Pagi di desa Sumberejo kecamatan Batur wilayah Kabupaten
Banjarnegara yang berada dibawah puncak Dieng itu begitu dingin, mata hari baru
saja menampakkan sinarnya, burung-burung bersiul di dahan-dahan pepohonan.
“pak’eee, pak’eee” keheningan pagi di rumah kediaman Bapak Said dipecahkan oleh
teriakan Putri Bungsunya Afifah. “opo to nduk….” Timpal Bapak Said yang sedang
duduk di Ruang Tamu bersama sang Istri menikmati secangkir Teh dan sepiring
pisang goring hangat. “ini lo pak, ada berita di Internet, ada seorang wanita
palestina di tembak hingga tewas karena menolak melepaskan cadar, hebat benar
ya pak, sangat berani, beda dengan di Indonesia, banyak wanita yang membuka
auratnya tanpa diminta” kata Afifah. “jadi muslimah harus begitu ndok, harus
berpendirian teguh untuk mempertahankan izzah dan kehormatan kita” timpal sang
Ibu. “ Afifah mau jadi seperti dia bu, jadi wanita yang berani dan berprinsip
serta taat pada Allah, semoga saja mas Baits dapat istri seperti itu juga”
ujarnya. “Kabar mas Baits gimana ya nduk, bukannya mas mu bilang mau telepon
hari ini, ada kejutan katanya” Pak Said menanyakan kabar putra sulungyan yang
sudah dua tahun menjadi relawan kemanusiaan di Palestina. “sebentar, nduk kirim
pesan dulu” jawabnya.
“Assalamulaikum mas, gimana kabarnya? Jadi telepon ndak? Bapak
sama ibu, nanyain mas, katanya ada kejutan, kejutan apa sih? Bikin penasaran
aja. Afifah membuka percakapan.
Setelah 30 menit berlalu hp Afifah bordering, “walaikumsalam
dek, Alhamdulillah kabar mas baik-baik saja dan selalu dalam perlindungan
Allah, sepertinya tidak jadi telpon, ada banyak pasien yang harus diobati, ini
mas baru saja selesai mengoperasi korban ledakkan ranjau, titip salam kangen
buat bapak dan ibu.
****
Hawa mencekam memenuhi udara di kota Hebron yang berada di tepi barat
Palestina. Bangunan luluh lantah menghiasi sudut-sudutnya. Sesekali tembakan
senapan memekikan hawa kematian di sudut-sudut kota yang dirampas hak miliknya
oleh tentara Israel yang biadab. Tatapan penuh kebencian yang mendalam memancar
dari mata para serdadu, nyalang mencari alasan untuk menganiaya bahkan membunuh
warga palestina. Kendati telah habis alasan yang bisa mereka dapatkan sebagai
pembenaran atas tindakannya, dengan ringan dan tanpa merasa bersalah mereka
menganiaya warga palestina. Parade kekejian di trotoar jalan silih berganti
dengan aktor utama yang sama, tentara Israel sebagai sang antagonis dan warga
palestina sebagai korbannya.
Seorang gadis palestina bernama Zahra berumur 19 tahun
berjalan tergesa-gesa. Matanya yang tajam menoleh beberapa kali kebelakang,
memastikan tidak ada yang mengikutinya. Cadar hitam yang dikenakannya sejak
kecil tak mampu menyembunyikan ketakutannya yang terpancar dari tatapan matanya
yang penuh curiga. Beberapa kali ia tersandung reruntuhan bangunan yang
berceceran di trotoar. Ia sangat tahu sekali teramat berbahaya berjalan
sendirian di kota kelahirannya ini. Ratusan cerita kembali terngiang dibenaknya
tentang kekejaman demi kekejaman yang menimpa saudara-saudarinya yang dilakukan
oleh kaum Yahweh. Gang demi gang ia lewati dengan penuh rasa was-was, khawatir
jika ada tentara yang muncul dari balik gang. Jikalau tidak ada alasan yang
teramat mendesak Ia tidak akan keluar rumah, ia harus mengantarkan obat-obatan
ke Rumah Sakit tempat Ayahnya bekerja suka rela merawat korban luka-luka.
Kemarin malam Ayahnya mengabarkan obat bius telah habis di Rumah Sakit
sedangkan sore nanti aka ada pasien yang menjalani operasi. Tetiba ia mendengar
suara samar yang sangat ia hafal. Suara yang selalu menghantuinya, suara yang
menyimpan cerita pilu, suara yang jika
ia dengar di pagi hari maka ia akan kembali mendengarnya di malam hari
sebagai mimpi buruk. Suara itu, suara derap berat sepatu tentara Israel yang ia
dengar ketika ia dipaksa bersembunyi oleh ibunya di kolong ranjang. Tepat ketika ia masuk di kolong ranjang suara
itu terdengar semakin dekat dan berhenti tepat didepan pintu rumahnya yang
mungil. Kemudian keheningan menyelimuti ia dan ibunya untuk beberapa detik,
sebelum suara pintu yang didobrak mengagetkannya dan bulir-bulir air mata
membasahi wajahnya yang ketakutan. Pintu kamar yang sudah dikunci rapat pun
didobrak, kemudian dua orang tentara Israel menatap bengis ibunya yang berdiri
gemetaran sambil mengacungkan sebilah pisau dapur dengan tangan gemetar. “ Hai
moslemah bodoh, apa yang bisa kau lakukan dengan pisau dapurmu itu, hendak
membunuhku hah!!” sang tentara membentaknya dengan wajah bengis merendahkan.
“pergi kalian, pergi!!! Jangan menggangguku” jawabnya sambil
mengacung-acungkan pisau. “hahahahaha, dasar kau bodoh. Sebodoh pakaian yang
kau kenakan” timpal tentara Israel lainnya. “apa kau ingin selamat??” ujar
tentara pertama. “lepas cadar dan jilbab yang kau kenakan itu” lanjutnya.
“tidak!!!” ibunya berteriak dengan garang, seakan lenyap rasa takut
yang tadinya ia rasakan, matanya membeliak menatap tajam dua tentara Israel itu,
tangannya yang mulanya gemetar kini kukuh menggenggam pisau. “walau nyawa
taruhannya aku tidak akan sudi kau lecehkan dasar tentara Israel busuk!!!” ia
berteriak marah. Baginya cadar dan jilbab ialah perlambang kehormatan dan
ketaatan pada Allah tuhan semesta alam, menanggalkannya merupakan kehinaan
baginya.
Sekejap dua peluru menembus dada dan perutnya lalu ia ambruk
membelakangi dua tentara Israel itu, tepat menghadap putrinya yang bersembunyi
di kolong ranjang. Ia menatap putrinya yang dengan sekuat tenaga menahan
tangisnya, namun air matanya tak terbendung, tumpah begitu deras menganak
sungai menatap ibunya yang berlumuran darah meregang nyawa. Ibu yang sangat ia
cintai dengan sepenuh jiwa, yang selalu menanamkan nilai-nilai islam dalam
hatinya, kini terkapar tak berdaya. Cadar yang ibunya kenakan terlepas, deraian
air mata membanjiri wajah teduh itu, dengan sisa-sisa tenaganya ia taruh satu
jari tepat dibibirnya yang mengisyaratkan putrinya untuk tetap diam, sebab
tentara Israel belum lama pergi, kemudian ia genggam cadarnya yang terlepas, ia
taruh tepat diatas dadanya kemudian ia ulurkan pada putrinya seakan berkata
“jagalah cadarmu yang baru kemarin aku hadiahkan padamu, itu adalah simbol
kehormatan dan ketaatan kita pada Allah”. lamat-lamat terdengar dua kalimat
syahadat ia ucapkan sebagai penutup hayatnya. Tak kuasa Zahra menahan tangisnya
lagi, ia mengabaikan pesan ibunya agar tetap diam. Sengguk tangisnya makin lama
makin keras, berjam-jam ia meratapi kematian ibunya, ia peluki jasad ibunya yang tak lagi bernyawa.
Ia menangis hingga matanya bengkak dan kehabisan air mata, namun kesedihan yang
ia rasakan tidaklah cukup untuk sekedar ditumpahkan dengan air mata ia terus
menangis dengan suara yang makin lama semakin parau lalu lenyap sama sekali, ia
pingsan ketika hari mulai gelap, ketika
siang kehilangan pelita, seperti Zahra yang kehilangan pelita hidupnya yang
amat ia sayangi meninggalkan kegelapan yang amat memilukan.
Tembakan senapan
dari kejauhan menyadarkan Zahra dari lamunan singkatnya yang memilukan,
menyisakan sebutir embun di sudut matanya yang jatuh begitu saja tanpa sempat ia seka,
seperti kenangan buruk yang hadir begitu saja tampa sanggup ia cegah.
Ketakutannya semakin menjadi, sedang derap sepatu itu semakin mendekat. Ia bimbang
antara melanjutkan perjalanan atau bersembunyi di balik reruntuhan bangunan. Ia
memutuskan untuk bersembunyi dibalik reruntuhan rumah yang roboh. Bibirnya tak
berhenti mengucap dzikir seraya memohon perlindungan pada Rabb yang maha kuasa.
*****
“Bedebah, setiap
hari kita harus berpatroli seperti ini.” Umpat seorang Tentara Israel berkepala
botak. “ini semua akibat penduduk Palestina yang hina, harusnya mereka sadar
dan segera angkat kaki dari tanah ini, Kuil Solomon yang berada dibawah Baitul
Maqdis sudah menjadi bukti tanah ini diperuntukkan bagi kaum terbaik dan
termulia yaitu Yahudi” tentara lain yang bertubuh paling gempal dari yang lain
menanggapi. “Pantas saja jika kita bunuhi mereka, darah mereka tak lebih
berharga dari lumpur dibandingkan kejayaan kaum Yahudi, kesalahan terbesar
mereka adalah beragama Islam, sangat pantas mereka mati, Hahahahahaha” jawab
tentara bertubuh paling kekar ia tertawa dengan seringai penuh kebencian. “
Sudah seminggu ini senapanku tak kutembakkan pada orang-orang hina itu,
terakhir kali aku tembakkan setengah bulan yang lalu, itupun hanya membunuh seorang
anak kecil, akan lebih baik jika hari ini senapanku bisa mencabut nyawa seorang
wanita, sebab dari rahim para wanita palestina itulah musuh-musuh kita terus
lahir dan merintangi kejayaan kaum kita” tambah tentara bertubuh kekar, sambil
mencoba mengarahkan senapannya keberbagai arah seakan siap mewujudkan
keinginannya yang begitu keji pada hari itu. Tiba-tiba tatapannya tertuju pada
ujung kain hitam di reruntuhan bangunan di seberang jalan. Satu kilatan aneh
muncul di matanya, senyum tipis nan bengis terkembang, lalu dia arahkan
bidikkan senapan yang ia genggam kearah kain hitam itu. Ia Tarik perlahan tuas
kokang senapannya, dalam hati dia menghitung perlahan, satu….. dua…..
tiga….duarr……nyalak senapan memecah keheningan kala itu, kain hitam koyak tertembus
hujaman timah yang dimuntahkan moncong senapan. Dua temannya tersentak kaget
“Hei apa yang kau lakukan!!, buat apa membuang buang peluru dengan percuma
seperti itu?” tentara berbadan tambun berteriak kesal. “lihat kesana bodoh”
ujar tentara berbadan kekar seraya menunjuk ujung kain hitam yang terkoyak
peluru. “hahahahaha itu hanya kain hitam, buat apa kau tembaki, sudah gila
rupanya kau karena tidak membunuh muslim muslim bodoh itu selama dua minggu”
tentara berkepala botak mencibir tentara berbadan kekar. “lihat ini, dan
perhatikan baik-baik” si kekar mendengus kesal karena merasa direndahkan,
dhuarrr….. lagi lagi ia tembakan senapannya pada kain hitam diantara reruntuhan
bangunan, berharapa ada satu teriakan histeris dari seorang wanita palestina, sebab
dia yakin sekali kain hitam itu adalah ujung jilbab wanita palestina, bahkan
teramat yakin sebab sudah sering kali dia menganiaya mereka, memaksa melepas
jilbab, menodai mereka kemudian membunuhnya. Dua temannya menertawakannya
dengan maksud mengejeknya kemudian dengan penuh kekesalan dan kekecewaan ia
tembak lagi kearah kain hitam itu dengan asal, dan mengenai tembok didekatnya,
kemudian satu teriakan tertahan terdengar perlahan dan terkembanglah senyum
penuh kemenangan di wajah si kekar, dua temannya yang tertawa terbahak-bahak
terdiam dan tanpa komando mereka bertiga berjalan keaarah datangnya suara
teriakan itu.
****
Jantungnya
berdegup cepat tatkala ia mendengar suara percakapan tentara Israel yang
jaraknya hanya beberapa ratus meter saja dari tempatnya bersembunyi. “ Sudah
seminggu ini senapanku tak kutembakkan pada orang-orang hina itu, terakhir kali
aku tembakkan setengah bulan yang lalu, itupun hanya membunuh seorang anak
kecil, akan lebih baik jika hari ini senapanku bisa mencabut nyawa seorang
wanita, sebab dari rahim para wanita palestina itulah musuh-musuh kita terus
lahir dan merintangi kejayaan kaum kita” salah seorang tentara berceloteh
dengan ringannya tentang keinginannya untuk membunuh wanita palestina, membuat
ketakutan Zahra semakin menjadi, keringat dingin bercucuran, dan pandangannya
serasa berputar dan gelap sejenak. Ketakutannya semakin parah, hingga tubuhnya
bergetar, ia tidak sadar bahwa ujung jilbab panjangnya menjulur keluar dari
tempat persembunyiannya. “Dhuarrrrrr” satu tembakan timah panas mengagetkannya,
serasa nyawanya berhamburan meninggalkan raganya kala itu, hampir ia menjerit
histeris, jikalau saja ia tidak menguatkan diri dan memaksakan diri untuk
mengigit ujung baju yang sengaja ia gigit untuk meredam gemetar ketakutan yang
menjalar di seluruh tubuhnya. Tembakan yang datang tiba-tiba dari arah belakang
tubuhnya membuatnya hampir pingsan dilanda ketakutan, terasa begitu dekat
sekali. Ia coba memberanikan diri untuk
menoleh kebelakang karena ada hawa panas yang menguar dan bau terbakar. Apa
yang ia lihat membuatnya terperanjat ketakutan, ujung jilbabnya telah terkoyak
dan ujung runcingnya pun telah lenyap, menyisakan pola koyak yang mengerikan,
asap tipis mengepul dari lubang di tanah yang ditembus peluru. Untaian dzikir
yang ia dengungkan semakin cepat, memohon perlindungan dari semua kengerian
kepada Allah yang maha segalanya, kendati baginya kematian yang syahid pun
dengan bahagia akan diterima jika itu adalah ketentuan yang digariskan
untuknya. Ia amat percaya balasan dari Allah adalah sebaik-baik balasan. Sejak
kecil ia telah terbiasa menyaksikan kematian, bahkan kematian ibu kandungnya
terjadi dihadapannya. Ia tumbuh atas bimbingan ayahnya yang seorang dokter. Ia
faham sekali bahwa terlahir sebagai orang Palestina artinya terlahir sebagai
pejuang. Pejuang untuk tanah yang dicintainya terlebih lagi berjuangan untuk
agamanya. Meskipun penuh dengan kesulitan, ia sangat bangga menjadi seorang
Palestina, menjadi seorang Mujahidah, menjadi tentara Allah yang berani
menjemput surganya.
Ia dengar dua tawa
berbarengan yang bernada mengejek pada tentara yang menembak kearahnya karena
mengira ujung jilbabnya yang ditembak hanya sekedar kain biasa dan tidak ada
siapa-siapa dibelakang reruntuhan, ia bisa bernafas lega. Namun setelahnya
Zahra mendengar percakapan singkat antara mereka dan “Si Penembak” kukuh dan
bersikeras bahwa ada seseorang dibalik reruntuhan, lalu selongsong peluru
kembali ia tembakkan “Duaarrr” hancur ujung jilbab Zahra yang terjulur keluar
tembok persembunyiannya tanpa sisa, rasa kaget kembali menyusupi hatinya, namun
kali ini ia bisa lebih menguasai diri. Kemudian setelahnya tidak ada percakapan
lagi yang ia dengar dari tentara Israel, senyap begitu saja. Namun keheningan
itu dirobek oleh satu desingan peluru yang dimuntahkan oleh moncong senapan
milik tentara Israel “Si Penembak” tadi tanpa sedikit pun Zahra duga, menembus
tembok, dan menyerempet lengannya serta mengoyakkan pakaiannya kemudian mulus
meluncur ke reruntuhan tembok. Zahra tak kuasa menahan rasa sakitnya, ia gigit
ujung bajunya, namun tak sanggup menahan seluruh erangan sakitnya, hingga
sebagian erangannya terdengar ke seluruh penjuru tempat itu. Darah mengalir
membasahi lengan dan bajunya, pandangannya sejenak menghitam, pikirannya
mengambang, kosong, semua indranya serasa mati, hanya rasa sakit di lengan
kirinya yang menjaganya tidak kehilangan kesadarannya secara keseluruhan. Derap berat sepatu tentara menyentak
kesadarannya. Rasa sakit yang ia rasakan hilang sekejap karena ia tahu apa yang
akan ia hadapi akan lebih dari itu. “Hei
wanita jalang dibalik tembok, tunjukkan dirimu!!” teriak tentara bertubuh
kekar. Zahra bergeming tak bergerak barang satu inci pun dari tempatnya
bersembunyi. “Keluar jalangg!!!!!!!! Dasar pelacur” ujar tentara lainnya. Panas
telinga Zahra mendengar panggilan yang disematkan padanya, harga dirinya
seperti dirobek-robek. Semenjak kecil ia telah menjaga iffah dirinya dari hal-hal yang merendahkan
kemuliaannya sebagai seorang muslimah. Kemuliaan diri seorang muslimah telah
ditanamkan mendalam oleh bundanya sejak kecil, di akhir hayat bundanya berpesan
untuk terus menjaga cadarnya dan kematian bundanya lah nasihat yang paling
membekas didirinya, kematian bundanya menjadi bimbingan terakhir bundanya,
bagaimanakah seorang muslimah harus bersikap dalam menjaga iffah, bukan
dengan kata-kata bundanya membimbing di akhir hayat, bukan dengan tulisan, tapi
dengan sikap berani mempertahankan kehormatan seorang muslimah meski harus
mengadu nyawa. “Hai anak pelacur, keluar kau, jika tidak akan ku tembak kau”.
Hilang kesabaran Zahra mendengar hinaann itu, hinaan yang ditujukkan kepada
bundanya yang amat teguh dan berani, yang amat taat pada tuhannya, yang amat ia
sayangi, amarahnya tersulut berkobar-kobar, ia pun berdiri tanpa rasa takut
tersisa di hatinya. “Hai manusia-manusia biadab, kalian tak perlu menghina
ibuku, bagaimana rasanya jika hinaan itu ditujukan kepada ibu kalian!!??” Zahra
berteriak garang. Ketiga tentara itu tersentak dan terdiam sejenak mendengar
teriakan Zahra yang tanpa rasa takut, suaranya
lantang, tak ada sedikitpun getar ketakutan terdengar dari suaranya. “Diam kau
muslimah bodoh!!! Dasar kau hina, dasar kau jalang, dasar pelacur” tentara
bertubuh tambun menggertak, teriakan Zahra yang
menohok hati nurani mereka sesungguhnya sedikit memberi mereka
pencerahan bahwa mereka melakukan hal yang salah, namun dinasihati oleh seorang
muslimah yang mereka anggap lebih rendah dari bangsa yahudi membuat ego mereka
tak menerima begitu saja, bahkan menyulut amarah mereka dan membuat mereka mengingkari
hati nurani mereka. Tentara bertubuh kekar ikut berbicara, “hai muslimah bodoh,
tak usah kau berteriak-teriak seperti itu, sebelum nyawamu kami cabut,
berikanlah kami sedikit kesenangan, hahaahahaha, buka cadarmu dan semua yang
melekat di tubuhmu !!!”. Merasa direndahkan sedemikian rupa Zahra begitu murka,
sekonyong-konyong ia pungut sebongkah batu kemudian, ia lemparkan sekuat tenaga
dan telak mengenai kepala tentara yang merendahkannya, ia siap menerima resiko
tindakkannya. “Dasar keparat, kubunuh kau!!! Ujar tentara yang kepalanya
dilempar batu, ia mengokang senapannya dan mengarahkannya pada Zahra,
“DUARRRR!!!” satu peluru menembus bahu Zahra, tubuhnya mulai limbung, ia
terjerembab ke trotoar, darah mengucur dari lukanya, sekelebat ia melihat senyum
teduh ibunya yang amat ia rindui, “ibu, yang kulakukan ini benar bukan?”
ujarnya lirih. Ia teringat ayahnya “ Ayah maafkan aku, apakah aku sudah menjadi
anak yang baik bagimu?” ia teringat pula pada seorang pemuda baru saja menjadi
suaminya sehari yang lalu, selepas akad nikah mereka langsung berpisah karena
ada panggilan darurat operasi. Suaminya adalah seorang dokter muda spesialis
asal Indonesia yang telah dua tahun menjadi relawan di Hebron membantu ayah
Zahra, namanya Baits al-Fath “ mungkin aku tidak bisa menjadi istrimu yang utuh
didunia ini, ku tunggu kau di surganya” ia berbisik teramat lirih, dua matanya
mengembun namun selengkung senyuman bahagia terukir di wajahnya. “ Allah engkau
yang maha kuasa, engkau maha segalanya, ampunilah segala dosaku, muliakanlah
aku bersama para syuhada, pertemukanlah aku denganmu, dan nabimu yang mulia, Asyhadu
an Laa Ilaaha Illallah wa Asyhadu anna Muhammadarosulullah. “Duarrrr,
Duarrrr” dua peluru ditembakkan beruntun oleh tentara bertubuh kekar, satu
melesak ke dada sebelah kiri, dan yang lain menembus leher Zahra. Darah
mengucur deras dari tubuhnya, ia tersenyum, ia tersenyum mampu menjaga
kemuliaanya sebagai bentuk kepatuhannnya pada tuhan semesta alam, nafas
terakhirnya ia hembuskan dengan tenang dan perlahan. Angin berhembus perlahan,
suasana hening, seakan semesta bisu, berkabung menangisi kematian sang
mujahidah dalam diam.
****
Suasanan Rumah
Sakit Hebron teramat sibuk, udara dipenuhi tangisan anak kecil dan erangan
orang dewasa yang terluka akibat tembakan maupun ranjau, dua orang dokter
terlihat gusar didepan ruangan operasi. Dokter yang pertama berwajah asli
palestina berusia sekitar 50 an tahun, sedang dokter yang kedua berwajah asia
tenggara, kulit sawo matang, dengan mata yang bulat namun tajam dan berwibawa.
“ya bunayya maa ladzi yamna’u Zahra ‘an ityanin muta’ajilin?”[1]
ujar sang dokter berwajah Palestina. “ishbir abii, wa an tuhassin dzonnaka ‘ala
Allahi[2]”
sang dokter berwajah Asia mencoba menenangkan Dokter Palestina yang juga
mertuanya itu, padahal ia pun risau karena istrinya tak juga datang, cincin
perkawinan dari perak yang tersemat di
jari manisnya diputar-putar dengan tangan kanan, kemudian tanpa sadar
cincinnnya terlontar ke sudut ruangan, ia memungutnya sambil menatapnya nanar,
entah kenapa ada rasa cemas yang begitu besar menelusup ke relung hatinya yang
paling dalam. Didalam ruangan operasi yang tertutup terdengar lirih erangan
seorang anak kecil yang terkena serpihan bom fosfor, kakinya hancur berantakkan
sebatas lutut. Disampingnya ada ayahnya yang tak hentinya mengusap rambut
anaknya yang setengah sadar sambil berdzikir. Dari ujung lorong terdengar derap
langkah kaki yang bergema disepanjang lorong, seorang perawat pria
tergopoh-gopoh berlari kearah dua dokter itu. “ya thobib ya thobib, khobar
muhzin”[3] ia
berkata pada dua Dokter itu dengan ter-engah-engah. “askin nafsaka ya akhi, wa
bayyin ‘an khobarin alladzi ji’tanaa li ajlihi bil khuduu[4]”
jawab dokter berwajah asia itu sembari menenangkan dengan logat arab yang
hampir sempurna. “sayyyidah, sayyidah ya thobib..”[5]
sang perawat masih kesulitan berbicara “ romaa junuudu isroiil sayyidah Zahra
bil bunduqiyyah fa qodhou alaiha”[6].
Suara putus-putus perawat itu bak halilintar menggelegar di siang bolong tat
kala musim kemarau di telinga Baits sang dokter berwajah Asia. Dunia serasa
berputar, pandangannya menggelap, kesedihan yang begitu dalam menyesakkan
dadanya. Usia pernikahannya baru saja sehari semalam, bahkan ia belum sempat
mengabari keluarganya di Indonesia akan pernikahannya karena kesibukkannya
merawat pasien tak pernah usai. Ia hanya mengirim pesan kepada Adik perempuan
bahwa hari itu setelah mengoperasi pasien akan menelepon dan akan memberikan
kejutan. Tetes – tetes air mata kesedihan menganak sungai bermuara dari hatinya
yang paling dalam, mengalir melalui dua sudut matanya, membentuk aliran sungai
di wajahnya yang didera kesedihan yang amat sangat dalam. Dengan sangat lirih,
bahkan hanya didengar ia sendiri, ia berkata, “Allah lah pemilik seluruh dunia
ini, ia yang menyatukan kita, ia pula yang memisahkan kita. Perpisahan ini
hanya sementara sayang, sebab perpisahan sesungguhnya diantara dua jiwa yang
saling mencinta adalah ketika salah satu dari mereka di syurga dan lainnya di
neraka, tunggu aku di surganya[7]”.
Ia seka air matanya hingga tak berbekas, dan ia berjanji untuk tak lagi
bersedih, karena perjumpaan yang lebih indah telah disiapkan buatnya di
surganya, kemudian ia berlalu menyongsong obat bius dari bantuan kemanusiaan
yang baru saja tiba, dan mulai mengoperasi pasiennya. Tak ada waktu baginya
untuk bersedih, tak ada sesal, tak ada risau, yang ada hanya syukur yang tiada
henti, tawakkal tanpa putus, serta keyakinan yang tak ternoda keraguan
sedikitpun bahwa janji Allah nyata, dan Allah lah sebaik-baik pemberi balasan.
oleh: Rif'at Mubarok (yaqutmubarok.blogspot.com)
[1]
Wahai anakku, apakah yang merintangi Zahra sehingga tidak bisa datang dengan
cepat?
[2]
Sabarlah ayah, dan berhusnudzanlah pada Allah
[3]
Hai dokter, hai dokter ada berita buruk
[4]
Tenangkan dirimu terlebih dahulu, kemudian barulah kamu jelasakan dengan
seksama kabar apa yang ingin kau sampaikah sehingga kamu mendatangi kami
[5]
Nyonya, nyonya tuan…..
[6]
Tentara Israel menembak nyonya Zahra dan menewaskannya
[7]
Dikutip dari perkatan Syeikh ‘Aidh Al-Qorny
0 Comments
Posting Komentar