Oleh
: Jamilatur Rohmah
Debur
ombak berkejaran dengan degup-degup jantung menggodam di dada.
Cipratan air laut tak henti menampar wajah-wajah dengan pandangan
mata tajam siaga. Larutan asin itu seolah enggan kasihan dengan
luka-luka ditubuh lelah mereka, meski semakin lama semakin perih.
Siapa yang peduli lagi dengan luka-luka kecil disekujur tubuh saat
keadaan seperti ini?. Tidak, tidak lagi. Bukankah hari-hari lusa
mereka telah terbiasa dengan luka, penuh luka... Kematian, darah,
kehilangan, puing-puing dan kehancuran. Kota dan pemukiman yang
dibumi hanguskan. Bahkan kebun-kebun apel tak berdosa. Ah semuanya
telah menjadi biasa kini, luka itu. Semua kepala orang-orang itu
menyimpan dengan baik trauma dan ketragisan. Hanya ada sedikit
airmata jika secara kebetulan memori-memori hari kemarin hadir
kembali tanpa permisi. Semua orang sama, senasib. Lalu untuk apa
meratapi semua...
Tubuh orang-orang itu semakin lama semakin kuyup
dengan guyuran ombak air lautan. Perih, tentu saja. Tapi sosok-sosok
linglung itu seperti mati rasa. Debur ombak dan angin yang menghempas
semakin mendramatisir kepanikan mereka. Kini desir-desir didada
serasa silet yang mengiris kulit perlahan. Ya, tiap kali perahu karet
itu terayun hebat keatas dan kembali terhempas kebawah, disusul
guyuran air laut yang semakin lama menggenangi kaki-kaki mereka dan
isi perahu. Semua bergidik. Beberapa orang tak henti menciduk
genangan itu, dengan alat seadanya keluar perahu. Peluh bercucuran
dalam dingin. Peluh kelelahan dan ketakukan bercampur jadi satu.
Wajah-wajah yang semakin memucat. Perahu mereka semakin terasa hilang
keseimbangan, dengan ombak yang tiada ampun menghempas-hempaskan
manusia-manusia tak berdosa itu.
Desah nafas memburu para penumpang perahu kecil itu berlomba dengan
komat-kamit bibir-bibir yang tak henti menumpahkan takbir, syahadat,
istighfar dan semua do’a yang mereka ingat dan hafal. Suasana
terasa semakin genting.
“Laa haulaa walaa quwwataa Illaa Billaah!... Laa
haulaa Walaa quwwataa Illaa billaah!...”. Ucapan mereka sesekali
mencipta teriakan saat sebentuk angin kuat menghantarkan ombak yang
serasa hendak membalikkan perahu mereka. Awan menggelap sejak sore
tadi saja telah mengirimkan kekhawatiran dihati para pengungsi itu,
dan kini menjelang malam ketika remang benar- benar mengepung mereka,
jarum-jarum gerimis mulai menghujam satu persatu diikuti angin yang
serasa hendak menerbangkan perahu kecil itu beserta isinya. Semua
sudah siaga dengan pelampung masing-masing.
Detik
berlalu serasa ingin membunuh waktu. Ahmad mengeratkan dekapannya
pada tubuh dua putranya. Badan Ismail, putra kecilnya terlalu mungil
untuk pelampung yang ia beli tempo hari, ia lantas mengikatkan badan
makhluk 3 tahun itu kedadanya dengan sorban, lantas menyembulkan
paksa kepala bocah kecil itu dibawah dagunya. Sedangkan Ibrahim sang
kakak sudah mengenakan pelampungnya sendiri sejak tadi.
“Jangan berhenti ber’doa Ibrahim...” Ahmed
setengan berbisik, bocah delapan tahun itu mengangguk samar. Ahmed
mengedar pandang pada wajah-wajah sekelilingnya yang malah semakin
mengaduk-aduk perasaannya, semuanya hanya mengirimkan sinyal stress
akut dan keputus-asaan, ketakutan tentang kematian, batinnya semakin
tertekan. Bukankah ancaman kematian begitu biasa dalam hari-hari lusa
mereka ketika bom-bom barel dimuntahkan heli-heli para penjahat itu?.
Ah, apalagi sekedar desingan peluru... teror kematian adalah warna
hari-hari mereka. Entahlah... kematian kembali menakutkan. Setidaknya
karena bagi seorang muslim ia bukan akhir dari segalanya, bahkan
awal. Ahmad memejamkan matanya, mengirimkan do’a dari kedalaman
jiwa, mencari sumber ketenangan itu. “Ya
Hayyuu Ya Qayyuum...” desahnya
tenggelam dalam gemuruh samudra.
“Ayah...” suara samar Ibrahim membuyarkan
do’anya.
“Jangan sedih ayah, Allah akan menolong kita...”
jemari mungil Ibrahim mengusap buliran air lembut di sudut matanya.
Batin Ahmad nelangsa,
ia hanya bisa mengangguk.
Tangis jiwanya semakin menjadi “ Ya
Rabb... Tolonglah kami...” Ia
menguatkan dekapan pada putranya itu. Otot-otot lengannya telah
mengeras sejak tadi, sejak kapal itu terasa mulai tak beres. Dan kini
lengan itu semakin keras melindungi kedua putranya, juga menjadi
tumpuan pegangan tangan istrinya, Haznah. Kini mereka berpandangan.
Tak ada kata-kata, hanya genggaman jari jemari perempuan itu terasa
semakin keras, erat mengunci lengannya.
Dua putra kecilnya mendongak, menatap nanap sang
ayah “Ah kalian... terlalu belia untuk
mengerti ini semua nak...” Ahmed
menenggelamkan kepala mereka berdua kedalam dekapan, hatinya semakin
bergemuruh. Bahkan kedua putranya itu seperti tak lagi mengenal
tangisan, karena luka sudah akrab dalam kehidupan mereka. Hanya wajah
polos bisu yang bercerita betapa perihnya kehidupan masa kecil
mereka. Betapa banyaknya luka yang harus mereka lihat.Betapa kerasnya
hari-hari yang harus mereka lalui. Betapa bom-bom birmil itu
berjatuhan dari langit memporak-porandakan rumah dan perkampungan
mereka tiada sisa. Ah, heli-heli keparat itu seenaknya saja berak
tong-tong berisi ratusan kilo bahan peledak bercampur besi-besi, paku
dan apa saja. Madrasah tempat mereka sekolah bahkan masjid tempat
mereka dulu ikut berjama’ah bersama orang-orang dewasa telah hancur
porak poranda. Apalagi sejak beberapa bulan sebelum para warga
memutuskan mengungsi, bom barel seperti sarapan rutin penyambut
hari-hari mereka, pengecut sekali para penjahat itu. Belasan tong...
puluhan... meninggalkan kehancuran, kematian, kengerian.
Peperangan telah merampok hari-hari indah masa
kecil mereka. Tangisan dan jeritan sudah begitu akrab dengan mata,
menjadi yatim adalah predikat yang tiba-tiba harus melekat pada diri
mereka. Kelaparan, kedinginan, Ah ... betapa kerasnya masa kecil
kalian... Bocah-bocah Suriah. “Ya
Allah... betapa biadabnya orang-orang itu, betapa jahatnya...”
“Bbblllerrrr!!!.... ggglllegerrrr!!!....”
gelegar guntur menyentak Ahmad dari lamunan, kilat semakin sambar
menyambar bersusulan, rambatan aliran listrik raksasa itu
menyala-nyala dikaki langit, mencipta cahaya terang ditengah gulita
samudra. Orang-orang mengencangkan pegangan mereka pada perahu karet
itu, sekencang dzikir dan do’a-do’a yang mereka lafalkan.
Kehidupan serasa berada diambang perpisahan, hati-hati dengan ikhlas
menghantarkan istighfar dan taubat penyesalan. Tak henti bibir-bibir
sibuk memohon husnul khotimah. Sebagian tak bisa lagi menahan jerit
histeris dan tangisan saat sekali lagi angin kuat menghempas perahu
karet yang mereka tumpangi.
“Bbblllerrr!!!... gggllleggerrr!!!...” kembali
guntur pecah menghentak langit dan samudra. Kini disusul guyuran
hujan yang seakan ditumpahkan dari langit. Angin semakin kencang
mengombang-ambingkan perahu kecil itu. Gemuruh mengerikan badai
bercampur dengan jeritan do’a dan tangis beberapa penumpang. Kini
tak satupun bisa duduk seimbang dalam perahu, sebagian saling
berpegangan. Ahmad mempererat dekapan pada kedua putranya. Tangan
kanannya mengais-ngais tepi perahu yang kini semakin licin,
orang-orang mulai susah mencari pegangan. Sedetik kemudian laki-laki
itu terkesiap, dadanya berdesir hebat saat menyadari lengan kanannya
ringan. Kemana gerangan tarikan tangan istrinya yang sejak tadi
membeban. Secepat edaran pandang, secepat itu pula kesadarannya pulih
akan apa yang terjadi.
“ Astaghfirullah!... Haznah!” teriakannya
ingin membelah air laut. Namun ke pekatan samudra menelan apa saja
yang tumpah kedalamnya, menyisakan buih-buih putih atau apa saja yang
tak jelas bentuknya dimalam yang menghitam. Orang-orangpun menyadari
apa yang terjadi, namun tiba-tiba ombak setinggi rumah menggulung
perahu mereka, membalikkan benda ringan itu, menumpahkan seluruh
isinya, pun semua penumpang itu.
Sedetik, dua detik... menit . Aroma kematian yang
mistis itu semakin nyata... tarian ombak bergulung-gulung, gemuruh
badai bersama hujan dalam gelap, jerit dan tangisan. Pun saat
orang-orang itu mulai susah bernafas dalam ombak yang
bergelung-gelung. Meski pelampung yang mereka kenakan mampu
menyembulkan jasad-jasad mereka kepermukaan, bergumul dalam lepas
samudra telah memacu andrenalin sampai puncaknya dan membuat semua
terasa sulit, belum lagi asinnya air lautan yang tersedot hidung
seperti tusukan dan dinginnya air samudra telah berhasil membuat
kaki-kaki mereka kram. Ah detik-detik kepasrahan itu tiba...
terapung-apung dalam kolam hitam raksasa seolah tiada bertepi.
Sampai kapan dan siapa yang akan menemukan mereka sama-sama menjadi
bentuk kepasrahan. Sedang malam baru saja bermula.
Agaknya kisah puluhan bahkan ratusan pengungsi
sebelumnya yang tenggelam serasa akan menjadi kisah mereka pula.
Tiba di kepulauan Yunani, atau apa saja disebrang sana seperti
merindukan bulan ditengah siang. Ya, menyebrang ke pulau-pulau itu
tak pernah mudah... seperti mimpi dipelupuk mata yang kini siap
dipejamkan.“Ya Rabbanaa... Inikah
takdir kami...”. Jiwa-jiwa itu siap
berpamitan.
Ahmad dalam kepanikan hebat saat pelampung yang ia
kenakan seolah tak mampu dengan sempurna menahan berat tubuh lelaki
tinggi besar itu juga sang putra di gendongan, dengan susah payah ia
berusaha menyembulkan kepala kecil ismail kepermukaan. Sedang
pikirannya mulai kacau tak kunjung menemukan Ibrahim dan istrinya.
“Ah, dimana mereka?...”
gelap dan ombak seperti menelan semuanya. Tiba-tiba seperti ada
sebentuk penyesalan datang... nasehat sang ayah... Kata-kata Azzam
putranya... “Ah... salahkah
keputusanku...” Dan semua memori itu
datang menjadi kilas balik yang menyerbunya tiada ampun kini,
episode-episode yang begitu nyata...
***
Keluarga kecil itu berkumpul di rumah yang kini
hanya menyisakan ruang dapur. Selebihnya telah porak poranda oleh
hantaman birmil-birmil yang mampu meluluh lantakkan tiga lantai
sekaligus sebuah bangunan, bahkan lima lantai sekalipun. Daya ledak
luar biasa tong-tong yang diisi TNT, Besi-besi, paku dan sejenisnya
itu merusak apa saja. Menghancurkan bangunan, meninggalkan
lubang-lubang ditanah, bahkan membumi-hanguskan ladang-ladang apel
tak berdosa. Jika dulu mereka masih merasa aman bersembunyi dilantai
dasar saat para penjahat itu menyerang, kini justru malah menakutkan
berada disana sebab bisa terkubur kapan saja.
Suasana menghening sejenak. Bapak empak anak itu
merasakan perasaan yang sulit. Sang ayah Syaikh Daud memahami itu
baik-baik.
“Jadi apa keputusanmu? Katakan pada ayah...”.
Ahmad masih terdiam, ragu. Ayahnya sepertinya sudah faham apa yang ia
rencanakan. Keluarganya adalah keluarga pejuang, ayahnya...
kakak-kakaknya, adik-adiknya, kerabatnya. Meninggalkan kampung
halaman adalah keputusan yang menyesakkan dada. Bahkan Syaikh Daud,
sang ayah diusianya yang tak lagi muda telah menjadi bagian dari
orang-orang yang pertama kali mengangkat senjata, menyambut panggilan
“Hayyaa ‘alaljihaad” yang diserukan ulama dinegri itu seusai
khutbah jum’at kala itu, ketika pertempuran pertama kali pecah. Dan
setelah lima tahun perang tak kunjung usai juga, kakek tua itu tak
pernah mengubah pendiriannya, tetap bergerilya bersama anak-anak
muda.
“Jika membuat keputusan, mohonlah petunjuk
Allah. Bukan untuk duniamu saja. Tapi juga akhiratmu. Katakan kepada
ayah kalau engkau sudah beristikharah...”. Ahmad tertegun,
kata-kata itu begitu dalam.
“Apa engkau sudah beristikharah?”
“Sudah tidak ada yang diharapkan di negri ini
ayah. Semua sudah hancur. Sanak kerabat kita sudah banyak yang
terbunuh. Kita tak punya apa-apa lagi... Lihat, bahkan kelaparan
mulai membunuh orang-orang perlahan. Padahal kita dulu pemilik
deretan ruko dipusat kota sana ”
“Ayah mengerti... tapi beristighfarlah. Semoga
Allah mengampunimu. Takdir Allah semuanya baik. Bahkan kehidupan dan
isinya ini hanya titipan. Kadang semuanya bisa menjadi fitnah ketika
dalam genggaman. Kehidupan kita sesungguhnya diakhirat kelak ”.
Syaikh Daud berujar pelan.
“Ini sudah menjadi keputusan saya ayah”
“Jadi Engkau tak mengubah rencanamu sedikitpun?.
Barangkali peperangan hanya bertahan setahun lagi...”. Wajah tua
itu tetap tenang. Ahmad menggeleng.
“Saya hanya ingin menyelamatkan masa depan
putra-putra saya...”
tiba-tiba ada perih dalam nada bicara bapak empat
anak itu. Angannya mengembara pada ingatan lima tahun silam. Tentang
sang calon dokter muda yang ia bangga-banggakan, putra pertamanya
yang sangat ia cintai. Najib, ya sang calon dokter muda yang pada
hari pertama gelombang demonstrasi besar-besaran terhadap
kediktatoran pemerintahan tirani menjadi yang terdepan diantara
teman-temannya. Demonstrasi damai yang siapapun tak menyangka
disambut ganas timah panas peluru penguasa. Sang tiran telah belajar
dengan baik dari negri-negri tetangga, bagaimana gelombang damai para
demonstran itu telah menumbangkan tahta para penguasa. Maka tidak!,
tidak sedikitpun ia akan membiarkan tahtanya tumbang begitu saja.
Maka ide gila membumi hanguskan lautan para demostran itu benar-benar
menjadi nyata.
Sang putra kebanggaan memang tak tersentuh luka
sedikitpun dalam demonstrasi tersebut, bahkan ikut berdebu-debu
mengevakuasi korban yang tertembus peluru sniper dari
bangunan-bangunan menjulang tinggi disana. Namun keesokan harinya ia
hilang tanpa kabar. Orang-orang baru menyadari tentang sebuah
penculikan setelah seminggu kemudian jasadnya ditemukan dalam keadaan
tak bernyawa. terbujur kaku digot pinggiran kota. Penuh hujaman luka
mengerikan, sebuah riwayat kekerasan dan penyiksaan. Dengan wajah dan
identitas kemahasiswaan utuh yang sengaja tidak diusik, supaya
jenazahnya dikenali. Pesan ancaman tergores di dinding untuk siapapun
yang punya nyali mengobarkan kebencian pada penguasa. Kematiannya
menjadi api pemantik perjuangan mengharukan bagi teman-temannya. Ada
sumpah-sumpah yang terlayang ke angkasa “Keadilan
harus ditegakkan!!! kebathilan harus dilenyapkan!!!, mati satu tumbuh
seribu!!!” dan semua ditutup dengan
gema takbir yang menggetarkan.
Kematian sang calon dokter muda yang meniupkan
heroisme baru bagi ratusan pemuda seusianya, indah memang... tapi
tetap saja mengukirkan pilu kehilangan bagi kedua orangtua, saudara,
dan orang-orang tercinta. “Ah,
kenangan itu hadir kembali...”
“Saya sudah memutuskan ayah, kita akan mengungsi
dalam waktu dekat ini. Secepat mungkin. Sebelum putra kelima saya
lahir...” Ahmad melirik istrinya yang bersandar didinding menahan
perut yang sudah nampak membesar. Sang ayah menghela nafas panjang.
Bahkan memang sudah tak ada rumah sakit yang hidup di kota mereka.
“Saya sudah mengecek semua informasi dan
menyiapkan yang kita perlukan. Kita tidak sendiri ayah. Ada berpuluh
keluarga dengan tujuan sama”
“Kamu belum mengatakan. Kemana tujuan kita?”
“J-E-R-M-A-N” Ahmad mengeja nama negara itu
dengan jelas. Sejelas harapannya tentang masa depan disana. Masa
depan putra-putranya. Sebagaimana harapan banyak orang. Sebagaimana
harapan banyak ayah terhadap keluarganya. Negara Eropa adalah harapan
hidup baru dari neraka peperangan dinegara tersebut. Terlebih Jerman
yang telah dengan formal membuka tangan menyambut kedatatangan para
pencari suaka itu. Bahkan mereka sedang menghindari negara-negara
seiman ditimur tengah karna alasan peperangan yang sama. Mesir, Iraq,
dan sebagainya tengah bergejolak pula. Peperangan telah menjadi momok
menakutkan yang tiada tandingannya.
“Putra-putraku butuh pendidikan dan masa depan
Ayah” Ahmad melirik Hamzah, putra keduanya yang kini telah menjelma
pemuda tanggung. Sudah empat tahun pemuda 17 tahun itu meninggalkan
bangku sekolah. Semua unit pendidikan dikotanya telah porak-poranda
tak tersisa . Dan penghuninya telah tumpah menjadi
gerilyawan-gerilyawan muda amatiran.
Syaik Daud, sang kakek tua mendehem pelan mengatur
kata-kata, ia memahami pemikiran manusia-manusia muda itu. Siapa yang
tak jengah dengan perang berkepanjangan?. Lima tahun telah menyala
api peperangan di negri itu dan tak kunjung terlihat tanda-tanda
bakal usai. Bagai bara dalam sekam yang bahang panasnya sulit padam.
Ini bukan tahun-tahun pertama peperangan yang
penuh romantisme perjuangan dan heroisme. Dimana semua orang yang
mengaku beragama islam bangkit dinegri itu memenuhi seruan ulama demi
melawan kedhaliman, kemarahan yang dibungkus keimanan. Keyakinan akan
segera datangnya kemenangan dan tumbangnya kesewenang-wenangan.
Setiap hari lengan para imam sholat beserta jama’ahnya berusaha
menjangkau pintu langit, tersedu-sedu mereka dalam do’a memohon
kemurahan Sang Pencipta, Semua dalam haru biru, begitu syahdu.
Ayat-ayat jihad dibacakan di mimbar-mimbar, surga dan seisinya
dilukiskan begitu indah bagi siapa saja yang menjual dirinya dijalan
Allah demi meninggikan kalimatNya. Dan para pemuda dengan berapi-api
pulang berpamitan kepada kedua orang tua, mencium tangan mereka
lama-lama memohon restu demi kemenangan perjuangan atau berakhir
kesyahidan. Para istri melepas kepergian para kekasih dalam do’a
dan airmata, saling berjanji kelak bertemu di jannahNya. Dan para
ayah mencium putra kecil mereka, mengabarkan dengan bangga bahwa sang
ayah akan berangkat melawan para penjahat diluar sana. Ah, meski
diiringi airmata. Kepergian yang mungkin selamanya dan tak lagi
dijumpa, pulang tinggal nama. Semua sangat indah dikenang . Aura
perjuangan yang menggetarkan.Mengharukan.
Dan kini... semua telah menjadi sangat berbeda.
Ah, fase awal perang pecah meski sulit dan menyakitkan, meski dibayar
dengan tumbal darah-darah yang tertumpah tetap indah dikenang. Kala
itu semua elemen pejuang bersatu. Semua perjuangan penuh gairah dan
senyuman, penuh apa saja yang diperlukan untuk menghidupkan tungku
semangat membela agama dan saudara seiman. Semua penuh dengan aura
persatuan ummat. Tidak ada perpecahan dan mereka merasakan
semanis-manisnya persaudaraan karena keimanan. Satu sama lain saling
melindungi, semua berfokus pada musuh kedhaliman yang satu. Tidak ada
saling curiga. Lengkingan takbir sahut menyahut menyelingi desingan
peluru membuat kocar kacir para musuh. Perjuangan diisi jajaran para
kaya yang dengan dermawan menjadikan hartanya dijalan Allah,
dapur-dapur mereka terus mengepul untuk para pejuang, pintu-pintu
rumah luas mereka terbuka sebagai markas para pejuang. Dan
Orang-orang miskin menyumbang jiwa dan sanak saudara demi tegaknya
agama. Itulah lima tahun silam...
Ya, lima tahun silam... Dan kini perang telah
menghabiskan kesabaran banyak orang. Allah benar-benar sedang menguji
hamba-hambaNya. Kondisi semakin kacau. Perseteruan dimana-mana. Para
pejuang seakan diadu domba. Tak jelas siapa kawan, siapa lawan.
Orang-orang mulai jenuh dengan semuanya. Jenuh dengan perang yang tak
berujung, jenuh dengan perseteruan, jenuh dengan kesulitan yang
semakin menghimpit, bahkan kelaparan. Hari-hari mereka penuh
kesedihan dan rasa kesepian atas orang-orang tercinta yang telah
tiada. Bocah-bocah yatim, para janda, Ibu-ibu yang kehilangan putra
mereka meskipun bertahun silam adalah para wanita berhati singa yang
melepas kepergiaan mereka dengan bangga. Negri mereka telah hancur.
Apalagi sejak Rusia ikut-ikutan menggempur negeri tersebut. Nestapa
mereka semakin dalam. Dan getirnya kehidupan mulai mengubur perlahan
semangat sebagian besar orang kecuali sedikit saja. Senapan-senapan
mulai digantungkan. Dan ide orang-orang untuk mengungsi kini pecah
sebagai eksodus besar-besaran kebanyak negara. Terutama Eropa.
Ya... Syaikh Daud mengangguk-angguk memahami itu
semuanya. Meski semacam ada kasta dalam masyarakat Suriah bahwa
mereka yang mengungsi ke negri orang dipandang sebelah mata ‘kasta
paling bawah’ sebab dianggap mencari kedamaian hidup pribadi
sebagaimana mereka sangat menjunjung para pejuang dan yang masih
konsisten sampai detik ini, menempatkan mereka dalam ‘kasta
tertinggi’ dalam masyarakatnya. Ya, tapi siapa yang peduli lagi.
Dan Syaikh Daud tidak pernah menyalahkan orang-orang itu, mereka
punya alasan masing-masing, mereka merasakan kepahitan yang
berbeda-beda sebagaimana kini ia tidak menyalahkan keputusan
putranya.
“Jika itu keputusanmu... Pergilah. Aturlah
urusan kalian sebaik mungkin. Mohonlah pertolongan Allah agar
semuanya lancar. Aku akan tetap tinggal disini”
“Apa Ayah?! Tidak, kami akan pergi bersamamu.
Tidak mungkin kami meninggalkanmu disini, hanya aku satu-satunya
putramu yang masih tersisa” Ahmad mulai gusar.
“Tak apa... ayah tak akan meninggalkan tanah
ini. Songsonglah masa depan kalian... masa depan ayah disini, ditanah
ini. Ayah ingin menyusul saudara-saudaramu, Juga ibumu...”
Suasana mendadak haru. Ahmad tahu ayahnya adalah
pejuang. Sulit membujuknya untuk meninggalkan negri yang butuh
pembelaan itu. Ia dan istrinya merasakan kegetiran baru. Itu artinya
sekali lagi kehilangan orangtua yang mereka cintai. Betapa ia
mencintai kakek tua itu. Sang ayahlah yang mendidik semua putranya
hingga tumbuh menjadi pemuda dan anak-anak yang baik dan taat
bergama. Ya, disaat ia terlalu sibuk mengembangkan usaha dan
bisnisnya.
Sang Kakek kini merengkuh Ibrahim dan Ismail,
membawa mereka dalam dekapan, menikmati kedekatan dengan
cucu-cucunya. Ahmad membisu tak tahu lagi mau mengucapkan apa.
“Aku akan tetap disini bersama kakek!”
Tiba-tiba suara Hamzah memecah hening. Semua saling berpandangan.
Ahmad dan istrinya semakin bingung.
“Aku tidak ingin jadi pecundang...” Hamzah
berdiri, sang ayah semakin gusar dengan keadaan. Kata-kata putranya
itu terasa menusuk sanubarinya. Hamzah yang pendiam, penurut dan
selalu sopan kepada orang tuanya sanggup mengatakan itu?.
“Apa Hamzah?! Ayah hanya ingin menyelamatkan
masa depanmu dan kau bilang Ayah pecundang?!. Lihatlah tahun ini
seharusnya engkau menjadi mahasiswa muda yang menyongsong masa
depan”.
“Tidak ayah, aku tidak akan meninggalkan negri
ini. Aku ingin tetap bersama para pejuang. Ini keputusanku. titik!”.
Ahmad hendak berdiri, namun putranya yang kini menjelma pemuda itu
buru-buru pergi tanpa sepatah katapun. Ahmad seketika berdiri hendak
mengejar.
“Hamzah!!!”
Suara Ahmad, sang ayah ditelah malam, ia hanya
mendapati punggung putranya yang semakin samar ditelan gelapnya
malam.
“Jangan khawatir. Biar ayah nanti yang
menasihati putramu itu. Ia sedang dipuncak semangatnya. Semoga dia
mau mendengarkanmu. Jika dia menolak, maka keputusan yang dipilihnya
tidak salah. Menjadi pejuang adalah kesuksesan masa depan yang lain.
Putramu sudah mulai dewasa. Dia juga anak yang baik dan teguh”.
Ahmad masih tertegun didepan pintu, meratapi malam
yang semakin pekat. Keputusannya terasa semakin sulit.
“Hanya satu pesan ayah... dimanapun kamu berada
nanti. Jangan lupakan jati dirimu sebagai seorang muslim yang
beriman. Jagalah putra-putramu dalam kefitrahan agama mereka. Hidup
ini hanya persinggahan”. Syaikh Daud menatap mata putranya dalam,
menagih janji langit itu. Ahmad mengangguk. Pertemuan malam itu
ditutup dengan ayah-anak yang salang berpelukan.
***
Hamzah berlari dalam kegelapan. Selain ingin
mempercepat perjalanannya, ia juga ingin cepat sampai ke markaz para
pejuang , sebuah gua galian yang mereka buat untuk mengevakuasi para
warga jika raungan heli-heli pengangkut bom-bom birmil itu mulai
terdengar. Itulah cara mereka melindungi para warga. Karena gedung
apapun diatas tanah telah menjadi tidak aman dari kemungkinan runtuh
oleh ledakan birmil-birmil itu.
Hamzah bergegas dalam kecamuk pikiran. Ia ingin
cepat berada diantara orang-orang itu. Ia tidak ingin berubah
pikiran. Betapa duduk berlama-lama bersama sang ayah, ibu dan juga
adik-adiknya tadi telah mulai menggoyahkan keputusannya,
keteguhannya, cita-citanya. Ia ingin berjuang dan mati sebagai
pejuang. Betapa keputusan sang ayah juga menyentak dirinya. Ia tak
ingin berpisah dengan mereka. Ia mencintai mereka semuanya. Selintas
ia juga ingin mempunyai masa depan dunia yang sukses sebagaimana
pemuda-pemuda lainnya. Oleh karena itu ia cepat-cepat memutuskan
meninggalkan pertemuan tadi. Sebelum keteguhannya goyah. Bagaimanapun
kecintaan kepada agama dan perjuangan telah telah mengalahkan
semuanya. Itu bukan berarti ia bisa selamanya teguh dengan
pilihannya. Terlalu banyak yang merayunya kini. Hatinya bisa
berbolak-balik kapan saja. “Yaa muqallibal quluub tsabbit qolby
‘alaa diinik...”. Belokan terakhir menuju markas sudah didepan
mata. Hamzah membisikkan Hamdalah pelan.
***
Jum’at siang itu mulai memanas lagi, sejak pagi
Heli-heli para musuh itu berkelebatan di langit kota. Menguji nyali
para laki-laki dewasa untuk segera bergegas kemasjid memenuhi
panggilan sholat jum’at. Di negri ini, sholat berjama’ah dimasjid
adalah pembuktian keimanan. Karna siapapun bisa pulang tinggal nama.
Begitupun para tentara musuh tak akan segan segan melepaskan roket
dan bom-bom kearah masjid-masjid yang nekat mengumandangkan adzan
secara terang-terangan menggunakan speaker.
Syaikh Daud mempercepat langkah, membisikkan zikir
sepanjang perjalanan. Kematian adalah keniscayaan yang bisa datang
kapan saja. Apalagi raungan helikopter diatas sana sejak tadi telah
menjadi teror tersendiri. Masjid abu Bakr tinggal dua belokan lagi
dari gang didepan. Ia berharap menemukan cucunya disana. Dia berjanji
pada putranya untuk membujuk hamzah supaya mau menuruti keinginan
ayahnya. Kalaupun tidak berhasil minimal malam ini ia berhasil
membawa pulang hamzah, karena sang ayah akan bertolak malam ini.
Sebuah perpisahan, entah berjumpa kembali entah tidak.
Syaikh Daud hafal betul kemana pemuda itu pergi
dan pada markas yang mana cucunya itu bergabung . Apalagi hari jum’at
seperti ini, Hamzah sudah pasti duduk dimasjid Abu bakr sejak tadi,
duduk lama-lama dalam bacaan Al-qur’an . Ah, betapa kakek tua itu
iri dengan masa muda cucunya. Anak yang tumbuh, ditempa dan
tertarbiyah dalam dekapan perjuangan, malam-malam yang dikenalnya
adalah ketaatan bersama para pejuang. Siangnya bertolak menuu medan
bersama mereka. Medan juang perlahan membentuk karakter pemuda itu.
Benar, bahwa medan pertempuran adalah tempat terbaik membuktikan
kejujuran iman. Sebab kematian selalu hadir didepan mata. Dan
rontoklah sifat kemunafikan. Disitulah seorang muslim hanya akan
mengenal kejujuran pada Rabbnya dalam setiap amalan dan harapan
keselamatan. Barangsiapa selalu bisa mengingat kematian, maka dia
selalu berada dalam nasihat yang baik dan ketaatan yang ikhlas.
Akhirnya, sampailah Syaikh Daud ke masjid yang
telah roboh bagian sisi depannya itu. Ia bergegas memasuki pelataran
yang berantakan oleh puing-puing matereal berserakan. Saat memasuki
masjid itu, khutbah jum’at sudah dimulai. Shaf-shaf terdepan telah
sesak terpenuhi. Sekilas ia mengedarkan pandang, mencari sesosok
cucu tercintanya “Ah, pasti dia ada di shaf depan sana. Nanti saja
aku mencarinya”. Sang kakek lantas berdiri dalam dua rakaat
tahiyyatul masjid. Kemudian segera bergabung duduk tenang menyimak
khutbah.
Syahdu nasihat kesabaran yang dilontar sang
khatib terasa menelusur kedalam jiwa para jama’ah yang sebagian
besarnya adalah para pejuang. Khutbah hampir selesai ketika semua
mulai merasa terganggu dengan raungan heli-heli yang terdengar makin
mendekat. Telinga dan mata-mata orang-orang yang terbiasa siaga itu
kini berjaga-jaga. Raungan terdengar mengeras lagi. Tidak mungkin
mengintip keluar sana untuk memastikan kemana heli-heli yang membawa
birmil itu akan menjatuhkan muatannya. Sebab khutbah sedang
berlangsung. Hanya keyakinan para jama’ah tentang taqdir kematian
yang tidak bisa dimajukan dan dimundurkan telah meredakan ketakutan
jiwa mereka. Raungan helikopter terdengar mendekat lagi.
“Ssssshhhhhttttt.... ssssshhhht.....
sssshhhhttttt” tiba-tiba suara mendesis itu mulai, berselingan
dengan do’a sang khatib. Orang-orang sadar apa yang terjadi.
Masing-masing mengencangkan do’a dan ketawakkalan dihati. “Jika
jatuh, jatuhlah... kemanapun kalian ditaqdirkan untuk jatuh...
sungguh ajal kami telah dituliskan. Bahkan sejak kami belum menatap
kehidupan...”
“Ssssshhhhhttttt.....ssssshhhhhttttt....ssssshhhhtttt.....”
“Allahumma, inna nasykuu dzo’fa quwwatinaa...
wa qillata khiilatinaa... wa hawaaananaa ‘alaannaas...
Allahumma...”
“Bbbbbllllllaaarrrrrr!!!....”
Tiba-tiba ledakan birmil yang sejak tadi
mendesis-desis diangkasa terdengar membahana. Sang imam yang sedari
tadi khusyuk berdo’a diatas mimbar terlonjak seketika dengan
jantung nyaris copot.
Dua jendela masjid terlepas, sisanya kaca-kaca yang rontok. Beberapa
orang yang tadi sempat mengintip keluar jendela terjengkang
kebelakang. Angin panas yang masuk melalui celah ruangan masjid yang
tekoyak terasa menampar pipi-pipi para jama’ah. Semua melongok
keluar. Birmil itu jatuh beberapa puluh meter dari lokasi masjid.
Menghajar kebun kosong. Para Jama’ah kembali tenang. Sang khatib
kembali melanjutkan lantunan do’anya. Helikopter terdengar masih
meraung-raung persis harimau kelaparan.
“Allahumma...”
“Ssssshhhhhttttt...
ssssshhhhttttt....ssssshhhhhttttt...” lantunan do’a sang khatib
kembali berselingan dengan desisan birmil yang dijatuhkan.
“Allahumma dammir a’daa addiin...Allahumma
ahlikiddhoolimiina wal mufsidiina fil ardz... Allahumma”
“Bbbbblllllaaaarrrrr!!!...” Birmil kini
menghantam masjid tiada ampun. Suara berdebam sekali lagi menghiasi
siang yang terik itu. Manusia diatas helikopter sana terkekeh telah
berhasil tepat sasaran. “Good job
boy!”. Ia memicingkan mata menatap
ledakan dengan api dan asap yang bergumul-gumul. Ledakan yang telah
menelan hilang suara khutbah sang khatib dan do’anya, menyantap
masjid dan isinya. Dinding-dinding roboh, atap-atap bertebaran. Api
berkobar-kobar disegala sisi. Jiwa-jiwa terbang menemui sang
khaliqnya. Ledakan yang menjadi pengantar kematian, bahkan mungkin
kesyahidan bagi sang khatib dan para jama’ahnya.
***
Perjalanan para pengungsi itu benar-benar tak
mudah. Bahaya tersebar di seantero negri itu. Ide yang tadinya penuh
optimisme kadang berujung kepasrahan, benarkah mereka akan selamat
sampai negri tujuan. Setelah harus menempuh perjalanan ke negri
tetangga terdekat lewat seorang penyelundup manusia dengan bayaran
yang tak murah, mereka akan menghadapi kenyataan menyebrangi lautan
untuk melanjutkan rute perjalanan mereka. Baru setelah itu mereka
akan berjalan ratusan koli meter sampai kenegara tujuan. Dalam
keadaan sekacau ini, tak mudah lagi memperoleh dokumen-dokumen resmi
untuk memasuki negara-negara tersebut, maka sebagiannya dengan nekat
pergi mesipun berstatus illegal. Belum lagi kabar terakhir
menyebutkan bahwa Eropa kini terbelah. Sebagiannya menerima pengungsi
dan sebagian yang lain menolak. Bahkan beberapa negara disana telah
menutup perbatasan negri mereka. Seperti Hongaria yang menolak
negaranya dilewati gelombang pengungsi yang semakin hari semakin
membludak. Negara tersebut membangun pagar kawat berduri sepanjang
161 kilometer di perbatasannya dengan Makedonia. Alhasil, para
pencari suaka dengan tujuan Austria dan Jerman harus membelokkan rute
perjalanan mereka melewati jalur penuh ranjau yang masih aktif di
Kroasia. Padahal diperkirakan ada sekitar 60.000 sampai 100.000
ranjau bekas perang Balkan yang masih tertanam di negara tersebut.
Kenyataan baru yang menambah nestapa manusia-manusia tertindas itu.
Ahmad menatap dua putranya yang terlelap, kemudian
istrinya. Wanita itu tengah hamil tua. Benarkah ia harus memaksa
perempuan itu menjadi bagian dari para pengungsi yang akan berjalan
puluhan, bahkan ratusan kilometer nantinya. Inilah kenyataan hidup
yang harus ditelan. Beberapa negara di Eropa telah menghentikan
layanan kereta api setelah kebanjiran pengungsi. Perang telah
memaksa hampir sepuluh juta rakyat Suriah mengungsi. Mengungsi dengan
hati nelangsa setelah kehilangan banyak hal dan anggota keluarga.
Seperti kabar kematian sang ayah sekaligus putranya yang ia terima
semalam yang cukup memukul hatinya. Tepat didetik-detik keberangkatan
mereka. Baru kemarin malam mereka berkumpul dan bercengkrama. Betapa
waktu tak memberinya kesempatan untuk bertemu putranya. Ia ingin
merangkulnya sembari membisikkan kalimat restu atas pilihannya.
“Ah... semua taqdir ini telah
dituliskan...”.
Tiba-tiba bapak yang telah kehilangan dua putranya
itu mengingat sesuatu. Ia mengeluarkan buku kecil dari balik
jaketnya. Salah satu barang kepunyaan putranya yang diantar sang
pembawa berita semalam bersama barang-barang lainnya. Sebuah buku
diary. Laki-laki itu mulai membuka lembar demi lembar. Membaca
catatan demi catatan... “Ah, putraku... betapa akau telah sibuk dan
tak mengenalmu dengan baik...”. Ada bangga dan haru terselip.
Hamzah yang pendiam dan pemalu. Putranya yang sedikit bicara dan
jarang mengemukakan pendapatnya itu menyimpan jiwa seorang pemberani
yang teguh. Pada lembar terakhir “CATATAN DOSA MUJAHID MUDA’.
Ahmad tertegun,kemudian mulai membaca.
“Sungguh aku merasa dosa terbesarku adalah
melukai hati ayahku dengan kata-kataku yang menyakitkan kemarin
malam. Aku sangat gelisah. Aku takut roket musuh yang menjeput ajalku
mendahului permintaan maafku kepada beliau. Ya Allah berilah hamba
kesempatan menemui ayahandaku untuk meminta maaf. Sungguh aku sangat
mencintainya dan tak ingin mengecewakannya. Namun cintaku PadaMU
harus aku dahulukan diatas kecintaan-kecintaan pada selainMU. Ya
Allah pertemukan kami semua dalam kesyahidan”.
Ahmad tertegun dalam perasaan kehilangan yang
sepi. Ia mengusap sudut matanya. “Ayah
telah memaafkanmu nak... Ayah bangga padamu”.
***
“Bbbbbyyyyyuuuurrrrr....” ombak besar kembali
menghantam tubuh ahmad. Membuyarkan kilas balik memori laki-laki itu.
Mementalkan tubuhnya beberapa meter dari posisi semula. Dan sesuatu
terlepas dari tubuhnya.
“Astaghfirullah!...” Ahmad terkejut hebat.
Ismail putranya tak bersamanya lagi. Hanya tinggal sorban putih yang
tadi digunakannya untuk mengikat putranya itu melambai-lambai di
permukaan air gelap dihadapan sana. Ahmad segera mengejar sorban
itu, berharap menemukan tubuh mungil tanpa pelampung itu. Tapi nihil.
Laki-laki itu berenang lagi. Lagi dan lagi... sekuat tenaga menemukan
putranya. Ke kanan, ke kiri... memutar. Sampai akhirnya letih
menghentikannya dan mendamparkannya pada jurang keputus-asaan,
kehilangan. Laki-laki itu menangis pilu. Rasa bersalah menghajar
batinnya tiada ampun.
“Putraku huhuhu!... putraku!....huhuhu!...”
Laki-laki itu tak pernah menangis sesenggukan dan merasa sesedih
itu. Ingin rasanya menenggelamkan dirinya kelaut ganas itu. Ingin
rasanya dia saja yang hilang, bukan putranya.
“Ismail...huhuhu... dimana kamu nak...” Ahmad
kembali berenang, masih berharap menemukan tubuh kecil putranya.
“Ismail!... anakku... huhuhu...” Bapak yang
telah kehilangan dua putranya itu tak bisa memaafkan dirinya.
Tidak...Putranya yang lucu, Ismail yang menggemaskan. Laki-laki
kecilnya yang mulai banyak celoteh. Pelipur laranya, penyejuk
hatinya.
Hatinya semakin perih membayangkan tubuh mungil
itu tenggelam tak berdaya. Kehabisan nafas, tercekik air lautan.
“Ya Allah... ya Allah... ya Allah...” ahmad
kehabisan tenaga, ingin rasanya kini menyusul putranya. Ia mengapung
pasrah, tubuhnya terasa ringan, ia memejamkan mata.
Sayup-sayup ombak air lautan terdengar telah
tenang. Suara orang-orang mulai terdengar. Desau angin lembut
membelai lautan. Ia merasakan sesuatu menabrak punggung belakangnya
pelan. Ia sudah tidak terlalu peduli, tapi membuka mata juga. Sejurus
kemudian memutar badan dengan sisa-sisa tenaga. Tubuh mungil itu
tertelungkup mengapung. “Putraku!”.
Seperti menemukan tenaga baru, Ahmad meraih tubuh itu, membaliknya
dan membawa kerengkuhan. Sejurus kemudian ia kembali merasa
kehilangan daya. Tubuh kecil putranya telah kaku, darah yang mengalir
dari hidung dan wajah pucat tak bernyawa.
Malam itu bulan bulat tak sempurna menyembul
perlahan dari balik mendung. Sinar redupnya menjadi saksi bisu
kepasrahan orang-orang yang terapung-apung dibawah sana. Saksi bisu
seorang bapak yang mengambang dengan mayat putra kecilnya terikat
didada.
***
Para tim penyelamat itu masih menerjunkan
perahu-perahu kecil, menyisir daerah sekitar kapal besar mereka
dengan sigap. Ternyata tidak satu perahu saja yang tenggelam malam
itu. Mereka masih mengarahkan senter kesegala arah. Berharap masih
bisa menyelamatkan banyak nyawa lagi. Orang-orang berceceran
terapung-apung ditengah lautan ketika kapal besar Turki yang ditugasi
menjaga perairan laut Marmara itu menemukan mereka sebagiannya telah
tak bernyawa. Dan pemandangan yang menyayat hati, ketika mereka
menemukan banyak anak kecil, wanita hamil... dan seorang bapak yang
mengikatkan putra kecilnya yang tak lagi bernyawa ditubuhnya.
Lantai dua kapal besar itu sibuk mengurusi
orang-orang yang masih bisa diselamatkan. Memberi baju ganti,
makanan, mengobati yang terluka dan... membantu proses persalinan
seorang wanita. Ya, salah satu pengungsi yang baru saja diselamatkan
adalah seorang wanita hamil. Dan sepertinya gerakan-gerakan keras
wanita tersebut sepanjang perjalanan hingga tenggelam telah
merangsang kontraksi hebat diperutnya. Si bayi kecil bisa
diselematkan. Namun sayang, sang ibu tak lagi mampu membuka mata
untuk menatap betapa bayi kecilnya secantik dirinya.
“Haznah...”. Ahmad membawa makhluk kecil itu
dalam dekapan. Membayangkan senyum istrinya yang sudah lama
mendambakan anak perempuan. Tangis bayi kecilnya pecah membelah
malam. Seolah belum rela dengan kepergian sang ibu yang belum sempat
ia kenal.
Ahmad mengumandangkan adzan ditelinga bayi itu.
Ibrahim menjajari langkah ayahnya, begitu penasaran dengan adik
barunya.
“Jadilah anak yang kuat nak... Ibumu telah
berjuang sampai titik penghabisan untuk mengantarmu melihat indahnya
dunia...” Ahmad tertegun dengan kata-katanya sendiri, kemudian
menatap mata bening bayi digendongan. “Atau...
perihnya dunia?... ” batinnya
bergejolak lagi. Bahkan bayi kecil itu telah menemui kenyataan
kehilangan saat pertama kali membuka mata, apalagi kehidupan
selanjutnya. “Ah, biarlah Allah yang
mengatur segalanya...”.
“Ayah... kemana kita akan membawa adik kecil
Ayah...” Ibrahim tiba-tiba angkat suara. Sang ayah terdiam lama.
Memandangi bintang gemintang diluar jendela. Mencari jawaban.
“Kemana saja nak... selama ada Allah dihatimu
dan engkau muslim, jangan pernah khawatir kemana taqdir membawamu.
Karna persinggahan kita bukan dunia sayang. Tapi diakhirat sana...”.
Hari mengulang pagi. Semburat cahaya fajar
mengusir pekatnya malam. Supaya manusia selalu mengingat tabiat dunia
yang selalu berselingan. Bergonta ganti dipergilirkan dalam
kesenangan dan kesedihan. Hati yang beriman selalu tenang. Sebab
meyakini kelak suatu hari bakal sampai pada negrinya yang sejati.
Khourtum, Sudan 18 April 2016
0 Comments
Posting Komentar