Lampung, 1 Ramadhan dua tahun lalu….
Allahu Akbar, Allahu Akbar….
Suara adzan dari pengeras suara desa
Podosari mengumandangkan adzan di awal Ramadhan. Angin berhembus menebar hawa
damai. Sepuluh anak kecil berebut bukaan di teras masjid sebagai hadiah
atas puasa mereka seharian penuh dengan penuh kegembiraan. Dua diantara mereka
berebut tahu bunting yang memang tersisa hanya satu di pinggan, hampir mereka
berkelahi. Beruntung muadzin yang telah selesai menunaikan tugasnya datang dan
melerai mereka. Tahu itu diambil dan dibagi dua. Dua anak lain yang lebih muda
datang ikut menikmati penganan yang ada di teras masjid. Namun dua anak itu
bukan datang karena lapar maupun dahaga. Sejak dzuhur mereka terlebih dahulu
berbuka. Puasa setengah hari. Mereka hanya ingin mengikuti keseruan
kakak-kakaknya berbuka puasa di teras masjid. Dasar anak kecil….
Selemparan batu dari masjid, hal serupa
juga terjadi di sebuah rumah mungil. Rumah guru ngaji desa itu, Pak Karsa dan
Bu Ati. Anak sulungnya Arif, tak mau meminum teh yang dibuatkan ibu nya.
“Rif,
diminum dulu teh nya.....” Bu Ati berbicara pada anak sulungnya sambil
menuangkan bubur kacang ijo untuk anak bungsunya.
“iya
mak, ntar aja. Makan bubur kacang ijo dulu”. Arif
menjawab singkat
“ah...di
entar-entar aja, ujung ujungnya gk diminum”. Bu
Ati memasang muka datar
“
tau tuh kak Arif mah suka gitu, mubazir tau, kasihan emak uda bikinin” Ani
adik perempuannya yang berusia dua tahun dibawah Arif menimpali.
“mulai
deh ribut lagi” si Bungsu Ifah ketus berbicara.
“kalo
pengen cepat hilang hausnya diminum dulu teh nya” Bu
Ati menasehati putra satu-satunya itu.
“
iya, iya mak, ntar juga Arif minum, lagian udah gak haus lagi, udah ah
sebentar lagi qomat ni”. Ia berbicara sambil beranjak dari duduknya,
mengambil songkok hitam diatas meja kemudian melangkah keluar rumah
terburu-buru.
Ibu
Ati hanya dapat menghela nafas panjang melihat secangkir teh buatannya tidak
tersentuh sedikitpun.
******
Khartoum,
1 Ramadhan 1437 H
Suara tilawah menggema di
langit-langit masjid Roudoh. Masjid kampus Universitas International Afrika itu
ramai namun syahdu oleh lantunan ayat-ayat suci yang dibaca oleh para
mahasiswa. Sudah satu jam lalu shalat ashar telah usai. Jama’ah yang merupakan
mahasiswa kampus tersebut memilih untuk menetap di dalam masjid daripada pulang
ke asrama. Membaca lembar demi lembar Al Qur’an sebanyak banyaknya, berebut
pahala sejak awal puasa. Selain itu berada di masjid sambil membaca Al Qur’an
terasa lebih nyaman, karena hawa di luar masjid amat panas, serasa mendidihkan
otak dan membuat dahaga di ujung hari itu semakin mencekik tenggorokan. Hari
awal puasa suhu mencapai 46° Celcius. Mayoritas dari mereka berkulit hitam dan
berambut keriting khas negro. Beberapa mahasiswa asing berparas asia, berambut
lurus dan berkulit sawo matang hingga kuning terselip diantara para habasyi.
Dua diantaranya adalah Arif dan Fahmi. Dua sejawat itu nampak asik dengan
mushaf masing – masing di salah satu pojok masjid di dekat salah satu pendingin
ruangan. Itu adalah tempat favorit mereka. Satu juz hampir mereka rampungkan
sore itu. Tepat satu juz mereka mengakhiri tilawah.
“Sudah
telpon rumah rif?” fahmi membuka pembicaraan
“Sudah,
tadi malam. Kamu sudah?” Arif balik bertanya
“sudah
juga tadi pagi. Di rumah ku sekarang pasti sedang ramai – ramainya. Kebetulan
nenekku tahun ini puasa di rumah. Es buah buatannya nomer satu rasanya rif.
Ibuku saja yang anak kesayangannya tidak bisa membuat es buah senikmat nenek.” fahmi
berceloteh.
“sore-sore
panas begini, membicarakan es buah? Dasar kau mi” gerutu
arif, pura-pura kesal
“ayo
ke dapur, sepuluh menit lagi adzan, teman-teman pasti sudah berkumpul, telat
sedikit, bisa kehabisan es teh”. Kata Fahmi
sambil beranjak berdiri.
“es
teh?” arif
bertanya seakan tak mengerti
“iya
es teh, kenapa?” fahmi heran temannya bertanya seperti itu,
seperti ada sesuatu dibalik pertanyaan Arif, namun ia tidak mau berpikir lebih
jauh.
“tidak
apa-apa”. Jawab Arif singkat, sambil ikut berdiri lalu
berjalan mendahului Fahmi. Raut sedih sedikit terlihat dari wajahnya, namun tak
sempat tertangkap oleh mata Fahmi.
Mereka
berdua keluar dari masjid. Baru selangkah dari pintu masjid, udara panas
langsung menyerbu mereka. Membuat keduanya mengernyitkan kening bersamaan.
“aduh
panasnya...” fahmi mendengus kesal.
“iya
panas”. Jawab Arif singkat
“ayo
cepat Rif” ajak Fahmi setengah berteriak.
Jarak
dari dapur ke asrama lumayan jauh. Mereka berdua berjalan bersisian tanpa
bercakap-cakap sedikitpun. Sebenarnya Fahmi mengajak Arif untuk bercakap ringan
sambil berjalan, namun tampaknya Arif tidak terlalu antusias menanggapi. Fahmi
pun memutuskan untuk diam, sambil menyimpan sebuah tanda tanya besar atas sikap
Arif yang tidak seceria biasa.
Hal yang membuat Arif seperti itu
hanya hal remeh. Teh manis. Dua kata itu mengusik dirinya. Aneh bukan? Bukan hal aneh bagi insan yang sedang dilanda
rindu. Seseorang yang sedang merindukan
sesuatu, hal sekecil apapun yang mengingatkannya atas apa yang dirindukan,
sanggup mengubah air muka nya dari gembira menjadi sedih, dari bahagia menjadi
nestapa. Oh rindu. Kejamnya dirimu. Ramadhan kali ini merupakan ramadhan kedua
bagi Arif di Sudan. Jauh dari keluarga. Momen momen keluarga semacam ramadhan
memang sering kali menempatkan para perantau dalam dilema kesedihan, membuat
rindu yang terpendam jauh dalam hati muncul, kemudian menguncup, dan mekar
menebarkan aroma kesedihan. Arif rindu suasana kampung halamannya ketika
Ramadhan, rindu Fuad sahabat karibnya dikampung, rindu keponakan Fuad yang
lucu. Namanya Risda. Setiap kali Arif datang pasti minta digendong ke warung.
Minta dibelikan jajan tepatnya. Arif
juga rindu pada suasana masjid Al Hidayah yang selalu ramai setiap ramadhan.
Rindu bedugnya, rindu teriakan anak kecil yang terdengar di pengeras suara
ketika Mas Ino ketua Risma bertadarus. Semua itu hanya hal remeh bukan? Tapi
tidak remeh bagi Arif. Dan hal yang membuat rindunya amat kental menggumpal
dalam hatinya adalah sebuah bangunan mungil di dekat masjid Al Hidayah.
Rumahnya. Bangunan kecil bercat biru dekat masjid. Hanya dibatasi sungai kecil
tempatnya dulu bermain kapal kapalan ketika ia masih sekolah di SDN 1 Podomoro
di desa sebelah. Ia rindu sekali. Ia rindu akan semua yang ada di rumahnya.
Bukan hanya hal yang menyenangkan di rumah saja yang dia rindu, hal yang
menyebalkan di rumah juga ia rindu. Ia rindu bertengkar dengan Ifah adik
bungsunya yang super manja. Pertengkaran itu selalu berakhir dengan tangisan
Ifah dan marahnya ayah pada Arif. Ingatannya akan hal itu membuatnya menggariskan
senyum tipis. Padahal setiap kali bertengkar dengan Ifah kemudian dimarahi Ayah
pasti Arif pasang jurus diam seribu bahasa seharian. Baru keesokan harinya
kembali seperti sedia kala. “sudah sebanyak apa ya uban Ayah? Barangkali
sudah tak tersisa rambut hitam lagi”. Arif berujar dalam benaknya.
Matanya berkaca-kaca mengingat ayahnya
yang sudah tua. Ia berdoa dalam hati semoga Ayahnya selalu diberikan kesehatan.
Arif juga teringat ibunya, wanita yang amat berharga baginya. Ia sangat sangat merindukannya. Suaranya tadi
malam ketika ia menelpon rumah tidak cukup untuk mengobati rindunya. Ia rindu
sekali nasehat-nasehat ibunya yang teramat bijak. Rindu tidur di pangkuan
ibunya sambil nonton televisi kemudian tertidur karena saking nyamannya. Ia juga
rindu perhatian ibunya yang sangat sangat keterlaluan. Kadang-kadang kesal
dibuatnya. Seringkali ibunya memperlakukannya seperti anak SD. Mengingatkan
gosok gigi setiap hari, mengingatkan makan setiap kali Arif sibuk dengan buku
bacaannya dengan setengah memaksa. Padahal tanpa diingatkan pun Arif pasti
melakukannya. Saat ini ia menyesal pernah merasa kesal atas perhatian yang
ibunya berikan. Perhatiannya sering kali ia abaikan begitu saja. Hal yang
sering kali ia lakukan sejak kecil adalah membiarkan teh buatan ibunya tanpa
menyentuhnya sedikitpun. Arif memang tidak terlalu menyukai teh. Namun ibunya
selalu memaksa Arif minum teh ketika berbuka puasa. Untuk menghilangkan haus
katanya. Dari lima gelas teh yang dibuat ibunya, hanya teh milik Arif yang tak
pernah diminum. Dan hari ini, hari awal ramadhan di tahun keduanya di Sudan,
bahkan Arif merindukan hal yang sering kali ia abaikan. Akut bukan rindu yang
Arif rasakan? Ia berjanji dalam hati, jika kelak ia pulang ke rumah hal pertama
yang ia minta kepada ibunya adalah minta dibuatkan teh, untuk menebus sikapnya selama ini.
Kerinduan itu semakin menjadi ketika Fahmi berkata bahwa menu buka puasa sore
itu adalah teh manis.
Sesampainya
di dapur Arif lansung duduk di depan cangkir yang disediakan untuknya. Cangkir
berisi teh. Sambil menunggu adzan ia berdoa dalam hati untuk kedua orang
tuanya, agar diberi ampunan atas segala dosa dan diberikan kesehatan selalu.
Allahu
Akbar, Allahu Akbar....
Azan
berkumandang di Masjid Roudoh.
“
Rif, cepat berbuka, jangan melamun..” teguran Fahmi
menyadarkan Arif dari lamunannya.
“iya...”
jawab Arif sambil tergugup
Arif
pandangi teh itu dalam-dalam kemudian meminunya perlahan. Satu tetes air mata
jatuh begitu saja tanpa bisa ia cegah. Nun jauh ribuan kilometer dari tempat
Arif berada. Di sebuah rumah dekat masjid dan bercat biru, seorang Ibu tua
sedang memandangi secangkir teh yang ia buat empat jam lalu. Ketika berbuka
puasa. Dia terlalu banyak membuat teh. Lebih satu. “ bu, kenapa memandangi
cangkir teh terus? Ingat mas Arif?” anak bungsunya menegur ibu itu.
Ibu
itu diam saja, tak lama kemudian ia meraih cangkir itu dan meminunya perlahan.
Setetes air mata jatuh dan mengalir di pipinya, menjawab pertanyaan anak
bungsunya.
0 Comments
Posting Komentar