Kalau Bukan Sekarang, Kapan Lagi?


Subhanallah, betapa indahnya kata bila dirangkai oleh empunya, batinku sambil tersenyum simpul, memandang barisan puisi yang terangkai anggun di majalah Horison bulukku.
“Kalau saja aku tak mengenalmu, sudah ku anggap kau orang gila, Din. Senyum-senyum sendiri tanpa sebab!” Satu suara sumbang mengagetkanku. Sedikit ku melirik asal suara.
Ah..., sesuai dengan dugaanku. Siapa lagi kalau bukan Agus, sahabatku.
“Namanya juga orang sedang senang, Gus” Sahutku asal. “Coba saja kau baca puisi ini, aku jamin kau akan mengerti apa yang sedang kurasa ” Lanjutku.
“Aku tak suka puisi” Jawabnya singkat.
“Cobalah sekali saja. Puisi ini sungguh indah. Coba kau lihat, nama penulisnya saja sudah cukup indah. Hasna Nur Khadijah... Ambooyy.., kalo disebut namanya, seakan tergambar taman sakura di depan mata” Kataku sambil menerawang jauh, masih dengan senyum tersungging.
“Mulai lagi deh errornya. Bosen aku dengan nama itu kau sebut-sebut terus, seperti sholat saja, sehari bisa lima kali. Kalau kau suka, lamar saja!” Sahut Agus, menggerutu.
Tak kuhiraukan ocehannya.
“Pasti indah..,” Ujarku sambil tetap menerawang. “Pagi hari disuguhi kopi dan sebait puisi, pulang kerja disambut senyum berbalut kata cinta, subhanallah....”.
“Alamak, tambah ngelantur anak ini. Ayo, bergegas. Kuliah sudah mau dimulai” Seru Agus sambil berlalu.
Kulipat majalah Horison buluk itu dengan tergesa, lalu segera berlari mengejar Agus yang berjalan dengan terburu-buru.
“Aku heran, kenapa kau suka sekali membaca buku-buku seperti itu?” Kata Agus sambil melangkahi sebuah batu besar yang melintang.
“Justru aku yang heran, Gus. Kenapa kau tidak suka? Apakah kau tidak punya rasa seni? Apakah kau tidak bisa menikmati kata-kata yang terangkai indah itu? Sungguh Allah itu maha indah dan menyukai keindahan, Gus!” Tak mau kalah aku membalas.
“Entahlah. Memang indah sih, tapi terasa berbelit-belit. Tidak to the point. Not my style, you know?” Sahutnya enteng
“Alahh.. pemuda kelahiran Cikajang, tapi berlagak pakai bahasa Inggris. Serasa ditusuk tugu Pancoran telinga ini” Balasku.
“Tapi sudahlah. Yang membuatku heran, kau mengaku penggemar berat sastra, yang kau baca puisi, cerpen, novel, namun tulisanmu mana!?” Serunya.
Aku tertegun sesaat. Terkejut tepatnya. Pertanyaan Agus telak mendarat. Serasa dibogem Mike Tyson. Hingga memasuki kelas aku belum mampu menjawabnya. Agus pun sepertinya tidak terlalu menghiraukan. Ia langsung duduk mendengarkan uraian Syeikh Amin Ismail tentang Ilmu Tafsir. Sedangkan aku? Entahlah. Ruwet. Mungkin. Semua terlalu semrawut untuk diurai satu persatu. Benar-benar telak pertanyaan Agus tadi. Hingga kuliah berakhir aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri.
“Melamun saja kau. Pasti memikirkan obrolan tadi. Sudahlah, tadi aku cuma bercanda” Kata Agus setelah kuliah usai.
“Siapa yang terfikir omonganmu? Aku hanya mengingat-ingat pelajaran barusan” Sahutku, berusaha mengelak.

*********

Rembulan mengintip malu dibalik anyaman awan
Enggan ia.... enggan ia.... emmm...

“Ah.....!!” Desah kesal berkolaborasi dengan muka tertekuk memperburuk suasana malam ini.
Kuremas dengan ganas kertas berisi selarik kata itu, lalu kulempar kedalam tempat sampah di samping pintu. Entah sudah keberapa kalinya. Tong plastik itu terlihat begitu penuh dengan kertas.
Ya, aku tertantang dengan omongan Agus. Sangat. Harga diriku serasa dikebiri.
Oleh karena itu aku bertekad untuk membuktikan kemampuanku padanya.
Tidak tanggung-tanggung, kemarin sore aku berkoar lantang, akan mengirimkan tulisan ke majalah el Nilein bulan ini.
Ah..., mungkin memang itu hari sialku, bang Faishol, salah seorang kru majalah el Nilein, entah dari mana datangnya makhluk ini, tiba-tiba saja ia sudah berdiri dibelakangku dengan senyum lebar tiga jari.
“Nah..., semangat seperti inilah yang kami tunggu-tunggu dari dulu. El Nilein adalah wadah kita bersama untuk berkreasi, mengembangkan kemampuan. Mahasiswa harus aktif berkarya! Tapi kenyataannya berbeda, disini semua seperti enggan berkreasi, apalagi berpartisipasi di el Nilein!”
Nah loh, malah curhat dia, batinku.
“Kebetulan bang, si Udin ini sudah sangat lama ingin mengirim tulisan di majalah el Nilein. Ibaratnya air direbus, dia ini sudah mendidih, ingin segera menuangkan karya-karya fenomenalnya!” Seru Agus sambil mengerling padaku dengan senyum jahat ala tokoh antagonis di sinetron.
“Benar begitu?!?! Bagus lah. Orang-orang seperti kamulah yang kami harapkan dari dulu. Semangat dalam berkarya!” Sahut bang Faishol riang dengan mata berbinar.
“Ehmm..., yah.. saya..ss.. saya... memang ingin... mengirimkan emm.. tulisan...”
Aduh, ide.. kemanakah dirimu.... Ayo berfikir!!!
Ide!!!
“Oiya.., bukankah sekarang sudah tanggal 15? Pastinya rubrik-rubrik el Nilein sudah terisi semua, kan? Aduh sayang sekali yah, padahal saya sangat ingin mengirim tulisan. Mungkin bulan depan, atau lain waktu ya, bang” Jawabku dengan mantab,
memang ideku selalu brilian. Hehe..
“Kebetulan rubrik puisi belum terisi, sedangkan masalah deadline, khusus untukmu, akan kuberi dispensasi waktu seminggu, bagaimana?” Balas bang Faishol, cepat.
Sigap Agus membuka mulutnya sebelum aku sempat bereaksi
“Wah, pas sekali. Seminggu sudah lebih dari cukup, bang. Tunggu saja hasilnya. Pokoknya tidak akan mengecewakan! Bukan begitu, Din? ” Tanya Agus, masih dengan “seringai jahatnya”.
Dasar, pasti dia meremehkanku. Pasti dia yakin aku tak mampu. Aku paling panas bila merasa direndahkan.
“emm...., baiklah bang! Seminggu lagi siap!”
Ah.., aku dan mulut besarku. Untuk apa juga aku terprovokasi pancingan Agus? Akhirnya aku sendiri yang repot.
Dan sejak hari itu, serasa dikejar waktu, kumulai petualangan di belantara kata, berusaha menyatukan patah rantingnya dalam ikatan kalimat, yang akan kurangkai entah menjadi apa. Yang pasti, aku bertekad untuk membuktikan kemampuanku.
Emm.. atau lebih tepatnya “Tadinya aku bertekad”. Sebab saat ini tekad itu sudah hancur berkeping-keping menabrak tembok bertuliskan “Warning!!! No inspiration!”.
Tinggal malam ini, ya Allah. Deadline.
Menjelma aku layaknya gelandangan yang mengais-ngais remah inspirasi, ringkih, lapar, haus akan ide.
Kembali kugoreskan pena, memenuhi kertas putih dengan tinta. Coret sana coret sini, tetap saja terasa kurang. Selalu saja terasa ada yang salah.
Sepertinya aku butuh udara segar, siapa tahu setelah itu inspirasi berkenan mengunjungi kamar pengapku.
Namun tiba-tiba...
tok.. tok.. tok..
Belum sempat tubuh ini beranjak dari kursi, terdengat seseorang mengetuk pintu. Jangan-jangan..
“Assalamualaikum, Nasir, bagaimana kabarmu?”
ternyata benar dugaanku, bang Faishol.
“Wa’alaikum salam, sehat bang. Tumben mampir”
Pertanyaan bodoh, batinku. Sudah jelas dia ingin mengambil tulisan.
“Kebetulan saja lewat, sekalian ingin tahu tulisanmu sudah selesai atau belum”.
“Emmm.. begini bang.. emmm.. sepertinya saya.. emmm.. tak bisa memenuhi janji” Jawabku, berat.
“Memang tulisannya sudah ada atau belum?”. Tanya bang Faishol.
“Sebenarnya.., bisa dibilang, sudah ada. Tapi saya pikir belum cukup layak untuk diterbitkan. Apalagi dibaca banyak orang. Saya malu bang. Ini baru pertama kali. Bagaimana kalau banyak yang mengejek nanti?” Akhirnya bisa jujur juga.
“ Akhi..., Orang yang mau mencoba, bisa berhasil bisa juga gagal. Namun orang yang tidak mau mencoba, ia takkan mendapat apapun, bahkan tidak juga pengalaman. Justru disinilah kau dapat mengukur diri, apa yang kurang dapat kau tambah. Yang sudah bagus dapat lebih ditingkatkan. Sehingga kau berada pada kemampuan terbaikmu ketika kau terjun di masyarakat” Ujarnya, panjang lebar, seperti biasa.
“Sir.. sir.. lho.., kok malah tidur?”
“Ohh.. maaf bang, mata agak terpejam sedikit. Tapi paham kok maksud abang. Maaf bang”
Ngomongnya lama sih... hehe..
“Iya, tidak apa-apa. Coba perlihatkan padaku tulisanmu itu”.
Dengan berat ku ulurkan selembat kertas kusut yang dari tadi kucoret-coret dengan sadis.
Sejenak ia terdiam, membaca tulisanku. Aku pun terdiam. Layaknya pesakitan yang sedang dihakimi, tinggal menunggu vonis sang hakim. Sungguh aku merasa tidak nyaman dengan momen ini. Serasa ada kebekuan yang menjalar diantara kami.
“Lumayan juga..” Ujar bang Faishol setelah terdiam beberapa lama.
“Baru pertama kali kau bilang? Ini cukup bagus kok. Baiklah, kertas ini akan ku bawa. Tunggu saja, Insya Allah tulisanmu ini akan terpampang di majalah el Nilein bulan ini. Tetap berkarya! Kami tunggu tulisan berikutnya” Katanya, sambil berlalu.
Ampun deh, kapok aku. Tidak!!! Tak sudi lagi ku goreskan tinta. Ini adalah yang pertama dan sekaligus yang terakhir kalinya. Huhh, harga diriku hancur sudah. Entah bagaimana tanggapan orang-orang nanti ya??? Aku harus tabah.
*********
Tak disangka kau punya bakat juga, Din!” seru Habib bersemangat.
Entah itu pujian keberapa yang kuperoleh pagi ini. Kalau dihitung-hitung, mulai dari Fata, Irsyad, Mutlik, Husein, Sofwan, dan masih banyak yang lainnya. Sudah cukup banyak untuk ukuran pemula seperti diriku. Hidungku sampai kembang kempis dibuatnya.
“Yah.., paling tidak kini aku tahu, hobi membacamu tidak sia-sia” Celetuk Agus enteng. “Kalau tidak, lebih baik kau ganti hobi saja, menjahit atau memulung. Sepertinya cocok untukmu” Lanjutnya, seperti biasa, tanpa merasa berdosa.
“Itu baru sedikit dari kemampuanku, Gus!” Seruku.
“Oh ya? Berarti masih banyak karya-karya yang akan kau kirimkan ke majalah el Nilein?” pancingnya sambil mengeluarkan senyuman “jahat” favoritnya. Hmmm...Terlihat seperti ada pendar aneh di matanya. Aku harus berhati-hati kali ini, jangan sampai terpancing lagi. Jangan. Jangan sampai. Jangan!!!
“Tentu saja! Bahkan aku berniat menulis di majalah el Nilein tiap bulan!” jawabku asal. Aduh, keceplosan juga akhirnya. Aku memang paling tak tahan kalau diremehkan.
“Memang orang seperti kamu lah yang kami harapkan!”
Satu suara mengagetkanku. Perasaanku tidak enak. Sepertinya suara ini begitu familiar ditelingaku.
Bang Faishol!! Kenapa dia selalu muncul di momen yang tidak pas?!?! Dasar..!!
“Baiklah, akan kusediakan rubrik khusus untukmu setiap bulan, tetap semangat ya!” Serunya riang.
Ahh.. aku dan mulut besarku.
Tapi....tunggu. Kalau dipikir-pikir, ini adalah kesempatan emas untuk berlatih. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Kalau kemarin tidak dipaksa, belum tentu aku akan mulai menulis. Dan ternyata setelah dicoba, kemampuanku boleh juga.
Ini kesempatanku untuk mengembangkan kemampuan sebelum aku terjun ke dunia yang sebenarnya. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kali ini, akan kubuktikan pada Agus, pada semua, pada dunia. Akan kubuktikan kalau aku benar-benar bisa. Bukan sekedar kebetulan saja.
“Siap bung?” Tanya Agus sambil cengengesan.
Sejenak kutarik nafas lalu kulepas perlahan. Dan dengan penuh keyakinan kujawab
“Tunggu tanggal mainnya!”.
Wallahu a’lam
*******
Kampus Int. Univ. Of Africa

Qo’ah 8 pas pelajaran Tafsir Syeikh Zubeir

10 Maret 2012

(arsip lama el-Nilein milik Kang Nasir)

Posting Komentar

0 Comments

Formulir Kontak