![]() |
Illustrated by: Tetes Hujan |
Oleh : Aisyah Taqiyyatul Qurro
Hembusan angin sore ini begitu berbeda, hangat dan semilir. Aku
duduk di samping jendela menatap ke luar, berusaha mengenali belahan bumi yang
akan kutinggali. Mungkin sekian hari, bulan atau tahun. Hanya Tuhan yang tahu
takdirku di kemudian hari. Mobil melaju kencang menerjang jalanan yang
lenggang. Masih terasa letih bekas 18 jam perjalanan melintasi pulau, negara,
bahkan benua, namun di hati ini hanya terbesit syukur yang melegakan. Angan
mulai melangit, kembali menjelajahi potongan puzzle perjalanan ini.
***
“Ayah ingin kau belajar agama nak. Saat ini begitu banyak
permasalahan yang bisa kau selesaikan dengan ilmu agama. Korupsi, ekonomi,
kriminalitas, politik dan masih banyak lagi. Semua permasalahan itu sudah ada
pada zaman Rasulullah SAW dan Allah SWT telah memaparkan seluruh pemecahan
masalah itu di dalam Al-Qur’an. Bayangkan, apabila kau bisa membentuk generasi
yang memiliki iman luar biasa, maka tuntas sudah permasalahan negeri ini di
kemudian hari.”
Hanya itu yang dapat kutangkap dari penuturan ayah. Sisanya tak
lagi dapat diterima oleh otak, bahkan hatiku. Rasanya sungguh hancur perasaan
ini, hingga aku berharap ingin menenggelamkan diri di dasar samudra agar aku
tak lagi harus berdebat dengan otak dan fikiranku, atau bahkan ayah. Aku telah
menyampaikan segala argumen yang kupunya. Namun nampaknya inginku tak sejalan
dengan harapan ayah. Bahkan aku telah bersusah payah mencari dalil pembenaran
atas keinginanku yang menentang ingin ayah, dan hasil yang kudapat adalah
nihil. Aku tak mungkin menentang argumen ayah. Mustahil aku menentang kalam
Tuhanku dan sunnah Rasulku, sedang aku telah berikrar pada Penciptaku bahwa
hidup dan matiku di atas agama ini. Hati dan otak kini kembali berdebat hingga
tak terasa bulir mulai menetes perlahan dari mataku.
Tuhan, bukankah tak ada ilmu yang
sia-sia bila kita dapat memanfaatkannya dengan baik? Lantas mengapa tak Engkau
ridhoi langkahku? Apa yang sebenarnya Engkau inginkan dariku? Menunjukkan padaku
jalan yang jauh lebih baik kah? Atau Engkau ingin aku lebih berusaha
memperjuangkan azzamku? Aku belum memahami inginMu Yaa Rabb..
Berkali-kali aku mencari pembenaran atas inginku menjadi seorang
psikolog, berulang kali pula ayah mematahkan pendapatku. Maka aku putuskan
untuk bungkam. Mungkin, aku terlalu banyak berbicara tentang egoku dibandingkan
mendengar dan melihat sekitarku. Mungkin pula aku terlalu banyak ingin
dimengerti dari pada mencoba untuk mengerti lingkunganku.
***
Bukan harapku sesungguhnya menentang keinginan ayah. Namun aku
telah berusaha semampuku untuk menyenangkannya. Aku telah beberapa kali
mengikuti tes seleksi di salah satu Universitas terkenal di Indonesia yang
memang menjanjikan untuk program bahasa Arab dan agamanya, namun berulang kali
pula aku tertolak. Aku bahkan mengikuti beberapa bimbingan belajar untuk lolos
seleksi penerimaan mahasiswa di Universitas tersebut. Namun takdir berkata
lain, mungkin itu memang bukan jalanku.
Akhirnya kuputuskan untuk meminta restu kedua orang tua meski harus
kembali berdebat dengan ayah. Namun pada akhirnya ayah menyetujui keputusanku
untuk berhenti sejenak mencari jati diri yang sepertinya belum kutemui. Aku
belajar bahasa Arab sembari mengajar di sebuah LSM dan bimbingan belajar untuk
anak-anak. Aku harap dapat menemukan sesuatu yang dapat membesarkan hatiku
untuk menghadapi dunia yang kurasa saat ini sedang tak mendukungku.
“Kak, kalau bisa anak-anak kami minta tolong diajarkan tentang
akhlak-akhlak terpuji selain diajarkan mengerjakan pekerjaan sekolah.” Tutur
salah seorang wali murid di LSM tempatku mengajar. Maklum, mereka belum
mengerti benar perihal agama dan cara mendidik anak versi Rasulullah. Bukan
sepenuhnya karena mereka sibuk mencari nafkah meski dengan memulung, namun
nampaknya mereka minim pengetahuan agama dan sedikit mengalami krisis pola
pikir.
Sepulang mengajar aku terus memikirkan penuturan wali murid itu.
Yaa Rabb, bahkan mengajak mereka belajar di saung seperti biasa pun masih
sering menjadi sesuatu yang berat bagiku. Lantas bagaimana mengajarkan mereka
untuk mengubah kebiasaan buruk mereka yang sering membuat hati ini teriris.
Mereka adalah generasi yang terbodohi zaman. Zaman modern? Ah bagiku ini justru
nampak seperti zaman yang membuat nurani semakin terbelakang, dikalahkan oleh
nafsu dan logika yang tak lagi masuk akal. Aku terus termenung memikirkan semua
itu.
Ibu sering berucap, kita adalah wanita sekaligus khalifah di Bumi.
Lantas kita punya tugas untuk menjadi seseorang yang terbaik diantara seluruh
wanita dan khalifah yang ada di muka Bumi ini. Seorang wanita akan menjadi
sekolah pertama bagi anak-anaknya kelak. Ia yang akan menanamkan pondasi
pertama kepribadian sebuah generasi. Apabila pondasi ini kokoh, maka apapun
yang akan dibangun diatasnya akan tegak berdiri. Namun apabila pondasi ini
rapuh, bangunan diatasnya akan bermasalah dan bahkan menimbulkan masalah bagi
bangunan lain disekitarnya. Ibu benar, kini aku semakin memahami titah ibu.
Iman, Sepertinya itu kunci utama pendidikan Rasulullah. Beliau mengajarkan tauhid,
iman kepada Tuhan yang satu. Yang Maha Melihat seluruh apa yang dilakukan
hambaNya. Ayah juga benar. Aku tersenyum mengingat kebodohan egoku yang selalu
menjerit meminta keadilan, padahal sesugguhmya Allah sedang menunjukkanku
kebenaran.
***
Siang hari selepas aku pulang menjemput adik bungsuku dari sekolah,
tiba-tiba telepon genggamku berdering. Kulihat informasi penelpon, ternyata
salah seorang guruku di Jakarta yang sudah lama tak kutemui.
“Assalamu’alaikum wa rahmatullah Yaa Ustadz.”
“Wa’alaikissalam wa rahmatullah wa barokatuh..”
“Ahlan ustadz, bagaimana kabarnya?
“Alhamdulillah baik, anti gimana kabarnya nduk?”
“Alhamdulillah baik selalu ustadz. Ada kabar apa ustadz?”
“Ini nduk, saya baru pulang dari pertemuan dengan kawan-kawan dari
berbagai Universitas di Timur Tengah. Ada tawaran bagi beberapa calon mahasiswa
yang ingin kuliah di Sudan. Saya ingat dulu anti ingin sekali kuliah di jurusan
agama. InsyaaAllah akan saya bantu jika anti berminat. Ya meskipun mungkin
berat jika negaranya adalah Sudan, tapi coba dipertimbangkan. Barangkali anti
tertarik.”
Yaa Rabb..inikah sesuatu yang ingin Kau tunjukkan padaku?
Malam harinya, aku segera memberi tahu ayah dan ibu meski sedikit
ragu mereka akan menyetujui kepergianku ke negeri seberang. Apalagi negeri yang
dimaksud adalah Sudan yang terkenal dengan negara miskin. Termasuk dalam benua
afrika dan termasuk juga dalam negara timur tengah. Yang pasti, tak ada
kenyamanan disana. Dan mungkin bagi remaja seusiaku agak sedikit
mengkhawatirkan hidup di lingkungan seperti itu. Pasti akan banyak sekali hal
yang akan kukeluhkan disana. Namun ternyata kekhawatiranku salah, mereka sangat
mendukung bila aku memutuskan untuk mengambil tawaran itu. Yap, ini tanda bahwa
Ia meridhoi jalanku.
Yaa Rabb..dengan namaMu aku akan melangkah. Bukan saatnya lagi aku
mengejar kenyamanan dunia. Karena ia seringkali melenakan dan membuat candu
berkepanjangan..
Aku teringat kisah ibunda Khadijah yang setia mempertaruhkan diri
dan hartanya untuk agama, untuk meninggikan kalimat Allah, untuk menyiarkan
agama suci ini hingga pada kami para pegikut Rasulullah di akhir zaman. Lantas
bila aku masih bersusah payah mengejar kenyamanan dunia, apakah aku masih
pantas disebut pengikutnya? Masihkah layak masuk ke tempat yang hanya
pengikutnyalah yang dapat memasukinya? Tuhan, syurgaMu sungguh terdengar indah.
Namun jalan untuk menujunya begitu terjal. Dan itu bukan berarti aku tak mampu
melaluinya.
****
Disinilah aku, membawa berjuta mimpi dari generasi pendahuluku
untuk generasi setelahku kelak. Berawal dari keluhan salah seorang wali murid
yang kembali menegurku untuk menemukan jati diriku. Sekarang aku mengerti
siapakah aku, untuk apa aku ada dan apa yang harus aku cari. Angin hangat
kembali menerpa wajahku. Perjalanan ini terasa begitu panjang, namun perjalanan
pencarian jati diriku masih belum seberapa dibanding perjalanan perjuanganku
disini nantinya. InsyaaAllah, biidznillah. Ayah, ibu, aku berjanji akan lebih
banyak melihat keluar jendela duniaku dan terus memperbaiki tatanan pribadiku.
Aku ingin memiliki ketegaran seorang Khadijah dan kelembutan hati seorang
Aisyah.
Khartoum, 19 April 2016
0 Comments
Posting Komentar