali. Bercerita hanya obat sementara, seumpama obat penahan sakit untuk sementara waktu namun tidak menyembuhkan sakit yang diderita. Tidak ada cara lain, dilema itu harus segera dienyahkan. Kau tahu dilema apa yang sedang ia alami? Yah, benar. Dilema cinta. Seorang gadis berparas manis dari Semarang telah mencuri hatinya. Sofi namanya.

“Sulit kang, Aku sudah terlanjur jatuh hati padanya. Tiap detik waktuku yang gugur tanpa tegur sapa darinya menjelma menjadi rindu”. Rafi berkata sambil memangku dagu dan menoleh ke luar kedai. Entah apa yang ia lihat, wajahnya tampak masygul sekali.

“Tapi itu semu Rafi. Mungkin rindu dan semua perasaan yang kau punya kepadanya seindah bunga mawar, tapi ingatlah mawar itu berduri. Untuk menggengamnya kau harus  menorehkan luka. Bukankah kau rasakan hati kecilmu menolak semua ini. Bukti nyatanya adalah kau mengajakku ke kedai kopi ini berkali-kali untuk membicarakan hal yang sama? Nuranimu  sedang meronta, ia sudah lelah dikorbankan olehmu untuk sekedar merasakan cinta semu itu. Dengarkan kata hatimu, pilihlah segera nikahi ia, atau lepaskan saja, tidakkah ini menyiksamu?” ujar Kang Halim berusaha menasehati Rafi.



“ Aku belum siap untuk menikah kang, namun aku juga sulit untuk melepaskannya. Aku terkadang berpikir mengenalnya adalah kesalahan. Jika akhirnya harus seperti ini, sesulit ini. Jikalau Aku boleh memilih untuk tidak jatuh cinta padanya, tentu aku akan memilih untuk tidak jatuh cinta. Tapi... rasa itu tiba-tiba hadir tanpa Kusadari, Aku tidak tahu kapan dan bagaimana ia bisa menulusup ke dalam hatiku, yang Aku tahu ketika Aku menyadarinya rasa itu telah membelenggu hatiku.” Rafi menjelaskan dengan sepenuh hati, matanya menatap lurus ke mata Kang Halim, menuntut pemahaman atas apa yang Ia rasa.




“Rafi, sudahlah… cukup, berapa kali lagi pembicaraan seperti ini akan berakhir sia-sia tanpa menghasilkan apapun, Kau selalu menyerah dan takut mencoba untuk melepaskan apa yang kau rasa setelah kita berpanjanglebar membahas hal ini. Pada akhirnya nanti kita akan duduk lagi di tempat yang sama dengan hal yang sama. Sekali ini saja, cobalah memilih untuk melepaskan semua itu, lepaslah belenggu itu, seberapa pun sulitnya cobalah, Kau pasti bisa. Jika Kau merasa tak memiliki daya untuk melakukannya, mengapa Kau tak meminta, memohon pada yang maha segala-Nya, Ia lah yang maha kuasa atas segala sesuatu, Ia pula yang maha membolak-balikan hati, mintalah kepada-Nya untuk dikaruniai kekuatan dalam meniti jalan ketaatan pada-Nya. Kau mau memberikan cinta yang suci pada Sofi-Mu itu, atau cinta yang berlumur dosa? Jika kalian memang berjodoh pasti bertemu lagi, percayalah”. Kang Halim meyakinkan.


“ Baiklah Kang, saya coba.” Suaranya parau, seakan tidak yakin atas apa yang diucapkan, tapi dalam hati, Rafi sudah membulatkan tekadnya untuk bersungguh-sungguh melepaskan diri dari dilema ini.


“ Bagus, semoga berhasil Raf, yuk pulang, habiskan dulu kopimu yang sudah dingin itu.” Kang Halim berujar.



“ Wah, bakal berkurang nih jatah ngopi gratis kalau tidak ada yang galau lagi.” Seloroh Kang Halim dan membuat Rafi tersedak di saat Ia menghabiskan kopi dinginnya dalam sekali tegukan.



“ hahahaha, pelan-pelan Raf minumnya.” Kata Kang Halim dengan nada mengolok. Halim yang merasa diolok meninju pelan bahu Kang Halim dan sukses dihindari olehnya dengan sigap, merekapun menderaikan tawa bersama-sama.

***
Jam menunjukkan pukul 3.00 pagi. Hening. Manusia masih lelap dalam tidurnya berselimutkan mimpi. Hanya beberapa saja di antara mereka yang sudah terjaga menukar waktu tidurnya dengan sesuatu yang lebih berharga, yaitu perjumpaan dengan Sang Kekasih di atas sajadah. Adakah yang lebih indah dari perjumpaan dengan Sang Kekasih? Bercengkrama dengan-Nya lewat luruh sujud yang dalam dan do’a-do’a penuh harap meminta ampunan atas segala dosa dan kekuatan untuk tetap terjaga dalam keta’atan pada-Nya. Begitupun yang dilakukan oleh seorang pemuda berusia sekitar 20 tahun. Ia bersujud panjang sekali di akhir witirnya, membisikkan do’a-do’a yang terdengar samar dan patah-patah karena dijeda oleh isak tangis yang demikian pilu, entah apa yang Ia minta dalam do’anya. Setelah ia merampungkan tahiyat akhir dengan salam, Ia meraih telpon genggamnya yang tergeletak di atas dipan, kemudian Ia mencari sebuah nama dalam daftar kontaknya dan mengirimkan sebuah pesan singkat. Ia tampak ragu-ragu, namun setelah menarik nafas panjang Ia ketik sebuah pesan:



Assalamualaikum wr wb
Teruntuk Sofiatul ‘Aini, beribu maaf Aku hunjukkan padamu karena telah mengajakmu berkubang sekian lama dalam lumpur dosa, memberikan indah yang semu atas nama cinta. Maafkan Aku yang terlalu lemah untuk melepaskanmu. Meskipun hal ini berat, tapi tentu lebih berat lagi dosa yang kita pikul jika terus menerus seperti ini. Jodoh adalah rahasia Allah, jika memang kita benar berjodoh entah bagaimanapun caranya, pasti akan dipertemukan kembali dalam keadaan dan cara yang lebih baik.
Wassalamualaikum wr wb.
Ahmad Rafi’ul ‘Ilmi


Ia klik tombol send, kemudian semua kontak Sofi yang ada di telepon gengam maupun di media sosial blok dan hapus, ia tak mau tergoyahkan lagi.


Sembari menghela nafas ia beranjak dari duduknya, membuka jendela kemudian memandang langit. Malam itu adalah pertengahan bulan, purnama bulat sempurna, sebulat tekad yang dipunyai Rafi untuk berhijrah ke jalan keta’atan. Secarik kertas bertuliskan Letter of Acceptement ditatapnya dengan mantap.

“Sudan? Entah negara seperti apa Sudan itu, tapi secarik kertas ini merupakan tiket yang akan memuluskan Hijrahku ke jalan keta’atan. Ada yang bilang Bahasa Arab ia terkenal fushah, ada yang bilang salah satu makanan khasnya adalah halawiyah, katanya ada satu kata yang amat terkenal di sana yaitu “bukroh”, entah apa maksudnya, ah nanti di sana aku akan memahaminya, selamat tinggal Indonesia, selamat tinggal masa lalu, selamat tinggal Sofiyatul ‘Aini.”. Rafi membenak sambil lekat memandangi purnama indah malam ini./Rif'at

Bersambung…

Bagaimana ya kelanjutan kisah Ahmad Rafi’ul ‘Ilmi? Bagaimana pula Sofiyatul ‘Aini setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh Rafi tanpa bisa membalas pesan itu? Hmmmm Sudan?

Nantikan kelanjutan kisahnya….

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak