Sudan. Sebuah Negara dengan suhu
gurun yang ekstrim. Puncak musim panas yang mendidih mencapai suhu hampir 50
derajat celcius. Suhu seperti ini cukup menyiksa bagi mahasiswa Indonesia.
Butuh adaptasi fisik yang cukup panjang untuk terbiasa dengan suhu gurun Sudan.
Beberapa orang di musim panas harus mengalami mimisan, karena panas yang
teramat sangat. Selain adaptasi fisik, hal yang tidak kalah pentingnya adalah
adaptasi emosi. Setiap orang dituntut lebih sabar dan lebih tangguh. Tetap
melakukan kegiatan yang harus dilakukan walaupun suhu panas sangat menyiksa. Jika
seseorang dapat mengatasi itu semua, maka ia akan menjadi pribadi yang tangguh
dan siap berjuang dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun tempatnya. Maka tak
salah jika ada pepatah mengatakan “barang siapa bisa hidup di sudan, maka ia
akan mampu hidup dimanapun”. Maka dalam hal ini, Sudan bukanlah hal yang harus
dikeluhkan, namun sebaliknya harus disyukuri. Puncak musim panas terjadi saat
bulan Ramadhan. Suhu yang panas membuat dahaga terasa lebih mencekik
tenggorokan, mendidihkan otak, serta memeras pori-pori untuk mengucurkan
keringat terus menerus hingga dehidrasi ringan tak jarang dialami oleh sebagian
mahasiswa. Namun ada hal unik yang terlahir dari kesulitan – kesulitan
mahasiswa Indonesia dalam menghadapi cuaca panas itu. Tabiat manusia, ketika
mengalami keterdesakan akan bertindak nekat. Sangat manusiawi. Apa sih tendakan
nikat yang dilakukan para mahasiswa untuk terbebas dari ketidak nyamanan ini.
Yuk kita kupas satu persatu:
1. Tidur
berselimut kain basah
Siang
sampai sore hari merupakan puncak panas di Sudan. Hal ini terutama dirasakan
oleh para mahasiswa yang tinggal di Asrama Kampus yang sederhana. Kipas angin
yang berputar selama 24 jam penuh tanpa henti tidak mampu menghalau suhu panas
yang menyesakkan kamar. Sehingga tidur siang, membaca buku maupun Al Qur’an
menjadi sulit dilakukan. Apa yang bisa dilakukan ketika panas membuat otak kita
mendidih dan seluruh tubuh berkeringat? Melakukan apapun terasa salah. Maka
timbullah ide-ide cemerlang namun sedikit konyol di benak mahasiswa yang tidak
mau kalah dengan suhu gurun Sudan. Salah satu ide itu adalah berselimut dengan
kain sarung basah. Kain sarung yang biasanya dipakai untuk Sholat lima waktu
disulap secara ajaib oleh para mahasiswa menjadi perisai yang cukup ampuh untuk
melawan panas, dan menghadirkan kenyamanan yang sempat dilelehkan oleh suhu
panas Sudan. Mula mula kain dibasahi dengan air dari penampungan air minum
berpendingin yang berada di sekitar kamar. Kemudian diperas untuk mengurangi
air yang berlebih, untuk hasil yang maksimal lebih baik tidak usah diperas sama
sekali. Setelah itu selimuti badan anda dengan sarung itu. Dan cesssss… hawa
panas hilang seketika digantikan dengan hawa dingin yang nyaman. Tidur siang,
membaca buku maupun membaca Al Qur’an bisa dilakukan dengan nyaman di
tengah-tengah suhu panas yang menggila. Hal ini juga berlaku bagi mahasiswi yang tinggal di asrama. Bedanya jika mahasiswa menggunakan sarung, maka mahasiswi menggunakan jilbab pashmina yang dibasahi kemudian diselimutkan ke sekujur tubuh. Tidak usah khawatir dengan baju/kasur
yang basah karena tetesan air dari sarung, karena kurang lebih 15-20 menit
setelahnya, sarung, kasur dan baju yang basah kering seperti sedia kala. Bersama
keringnya sarung tersebut, maka kembali pula panas menyiksa kita. Apa yang
harus dilakukan? Basahi kembali sarung, dan ulangi langkah-langkah diatas. Lol
2. Siram
kasur dengan air
Ketika
cara diatas terasa merepotkan. Maka cara ini patut dicoba, walaupun sedikit
lebih tinggi tingkat kekonyolannya. Tapi percayalah, bagi orang-orang yang
telah merasakan panasnya Sudan, cara ini tidak konyol sedikitpun, namun
sebaliknya ini adalah sebuah ide brilian. Menyiram kasur hingga basah kuyup di
siang hari memberikan efek yang sama dengan sarung basah. Hanya kelebihannya
efek dingin berlangsung lebih lama. Sehingga kita tidak perlu repot bolak balik
mengambil air. Hal ini senada dengan apa yang dituturkan oleh Zakaria Umar
Sibarani. Mahasiswa International University of Africa asal Medan ini pernah
mempraktekannya. Hasilnya tidak mengecewakan. Jadwal rutin tidur siangnya tetap
bisa berjalan meski suhu Sudan sedang berada di titik didihnya.
3. Tidur
di alam terbuka
Matahari
tenggelam bukan berarti suhu panasnya menghilang begitu saja. Sering kali kamar
masih terasa panas meskipun malam telah tiba. Maka tidur beratapkan langit di
udara terbuka sambil memandangi langit berbintang serta dibuai oleh semilir angin
malam memberikan sensasi yang berbeda dan membuat mata cepat tertidur lelap.
Fawzan Adima, mahasiswa IUA asal Kuningan hampir setiap malam melakukannya. Bersama
beberapa teman ia membawa kasur maupun sleeping bed keluar kamar.
Bagaimana? Unik dan mengasyikkan
bukan? Sudan dan segala kesulitan yang ada didalamnya merupakan kawah
penggemblengan yang sangat luar biasa bagi calon generasi tangguh masa depan. Selain
mematangkan intelektualitas dan spiritualitas dengan ratusan halaqoh keilmuan
yang ada di seantero Sudan, sisi
emosional mahasiswa pun digembleng sedemikian rupa oleh keadaaan Sudan yang
sulit. Mau menjadi bagian dari generasi tangguh masa depan? Datanglah ke
Sudan!!!./Rif'at
1 Comments
Mahasiswa malaysia menangani dengan memasang Aircond...
BalasHapusPosting Komentar