Lelah Bersandiwara (Bagian 3)
Oleh Abdullah Azzam
"Tuuut.. Tuuutt..." HP Wak Asep
bergetar. Memerhatikannya sebentar dan membiarkannya terus berdering. Hanya
mengecilkan volumenya. Tidak diangkat juga tidak ditolak. Seolah tak senang
dengan panggilan tersebut. Atau ada hal lain yang berusaha ia simpan dari kami.
“Tidak diangkat dulu Wak? Siapa tahu penting.”
“Tidak apa-apa biarkan saja.” Jawabnya
singkat.
Aku lihat namanya asing, bukan seseorang yang
kukenal tinggal di Sudan.
Malam sudah larut. Aku bergegas minta undur
diri menuju asrama. Mengistirahatkan jiwa yang akhir-akhir ini banyak pikiran.
Seperti memikul apa yang belum sepantasnya dipikul. Sedang ragaku masih seperti
dulu. Ringkih, lemah, dan lagi-lagi malas. Setidaknya aku berusaha bangkit di
setiap ronde. Meski babak belur menghadapi ocehan manusia yang semakin melewati
batas wajar.
***
Aku berjalan menyusuri lorong asrama yang
masih gelap. Lampu koridor belum dinyalakan. Tampak petugas asrama belum lagi
bangun, atau belum waktunya bangun. Entah beberapa hari ini aku belum bisa
nyenyak tidur. Mungkin sejak perbincangan dengan Wak Asep tiga hari yang lalu.
Mata tak nyenyak tidur namun badan masih enggan
bergeming dari lantai. Masih jam dua pagi, mengapa harus bangun sekarang. Aku
belum cukup istirahat. Bisiknya kepada mata. Mata membalas. Kamu harus bangun.
Untuk apa perpisahan ini jika tak berbuah apa-apa. Mengapa tidak engkau buat ia
bernilai, toh ini juga untuk masa depanmu. Sudahlah, jangan engkau risau pada
praduga pun pada naluri. Kamu hanya perlu bangun memulainya. Masa depan selalu
ditentukan oleh langkah pertama. Balasnya pada tubuh ini.
Akhirnya tubuhku mengalah juga. Dia mulai
duduk. Mengusap wajah. Merapikan sarung dan bantal. Mengambil tas selempang,
memasukkan beberapa barang dan bergegas membuka pintu. Dasar tubuh pemalas. Jarak
antara masjid dan asrama sekitar seratus meter. Melewati jalan aspal selebar empat
meter. Angin malam menelisik menyapa kulit. Dinginnya menelanjangku dari rasa
kantuk. Mengupasnya pelan-pelan. Terus berjalan ke depan. Sebelum menuju masjid
aku bergegas ke kamar mandi menunaikan apa yang sudah menjadi haknya. Kemudian
mulai mengambil air wudhu. Mencuci tangan. Lalu berkumur-kumur. Mengambil air
lagi untuk mengusap wajah sampai semua selesai.
Kadang aku berpikir. Alasan apa yang membuat
manusia bangun pagi buta. Apa untuk mencari nafkah. Seperti yang ada di tanah
kelahiranku. Seorang pedagang bangun dini hari menyiapkan dagangan untuk dibawa
ke pasar. Kalaulah kesiangan tak bisa laku lagi. Sebentar menatap anaknya yang terlampau
lelap. Mengusap keningnya sambil berbisik. Nak, bapak selalu percaya padamu.
Engkau harapan satu-satunya bapak. Bapak yakin suatu saat, engkau akan buat
bangga bapakmu ini. Tersenyum.
Atau karena paksaan hidup sebagai orang
pinggiran. Menyambung nafas dengan mengemis dari para pengguna jalan. Beruntung
kalau dia dapat banyak, kadang untuk membeli sebungkus nasi bungkus pun tak
sampai. Bertaruh melawan kejamnya hidup yang sering kali memaksanya harus
ikhlas menerima. Bangun dini hari karena memang perut didesak lapar. Tadi malam
belum ada yang dimakan, hanya minum air keran masjid. Terpaksa bangun untuk mengais-ngais
sisa makanan di tempat sampah. Berebut sepotong roti sisa bersama anjing dan
kucing. Tidak seberapa, tapi cukup untuk menghapus kata lapar.
Atau sebagai penghafal Quran. Bangun di sepertiga malam untuk
memadu kasih dengan Rabb semesta alam. Menunaikan janji atas amanah ilmu. Sebagai
hamba yang tahu malu. Kakinya bagai batu beton. Tak bergeming menit demi menit
berlalu, masih kuat berdiri. Lisannya bergerak dengan suara samar seperti
melantunkan sesuatu. Hendak berbisik pada kekasihnya tentang arti cinta dan
pengorbanan.
Dunia malam penuh misteri. Dengan serba-serbi
tabiat manusia yang berbeda. Hanya sedikit yang mau merenung mencari makna dari
kegelapan. Menelusuri sudut-sudutnya dengan penuh curiga. Mengurai kalimat yang
tepat untuk merayunya menjadi sahabat karib. Bercengkerama dengannya selalu
menyenangkan. Ia setia mendengarkan, tak pernah menyela. Kalaupun semua orang menjauh
pergi tak sudi menyapaku setidaknya ia datang setiap hari memberiku ruang untuk
mengadu. Lalu lalang orang berwudhu membasuh kantuk menyita perhatian. Hematku
mungkin sebagian dari mereka sengaja tidak tidur. Memilih membaca ayat-ayat Al-Quran
di saat yang lain lalai dibuai mimpi. Berbahagia dengannya.
Sedang aku entah. Tak bisa kupastikan masuk
yang mana. Tubuh ini ringkih betul, baru beberapa halaman sudah hendak terduduk
lagi. Ia lebih suka menuruti kehendak mata yang sering kali menangis. Ia
sebenarnya merasa prihatin. Hei, ini bukan sepenuhnya salahmu. Tidak sepatutnya
engkau merasa paling di salahkan. Yang lalu biar kan pergi. Semakin dibujuk
semakin deras mengalir. Cengeng sekali.
Setiap orang pernah bersalah. Semua orang
punya dosa. Kepada teman, saudara, terlebih kedua orang tua. Kadang merasa
bersalah telah mengkhianati mereka berdua, apalagi ketika membayangkan wajahnya yang sudah
di ujung
senja. Juga maksiat yang kadang masih diulang lagi dan lagi, belum sepenuhnya
ditinggalkan. Orang di sekitar mungkin tidak tahu. Tapi siapa yang bisa bersembunyi
dari Allah. Dzat yang Maha Mengetahui.
Tak mungkin bisa lari. Cara paling aman adalah ikhlas berserah diri mengaku
salah. Meletakkan kepala sebagai simbol keangkuhan bersujud pada-Nya, sambil
memohon ampunan. Berkenankah engkau mengampuni hamba-Mu ini.
Sudahlah. Masih ada banyak lembaran putih yang
lain. Lagi pula engkau juga masih punya banyak tinta untuk mengulang kembali
kisahmu. Mengapa engkau memilih tenggelam pada lembaran kelam di bagian awal. Ada
banyak manusia di dunia ini sepertimu. Mengisi lembaran awal masa mudanya
dengan maksiat dan dosa. Bahkan lebih bangsat dan lebih bejat dari kamu.
Berkecil hati boleh saja, asal jangan sampai
putus asa. Hatiku mulai menggurui. Dan aku pantas mendapatkannya. Ini juga
alasan kuat mengapa aku lebih nyaman bersama Wak Asep. Sebab jiwa hanya akan
nyaman bila berada di dekat yang semisal dengannya. Tidak bisa tidak.
Sepertiga akhir malam-malam Ramadhan. Setelah
berdoa aku berusaha melengkapi catatan harianku.
“Malam yang begitu berharga. Jauh dari
kerabat juga keluarga.
Aku bisa tersenyum ikhlas dari lubuk hati. Meninggalkan
jejak sandiwara di waktu siang.
Melepas penat bergumul dengan keramaian. Mata
lelah, badan lemah, hati apa lagi.
Aku bukan benci. Bukan juga antipati. Buktinya
masih mampu berlakon dengan baik.
Namun aku bukan orang baik. Hanya ingin
berusaha menjadi baik. Seperti kalian. Juga seperti mereka mungkin.
Tapi aku juga manusia. Punya kisah juga
cerita. Dengan anugerah berupa air mata.
Maka jangan halangi aku untuk bersyukur. Masih
meneteskannya selagi ada.
Terima kasih untuk rumah-Mu. Masih berkenan
menerimaku kembali. Meski tak henti-henti aku ingkar janji.
Terima kasih Allah. Masih mengizinkanku
bernafas untuk hari ini. Alhamdulillah. Segala puji hanya untuk-Mu.”
Ramadhan 1441 H.
Setengah jam lagi subuh. Waktunya untuk
berkumpul makan sahur. Aku bangunkan beberapa kawanku yang masih terlelap dalam
mimpi. Biasa, anak-anak muda. Jomblo lagi. Tidurnya di masjid. Tanpa bantal dan
selimut. Asal tubuh bisa rebahkan, memejamkan mata bukan sesuatu yang sulit.
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa
berada di dalam taman-taman (surga) dan mata air. Mereka mengambil apa yang
diberikan Tuhan kepada mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah
orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam dan
pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah).” QS. Adz-Dzariyat : 15-18
***
Oh, iya kalian belum kenal namaku. Kalau
kalian tidak keberatan aku hendak memperkenalkan diri. Aku bukan orang hebat,
bukan juga pintar. Suka membaca namun belum banyak buku yang kubaca. Bukan
seorang penulis juga belum pandai menulis. Tapi suatu saat nanti aku hendak
menulis kisahku. Kisah masa lalu, hari ini juga masa depan yang masih samar. Kisah
masa keciku, remaja, juga kisah kelak nanti aku sudah berkeluarga. Aku hanya
orang biasa yang hidup biasa-biasa. Namun terselip keinginan terbesar untuk
menjadi orang yang bermanfaat untuk umat manusia. Entah apapun profesiku
nanti.
Orang menilai aku seperti kebanyakan dari
mereka. Bergaul, berbincang, tertawa mungkin hanya itu yang tampak di mata
mereka. Mata manusia memang terbatas. Tak mampu menembus kaos tipis yang biasa
aku pakai, apalagi menembus pori-pori kulit menerawang jauh ke dalam hati.
Mereka tak mungkin mampu. Aku lebih menikmati kesendirian. Kendati demikian aku
masih tetap bisa bergaul, memiliki teman. Seperti Sulaiman dan Wak Asep. Aku
lebih suka menjadi pendengar yang baik dibanding menjadi seorang pembicara
ulung yang bisa membangkitkan ribuan massa. Tanganku lebih mudah bicara dari
pada mulutku melalui aksara yang aku susun sedemikian rupa.
Aku berasal dari Papua Barat, tepatnya dari
kota Kaimana Kota Senja. Salah satu kota terindah yang pernah aku jamah dan
jelajahi. Pantainya yang panjang adalah anugerah teragung yang ia miliki. Kota
dengan masyarakat heterogen. Baik dari segi agama, warna kulit, juga suku
budaya. Banyak pelancong dari Jawa, Makassar, Buton yang melabuhkan pilihannya
di kota kecil itu. Banyak juga orang Madura di sana. Tak semua berasal dari Madura,
namun bahasa mereka bahasa Madura seperti dari Jember, Lumajang, Pasuruan, dan
lain-lain.
Aku sendiri bukan asli keturunan Papua. Hanya
saja orang tuaku sudah lama merantau dari Jawa ketanah Papua. Orang sering
memanggilku dengan Halim.
(Bersambung)
Tidak ada komentar