Oleh:
Nuril Mufidah*
Pernahkah
kita mendengar “wanita itu lemah” atau ungkapan Jawa bagi seorang
istri (baca: wanita) “suwargo
nunut neroko katut”
(kalau suami masuk surga maka istri juga masuk surga, begitupun
sebaliknya kalau suami terjerumus ke dalam neraka maka istri pun
menyertainya). Apakah demikian adanya?
Marilah
kita memutar kembali rekaman Hajar, yang dalam kesendiriannya
menanggung pilu, cemburu karena di ‘tinggalkan’ Ibrahim sang
suami di padang gersang tak berpenghuni dalam keadaan baru melahirkan
dan hanya berdua dengan bayi kecilnya. Dalam perpisahannya Hajar
berkata “kalau ini perintah Allah
maka Dia tidak akan menyia-nyiakan kita”.
Coba
tengok Maryam si gadis suci yang ‘terbuang’ oleh masyarakatnya
dengan menanggung fitnah zina. Dalam keadaan hamil tua, menanggung
lapar dahaga dan rasa sakit akan melahirkan mengadu pada Allah
Sang Pencipta “Duhai alangkah lebih baik aku mati dan tak akan ada
seorangpun yang mengingatku”. Tahukah apa jawaban Allah
atas aduannya “goyangkanlah pangkal pohon kurma ke arahmu”.
Dengan tenaga yang tersisa dan menahan sakit jiwa raga dia lakukan
perintah itu dengan ujung kaki semampunya.
Teringat
kisah Asiyah istri Fir’aun raja durjana, seorang istri yang rela
mati ditangan suaminya menahan derita siksaan dari seorang yang
seyogyanya tempatnya melabuhkan segala rasa sayang. Semua itu dia
tahan demi mempertahankan keimanan. Dalam kesendiriannya Asiyah
menyandarkan harapan hanya kepada pemilik kehidupan “Ya Allah
bangunkanlah rumah untukku di surga”.
Juga
kisah agung Khadijah janda kaya raya idaman para pembesar yang
memilih lapar,
bersabar mendampingi suami yang terusir oleh kaumnya. Sampai habis
semua emas dan harta namun tetap setia dan mendukung Rosulullah
dengan segenap cinta. Sampai Rosulullah
iba dan memohon maaf atas kemelaratan yang ditanggung istri tercinta.
Maka jawab Khadijah “kalaulah hartaku habis dan sampai aku mati,
ambilah tulang-tulangku untuk kau jadikan jembatan membantu syiarmu
wahai kekasihku”.
Demikian
itu hanya sebagian dari banyaknya cerita wanita muslimah yang masih
tepat kita teladani sampai akhir zaman. Sekarang coba kita lihat
keadaan kita sebagai wanita yang katanya hidup modern, serba maju,
dan berpendidikan. Adakah kita meneladani wanita-wanita muslimah
paripurna tersebut? atau kita mengamini dua statemen kuno di atas?
Ataukah kita sibuk berselfie
tebar
pesona kesana kemari? Atau kita ikut-ikutan jadi pecandu
mode/fashion/life style yang mementingkan segala keindahan ragawi
tapi tanpa ‘isi’? atau mungkin kita termasuk budak media sosial
yang tiap hari sibuk update
status
bahkan upload
foto makan siang menjadi seolah penting?
Penting
untuk disadari bahwa ‘membanggakan’ kita lahir sebagai muslimah.
Sebagaimana Allah
membanggakan para muslimah solehah dalam al-Quran
dan cerita wajah agung Islam. Marilah kita ingat betapa kekuatan itu
bukan dominasi laki-laki ataupun perempuan, bukan pula pada rupa
jelita atau raga perkasa. Akan tetapi kekuatan utama berada pada
jiwa. Kekuatan jiwa atau hatilah yang menjadikan Hajar rela
ditinggalkan sendiri. Juga dia mampu bolak balik 7 kali Sofa-Marwah
untuk Ismail buah hati tercinta. Begitu pula Maryam yang
menggoyangkan pangkal pohon kurma sedangkan dia dalam kepayahan dan
kesakitan hendak melahirkan. Juga ratu yang melepaskan kenikmatan
sampai terenggut nyawa Asiyah istri Firaun. Dan ketabahan Khadijah
wanita muslimah pertama yang merelakan martabat, harta, jiwa untuk
syiar Islam.
Kalau
boleh berandai-andai..seperti sinetron..
Seandainya
kita adalah istri ke 2 sepeti Hajar yang tiba-tiba ditinggalkan
sendiri dengan jabang bayi baru lahir di tanah tandus dan kering.
Kemudian sang suami Ibrahim pulang tinggal bersama istri pertama di
kota. Respon yang mungkin akan muncul ‘menabok’ itu lelaki sambil
menghujatnya atau bernyanyi “sungguh teganya
dirimu..teganya..teganya…pada diriku”.
Atau
adegan Maryam mengadu “Duhai alangkah lebih baik aku mati dan tak
akan ada seorangpun yang mengingatku”. Lalu
Jibril
membawa pesan jawaban atas aduannya “goyangkanlah pangkal pohon
kurma ke arahmu”. Respon
yang
mungkin akan muncul “aih..keterlaluan banget..ya nggak segitunya
kale..tau nggak ini liat aku udah gak tahan ini sakitnya minta ampun
mau melahirkan..liat pohon kurma se gede itu suruh goyangkan?!
kok
kebangetaaaan..bawa badan sendiri aja udah kagak kuaat”.
Betapa
lebay-nya perilaku dalam adegan ‘berandai-andai seperti sinetron”
itu. Akan tetapi itulah yang banyak kita dapati pada zaman ini.
Generasi muslimah yang entah kenapa menjadi lebay jijay. Sehingga
hidupnya penuh merasa ‘terkejut’. Loh tiba-tiba sudah kuliah..loh
tiba-tiba sudah lulus..loh tiba-tiba sudah mendapat gelar
“istri”..loh tiba-tiba ada yang memanggil “ibu”..loh
tiba-tiba sudah tua... Padahal semua itu perlu persiapan dan sudah
ada contoh-contoh yang kompeten untuk di teladani.
Kisah-kisah
teladan muslimah di atas sejatinya bukanlah dongeng tapi sungguh
benar terjadi. Maka kita selayaknya mengetahui dan mengambil
pelajaran juga meneladaninya. Kekuatan jiwa dan keimanan mengantarkan
mereka ‘pulang’. Iya, pulang ke rumah yang sesungguhnya -surga-
menemui Robb
yang menanti dengan cinta dan suka cita. Bukankah kita ini sejatinya
adalah penghuni surga karena kita manusia ini adalah anak cucu nabi
Adam yang diberi rumah surga oleh Allah.
Maka demi pembelajaran atas ketaatan nabi Adam dan otomatis kita anak
cucunya tinggal sementara di bumi. Iya, hanya sementara. Jangan lupa
untuk pulang ke ‘rumah’ yang sesungguhnya jangan sampai nyasar ke
neraka. Nauzhubillahi min dzalik..
Kembali
pada kisah-kisah teladan para muslimah pilihan di atas. Siapa yang
dapat menolak betapa ‘kuat’nya mereka. Kuat yang sebenar-benarnya
kuat. Kuat yang bersumber dari jiwa yang bersih, hati yang suci,
mengharap hanya pada Ilahi
Robbi
dengan sepenuh penghambaan dan kepasrahan diri. Akhir kisah mereka
berujung indah, karena sungguh Allah
tidak akan mengingkari janji-Nya.
Maka
penulis menyeru pada diri sendiri juga para pembaca untuk menyadari
bahwa kita -wanita-
muslimah adalah makhluk Allah
yang dikaruniai keindahan dan kekuatan. Di tangan kitalah masa depan
umat. Luar bisa bukan?! Bukankah Khadijah muslimah pertama, wanita
yang menenangkan
nabi Muhammad ketika bergetar dan ketakutan setelah menerima wahyu
pertama. Maka dalam dekapan hangatnya, diselimuti tubuh menggigil
sang Nabi dan menguatkannya. Maka kemudian tersebarlah risalah Islam
itu sampai ke kita melampaui banyak generasi dan melintasi samudra
juga benua. Bukankah Hajar manusia pertama yang tinggal di tanah suci
Makkah, bahkan kita harus mengikuti ‘adegan’ lari 7 kali
Sofa-Marwah dalam ibadah haji dan umroh sampai akhir zaman. Yang juga
dari peristiwa itu Allah
hadiahkan kejutan air zam-zam dari jejak kaki sang jabang bayi. Air
zam-zam yang penuh keberkahan, melimpah ruah tak mengering meski
diminum jutaan jamaah dan bahkan dibawa pulang sebagai oleh-oleh dan
sedekah. Mereka semua adalah -wanita-
muslimah. Maka sungguh menyadari dan mengakui bahwa muslimat itu
hebat adalah tepat. Hal yang lebih penting dari pengakuan diri itu
adalah upaya kita untuk menjadi muslimah yang sesungguhnya.
Adapun
untuk menjadi muslimah salihah itu perlu dan harus diupayakan.
Pelajarannya tidak cukup dengan duduk di bangku kuliah,
dikusi-diskusi, tidak cukup. Pelajarannya harus ditambah dari “kampus
kehidupan”, kapan lulusnya? Ketika kita keluar dari kehidupan
(baca: mati) itulah waktunya berhenti belajar.
Mengapa
kita harus terus belajar?
karena
muslimah yang baik akan menjadi pribadi yang menerima dan mensyukuri
dirinya, istri yang taat pada suaminya, anak yang berbakti kepada
orang tuanya, ibu sekaligus ‘guru’ yang penyayang bagi
anak-anaknya, menantu yang baik bagi mertuanya, teman yang
menyenangkan bagi sesama, serta sosok yang menebar manfaat bagi
lingkungannya. Yang kesemuanya itu tidak lepas dari masalah,
masalah yang terus berulang ataupun masalah yang terus berkembang.
Dan semua masalah dalam hidup ini membutuhkan ilmu untuk
mengatasinya. Itulah mengapa kita harus terus belajar.
Marilah
kita sama-sama terus belajar dan belajar d universitas kehidupan.
Dengan bermodal kekuatan jiwa dalam keimanan segala beban terasa
ringan. Karena kita yakin balasan dari semua itu adalah surga penuh
keindahan. Itulah mengapa orang bilang sabar itu berat karena memang
hadiahnya surga penuh nikmat, kalau gampang hadiahnya rantang
(hehe..sekedar bercanda). Ya itulah dia rumus sukses kita semua:
sabar dan satu lagi syukur.
“Alangkah
indah hidup orang yang beriman, jika dia mendapat nikmat dia
bersyukur dan jika mendapat coba dia sabar”.
Kalau kebetulan mempunyai paras ayu menawan, terlahir dalam keluarga
mapan lagi beriman, mempunyai nikmat kecerdasan, dan ilmu agama yang
lapang maka bersyukur. Kalau tidak kebagian tipe atau model paras
idaman, terlahir dalam keluarga serba kekurangan, otak juga
pas-pasan, dan ilmu agama tak begitu paham
ya sabar (tapi kok ya kebangetan hehe..).
Syukur
itu menyadari sekecil apapun karunia dari Allah
kemudian tidak hanya berhenti dengan ucapan hamdalah. Akan tetapi
menggunakan segala potensi diri dan karunia itu untuk melejitkan
prestasi, memberi manfaat sebesar-besarnya untuk ummat demi
terwujudnya kehidupan islami. Insya Allah
kelak berbalas surga kebahagiaan yang hakiki.
Sabar
itu menerima skenario yang telah ditulis oleh Dzat Yang Maha
Penyayang dan tidak berkeluh kesah meratapi musibah dan masalah. Akan
tetapi menghadapi segala ujian serta tidak berputus asa akan
rahmat-Nya untuk menjadikannya kunci menaikkan derajat diri. Mengadu
dan bersandar hanya pada Yang Maha Perkasa lagi Pengasih dan terus
yakin bahwa Dia tidak akan selamanya membiarkan hambanya yang beriman
tersisih dalam perih. Insyallah
kelak juga berbalaskan surga yang penuh suka cita dan tanpa cela.
Belajar
dari kisah-kisah teladan di atas kita akan terarah dan percaya diri
sebagai muslimah. Sedikitnya kita bisa mengambil pelajaran
sebagaimana berikut.
-
Bagi yang masih sendiri
-
Belajar untuk menyiapkan diri, menguatkan hati menjadi muslimah sejati
-
Muslimah yang tidak lebay
-
Siap setiap saat untuk diberi kesempatan dan kehormatan sebagai istri dengan segala konsekwensi
-
Menjaga kehormatan dan tak mudah menyerah atas fitnah sebagaimana Maryam
-
Bagi yang sudah mendapat gelar “istri”
-
Orang pertama yang memahami kebutuhan suami
-
Mendekap penuh hangat ketika suami terguncang hebat sebagaimana Khadijah
-
Memaknai cinta bukan hanya hal-hal yang bersifat manja. Akan tetapi didalamnya kepatuhan, pengorbanan jiwa raga, kesabaran sepenuh langit bumi berlipat tujuh atau bahkan lebih demi dakwah suami yang telah di contohkan Khadijah yang mulia
-
Keteguhan iman dan keyakinan secara total atas janji Allah
-
Ketelatenan, kesabaran dan kasih sayang yang tak terhingga untuk menjaga anak sebagai amanah dari Allah meskipun sendiri dalam sepi tanpa didampingi suami sebagai mana Hajar
-
Bersabar dan bersandar hanya kepada Allah
-
Hanya kepada Allah mencurahkan segala duka lara dengan menyalakan cahaya pengharapan yang tak akan padam meskipun menghadapi siksaan suami yang kejam sebagaimana Asiyah
*
Penulis adalah dosen
Bahasa
Arab di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang sedang melaksakan
promosi doktor program PROSALE 2015 DIKTIS KEMENAG RI di Omdurman
Islamic University-Sudan
0 Comments
Posting Komentar