Pesantren; Solusi Yang Diabaikan


           Perjalanan sistem dan kurikulum pendidikan Indonesia selalu mengalami bongkar pasang tiada henti-hentinya, sehingga tidak pernah mencapai garis finis. Terhitung 11 kali pergantian terjadi setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus tahun 1945. Pergantian kurikulum tersebut yaitu: Kurikulum 1947, Kurikulum 1952, Rentjana Pelajaran Terurai 1952, Kurikulum 1964, Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), Kurikulum 2006, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dan yang terkahir kurikulum 2013 yang merupakan pengembangan dari KBK tahun 2004. Jika diibaratkan lomba lari, maka perjalanan kurikulum Pendidikan Indonesia seperti seorang atlet yang harus mengulang startnya berkali-kali. Saat negara lain telah mencapai garis finis, kita masih sibuk mengulang start. Alih-alih berubah menjadi lebih baik, setiap kali system dan kurikulum berubah justru memunculkan segudang pekerjaan rumah yang baru. Hal ini tidak lain, karena bangsa kita masih bingung menentukan kurikulum terbaik untuk mencetak generasi-generasi unggul masa depan. Kita terjebak dalam labirin kebingungan tanpa ujung, jalan manapun yang kita pilih, selalu mengantarkan kita pada titik awal.
Akhir-akhir ini, isu tentang rancangan program pendidikan full day school  yang digagas oleh Mendikbud Muhajir Effendi menuai perdebatan di kalangan praktisi pendidikan. Diantara pendapat yang tidak setuju atas program itu antara lain: ketakutan akan meningkatnya stress pada diri anak, kurangnya waktu bersama orang tua, dan lepasnya tanggung jawab orang tua sebagai penanggung jawa utama anak, dan yang tak kalah penting juga adalah masalah biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan program itu. Selain isu tersebut, ada isu lainnya yang muncul pada sekitar tahun 2011 yang kini masih juga menjadi perhatian para praktisi pendidikan tanah air, yaitu pendidikan berbasis karakter yang timbul atas keprihatinan kita terhadap moral peserta didik yang kian hari kian merosot, bahkan terjun ke dasar jurang kebobrokan budi pekerti digerus oleh arus westernisasi yang sulit dibendung. Pendidikan karakter sangat penting, karena kegagalan sistem pendidikan untuk membangun karakter generasi muda yang baik, akhir-akhir ini terjadi banyak kasus kriminal yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Kasus pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun dan Eno Farihah menjadi tamparan keras bagi wajah pendidikan tanah air.
Sesungguhnya Bangsa Indonesia telah mempunyai solusi untuk semua itu. Hal itu adalah sistem pendidikan pesantren yang merupakan sistem pendidikan asli Indonesia yang telah ada semenjak pertengahan abad 15, namun pihak-pihak yang bergelut di dunia Pendidikan Indonesia seakan menutup mata akan hal itu. Jika merunut sejarah, kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari peran pesantren yang menggembleng santri-santri yang militan. Dua masalah ini, full day school dan pendidikan berbasis karakter telah sejak lama diselesaikan Pondok Pesantren. Masalah full day school yang hanya diberlakukan sekitar 8 jam, pondok pesatren bahkan melakukannya selama 24 jam penuh. Bagaimana bisa seperti itu? Jawabannya sederhana, karena dalam pesantren bukan hanya intelejensi peserta didik yang diperhatikan, namun juga sisi emosi dan spiritual selalu dibimbing dan diarahkan sehingga terbentuk karakter yang baik. Setiap kegiatan telah diatur dengan baik, peraturan-peraturan yang diberlakukan pun dibuat untuk menciptakan lingkungan yang dapat mengantarkan peserta didik pada karakter yang matang. Kekhawatiran akan terjadinya stress pada peserta didik tidak pernah terjadi, karena para tenaga pendidik selalu menjalin kedekatan emosional dengan para muridnya, nasehat-nasehat yang meneduhkan merupakan obat yang akan menjauhkan mereka dari hal-hal yang dapat mengganggu proses pendidikan. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan gajih guru yang harus mengawasi peserta didik selama 24 jam? Seberapa besar kah mereka dibayar? Jawabannya sangat mencengangkan dan tidak akan ditemukan di sekolah-sekolah biasa. Mereka TIDAK DIBAYAR. Pesantren yang sejati tidak mengenal bayaran dalam mendidik, yang dibayarkan oleh para santri adalah untuk kebutuhan mereka sendiri. Bagi para guru/asatidz, mendidik merupakan perniagaan mereka dengan Allah, yang membalas pun Allah, dengan balasan yang lebih dari sekedar materi, yaitu syurga. Maka tidak ada istilah uang lembur, uang jatah koreksi dan lain-lain. Jiwa keikhlasan telah tertanam kuat dalam sanubari mereka, dan ini akan menjadi contoh yang sangat baik bagi para peserta didik dalam pembentukan karakternya. Lalu bagaimana para guru bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari? Selain dengan berkeyakinan penuh atas pertolongan Allah, unit-unit usaha yang membuat pondok pesantren mandiri pun dibuat. Tentu tidak mudah membuat lembaga pesantren seperti ini, namun salah satu pondok pesantren yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor yang berdiri sejak tahun 1926 telah membuktikan hal itu bisa dilakukan. Pondok pesantren yang kini berusia 90 tahun ini merupakan pelopor dari terwujudnya “pondok modern” sehingga tujuan pendidikan lebih cepat dicapai dibandingkan sistem lama pondok pesantren yang membutuhkan waktu yang relatif lama dan tenaga yang besar. Beberapa tokoh nasional yang merupakan alumni Gontor sebagaimana dilansir dari Wikipedia antara lain:

Dewasa ini sistem yang diterapkan di Gontor telah diadopsi oleh ratusan pesantren seluruh Nusantara. Beberapa pesantren besar seperti Daarul Qolam, La Tansa, serta Daarunnajah  dan lainnya mengadopsi sistem yang ada di Gontor, meskipun mereka melakukan banyak inovasi baru, sehingga pada beberapa sisi mempunyai nilai lebih dibandingkan Gontor. Keberhasilan Gontor tidak hanya memukau para pendidik di Nusantara saja, bahkan para pemerhati pendidikan di mancanegara kerap kali mendatangi Gontor untuk melakukan studi banding. Kunjungan dari Malaysia, Thailand, jepang, bahkan beberapa negara eropa dan benua lainnya merupakan hal lumrah di Gontor. Jika pemerhati pendidikan di Mancanegara telah mengetahui betapa luar biasanya sistem pendidikan yang ada di pesantren, mengapa pegiat pendidikan masih juga ragu untuk menerapkannya? Misteri yang sampai saat ini menjadi teka-teki. Sampai saat ini pesantren masihlah menjadi solusi yang diabaikan dan dipandang sebelah mata. Sampai kapan? Mari kita tunggu jawabannya./Rif’at Mubarok

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak