Oleh: Ibnatu Niilain
Hening..
Yang
terdengar hanya desauan angin yang baru saja menerpa tubuh kami.
Ujung jilbab kami melambai-lambai.
Aku
menengok kawan di sebelahku entah untuk ke berapa kali. Ia masih
bergeming. Matanya tertunduk nampak frustasi. Ku putuskan untuk
menunggunya lagi. Kini ku alihkan pandanganku lurus kedepan, kearah
sungai nil yang sejak tadi menjadi saksi bisu kami.
“A..aku
sudah tak kuasa”
Akhirnya
suara yang terdengar sangat berat itu memecah kebisuan. Ku pandang ia
dengan penuh simpati tanpa merespon apapun. Aku hanya ingin ia
menuntaskan kegundahanannya tanpa ku sela.
“Aku
lelah dengan semua ini. Aku lelah dengan ujian bertubi-tubi ini.
Jujur ku katakan aku tak kuat. A..a..ku..”
Air
matanya meleleh
“Ingin
pulang”
Lanjutku
pelan menuntaskan kalimatnya. Ia mengangguk pilu dan makin terisak.
“Menangislah
jika itu bisa meringankan bebanmu”
Ku
usap punggungnya yang bergetar, berusaha memberinya kekuatan.
“Dejavu
kalau boleh ku katakan atau seperti kaset video yang di ulang-ulang.
Itulah penggambaran situasi kita ini. Dengan dialog yang hampir sama
namun pemainnya berbeda-beda.”
Dia
mendongakkan kepalanya menatapku tak mengerti. Ia usap airmatanya
kemudian menatapku seolah menuntut penjelasan. Aku tersenyum.
“Dulu
aku pun sepertimu, Naila. Di posisimu saat menerima masa-masa sulit
yang tak kuasa ku hadapi. Aku menangis sepertimu dan bahkan aku
merengek ingin pulang. Siapa pula yang ingin hidup di negeri
sederhana seperti ini, ditemani kesulitan dan ujian tiap hari. Ini
bukan tempatku jeritku saat itu. Dan itu sama persis dialami oleh
orang-orang sebelum kita”
Kulihat
ia terpana seolah-olah aku bisa menebak seluruh hatinya.
“Lalu?"
Tanyanya penasaran.
“Aku
mengadu sepertimu berusaha mengeluarkan isi gundahku, pada mereka
yang sudah lebih lama tinggal di negeri ini dibandingkan denganku.
Mereka yang kami sebut bidadari tak bersayap.”
Hening
kemudian.
“Aku
tak meracau, Naila. Sungguh!”
Ku
tatap matanya yang kebingungan, meyakinkan.
“Naila,
kau ingin mendengarkanku?”
Ia
mengangguk pasrah.
“Mereka
bukan bidadari seperti dongeng-dongeng, Naila. Mereka tak berhias
mutiara atau mahkota. Hiasan mereka ketaatan dan kesederhanaan.
Mereka yang menyambut kedatangan aku dan kawan-kawanku di negeri ini.
Mereka yang membimbing kami dan menguatkan kami. Mengajarkan kami
arti cinta yang sesungguhnya”
“Mereka
mengatakan bahwa cinta sejati terkadang harus di temukan dengan cara
yang rumit dan berliku. Maka untuk para pengembara cinta sejati,
negeri ini teramat cocok bagi mereka. Negeri ini di juluki negeri
tempaan”
“Bukankah
kau pun salah satu dari pengembara itu? Ayolah kalau bukan karena
itu, tak mungkin kau ada di negeri ini”
Naila
hanya mengangguk
“Tempaan
dan uji selalu disesuaikan dengan para pengembara. Karena setiap
orang memiliki kapasitas yang berbeda. Yang sama adalah setiap
pengembara itu akan selalu berat menjalaninya. Kalau sudah begitu
mereka akan meminta tolong pengembara lain. Namun, para pengembara
yang lain pun memiliki tempaan mereka masing-masing bukan? Sekuat
apapun mereka, mereka adalah makhluk yang memiliki rasa lelah. Dan
hasilnya para pengembara selalu tak kan puas dengan sandaran macam
itu. Mereka akan merasa sendiri dan tak memiliki sesuatu yang
diandalkan. Kemudian mereka pun ingin menyerah dan kembali ke negeri
mereka”
Kulihat
kali ini Naila menunduk. Ku pegang pundak Naila.
“Kau
tahu, Naila. Justru dititik itulah para pengembara menemukan gerbang
cinta sejati. Saat tak ada seseorang pun di sisimu, saat kesulitan
menggerogoti kerja kerasmu, saat beban meremukan pundakmu, saat kau
ingin menyerah disitu kesadaranmu kembali. Kesadaran bahwa hanya Ia
yang Kau miliki. Hanya Ia yang bisa kau gantungi harapan. Ialah si
Cinta Sejati.”
Kurasakan
pundak Naila bergetar hebat. Ah.. ku tahu perasaan itu mendobrak
hatinya lagi.
“Jika
kau pulang, semua akan terhenti disini, Naila. Terhenti di kisah para
pengembara yang menyerah. Tak inginkah engkau menjadi pengembara yang
menemukan gerbang cinta sejati itu? Bertahanlah dan sebentar lagi
engkau akan tersenyum seperti para bidadari”.
Naila
memelukku erat dengan air mata yang seolah tak mengering.
“Naila,
ini kata kuncinya : Bersabarlah!” Bisikku.
Dan
Ia mengangguk mengerti.
***
Pagi
itu lagi amat cerah. Pagi dimana aku bertemu dengan Naila lagi. Ada
yang berbeda darinya kali ini.
Kulihat
ia tengah tersenyum.
Ah,
negeri ini menemukan satu bidadarinya lagi.
0 Comments
Posting Komentar