“Tak ada banyak kata yang terucap antara kita, sebab apalah artinya kata-kata? Ketika diam pun sudah mampu menyampaikan rasa yang bahkan tidak mampu disampaikan seribu rangkain kata, ini bahasa kita, bahasa hati yang mampu menembus keterbatasan kata”.
****
Aku ingat sekali bagaimana pertemuan itu kembali terjalin setelah kita lama berpisah dan hampir saling melupakan. Bahkan untuk mengingat serpihan serpihan kenangan tentangmu aku harus mengerutkan dahiku. Ternyata aku masih punya ingatan tentangmu, ingatan tentang sesosok gadis yang bahkan lebih tinggi dariku namun pendiam. Gadis pendiam itu kamu bukan? Sudah pasti kamu, aku ingat sekali dua kepangmu, lucu. Enam tahun lamanya kita berpisah tanpa tegur sapa, ah sudahlah, apa bedanya dengan waktu itu ketika kita sama-sama mengagumi Mas Anjas guru Matematika yang paling asyik sedunia? atau apa bedanya dengan waktu itu ketika kita sama-sama asyik mendengarkan ocehan riang Mba Dian staff administrasi paling ramah? Sama, tidak ada beda sama sekali, kamu selalu diam bahkan untuk sekedar bertukar sapa. Lalu bagaimana dengan diriku waktu itu? Tak jauh beda denganmu, akupun PENDIAM. Namun bagaimanapun hal itu berlalu, kita tidak pernah mengira bahwa “diam” akan menyatukan kita dalam satu dimensi yang tidak seorangpun bisa mengerti, hanya kita berdua, aku dan kamu.
Enam tahun rupanya cukup untuk membuat kita berbicara banyak hal dan meninggalkan predikat “diam”. Kala itu kita banyak berbincang banyak hal tentang kenangan masa lalu yang kita lewati tanpa sekalipun tegur sapa. Membicarakan kabar teman-teman yang jejaknya-pun aku hampir kehilangan dalam ingatanku. Menceritakan kisah kehidupanmu setelah kita berpisah, pun membicarakan kisahku. Enam tahun itu sanggup memecah “kediaman” kita. Kala itu adalah sepenggal waktu yang penuh kata. Sayangnya itu tidak berlangsung lama, pada suatu waktu perlahan kita mulai menyadari ada sesuatu yang halus yang menelusup diantara perbincangan kita dan perlahan kita pun mulai menyadari dan tahu bagaimana menamai “sesuatu” itu. Ketika “sesuatu” itu hadir kita kehabisan kata-kata untuk diperbincangkan, kita kehabisan hal-hal yang membuat “Si Pendiam” berkata-kata kembali. Karena apa yang ada di benak dan hati kita hanya tentang “sesuatu” itu. Sedangkan “sesuatu” itu tidak bisa diperbicangkan, sebab kata-kata tak mampu untuk memperbincangkan, sebab kata-kata tak cukup mampu untuk menyatakan apa dan bagaimana sesuatu itu. Jadilah kita kembali kepada “kediaman” kita. Hanya sesekali kita berucap kata tentang "sesuatu" itu. Kata yang tak mampu mengungkapkannya. Meskipun pernah kita mencoba, kita hanya bisa terbata untuk menjelaskan "sesuatu" itu dengan kata. Akhirnya kita hanya bisa menyerah pada lemahnya kata-kata untuk mampu mengungkapkan “sesuatu” itu. Perlahan kita mulai menikmati kembali kediaman itu meskipun tak sama dengan enam tahun lalu. Kediaman kali ini dihiasi senyum-senyum kecil penuh makna. Banyak waktu kita nikmati dengan “diam” demi menyelami kedalaman makna “sesuatu” itu, kita pernah melewati senja dengan diam yang demikian syahdu, kita pernah menapaki jalanan bersama keheningan yang amat sempurna tanpa kata, hanya suara tapak kaki kita yang terdengar begitu merdu, bahkan diakhir jalan yang mengharuskan kita berpisah hanya beberapa patah kata yang bisa kita ucapkan dengan sangat terbata-bata. Meskipun begitu kita teramat tau betapa hebatnya kediaman kita itu, dan tidak ada satu-pun orang yang akan mengerti. Ini bahasa hati kita, sebab hati yang demikian dekat tak lagi membutuhkan kata untuk menyampaikan apa yang dirasa.
Ah, telah panjang lebar kita membahas masa lalu. Bagaimanakah kediaman kita saat ini? Masihkah sama? Tentu. Meski sedikit berbeda. Kediaman kita kali ini untuk memperbaiki diri kita masing-masing, agar cukup baik untuk membicarakan “sesuatu” yang kita rasa. Meskipun kelak kita membicarakan “sesuatu” itu dengan orang lain, bukan antara aku dan kamu. Haruskah kita menyebutkan “sesuatu” itu disini? Tidak perlu bukan? Karena “sesuatu” itu tidak cukup untuk diungkapkan kata-kata. Dan pengungkapannya dengan kata-kata saat ini akan menodai kehebatan dan ke”luarbiasaan” sesuatu itu. Apakah sesuatu itu? Cukup katakan dalam hati.
Khartoum, 14 April 2016
0 Comments
Posting Komentar